Rentan Salah Sasaran, Pemberian Subsidi Perlu Berhati-hati
Pemberian subsidi kendaraan listrik perlu mempertimbangkan nilai kemanfaatan. Selain tujuan utama pengurangan emisi karbon, subsidi diharapkan menekan penggunaan kendaraan pribadi guna mengurangi kemacetan lalu lintas.
Oleh
agnes theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Skema pemberian subsidi motor dan mobil listrik yang saat ini sedang difinalisasi perlu dirumuskan secara berhati-hati agar tepat guna dan tepat sasaran. Ketimbang diberikan langsung kepada pembeli kendaraan listrik pribadi, subsidi seharusnya ditujukan ke penggunaan transportasi publik atau dalam rangka mendorong konversi kendaraan listrik.
Menurut perkembangan terbaru, wacana subsidi kendaraan listrik telah memasuki tahap akhir kajian oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Namun, implementasinya masih menunggu proses konsultasi antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Di sela-sela kunjungannya ke Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Jumat (27/1/2023), Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pemberian subsidi kendaraan listrik memang sudah memasuki tahap finalisasi. ”Tetapi, kalau ada insentif baru, terutama yang akan menggunakan APBN, kami harus berkonsultasi dulu dengan DPR karena mereka juga memiliki hak budget,” ujarnya.
Ia mengatakan, kajian yang dilakukan Kemenkeu dengan kementerian lain yang terkait itu sebenarnya sudah mulai mendetailkan tentang desain besaran subsidi yang akan diberikan serta pihak yang akan menjadi kuasa pengguna anggaran. Namun, hal itu belum bisa diungkap ke publik karena butuh proses perundingan dengan DPR.
”Kami sebagai pengelola keuangan negara harus memberitahukan kepada DPR bahwa akan ada cost baru di APBN,” ujar Sri Mulyani.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan kalau subsidi itu akan diberikan untuk pembelian motor listrik baru sebesar Rp 7 juta per unit. Meski skemanya sampai sekarang belum jelas, menurut dia, aturan itu menurut rencana akan disahkan pada Februari 2023 dan akan ditujukan untuk masyarakat kelas menengah-bawah.
Menurut Kepala Center of Industry, Trade and Investment di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho, Minggu (29/1/2023), pemberian subsidi kendaraan listrik harus mempertimbangkan nilai kemanfaatannya pada tujuan utama pengurangan emisi karbon serta penurunan penggunaan transportasi pribadi.
Kami sebagai pengelola keuangan negara harus memberitahukan kepada DPR bahwa akan ada cost baru di APBN.
Oleh karena itu, subsidi sebaiknya tidak diberikan untuk pembelian kendaraan listrik pribadi, tetapi diarahkan untuk penggunaan transportasi publik yang bisa lebih signifikan mendorong peralihan dari kendaraan pribadi berbahan bakar bensin ke kendaraan umum berbasis listrik.
”Dengan skema itu, subsidi bisa membantu mengurangi kemacetan di jalan raya dan mengurangi emisi akibat pertumbuhan kendaraan pribadi yang tinggi selama ini. Subsidi bagi transportasi publik listrik ini juga bisa dinikmati semua lapis masyarakat, kaya ataupun miskin,” kata Andry.
Opsi kedua adalah memberikan subsidi kepada pembeli perorangan, tetapi dengan syarat untuk konversi kendaraan listrik. Dengan kata lain, subsidi hanya diberikan kepada pembeli yang ingin mengganti mobil atau motornya yang lama dan berbahan bakar bensin menuju kendaraan listrik. Skema ini dinilai akan lebih efektif untuk menekan emisi karbon ataupun mengurangi jumlah kendaraan pribadi di jalan.
”Kalau hanya sekadar memberikan subsidi tanpa syarat, bisa jadi orang bukan menukar kendaraan BBM lamanya dengan yang listrik, melainkan sekadar menambah kendaraannya menjadi lebih dari satu. Ujung-ujungnya yang lebih sering digunakan sehari-hari adalah kendaraan BBM ketimbang listrik,” ujarnya.
Menurut Andry, skema ini sudah diterapkan di beberapa negara yang menggelontorkan subsidi untuk penjualan kendaraan listrik. Pemerintah tinggal mempelajari dan meniru skema yang ada. ”Jadi, masyarakat tidak perlu mengeluarkan uang besar untuk switch ke listrik, tidak 100 persen, karena dapat keringanan dari subsidi pemerintah,” ujarnya.
Pemberian subsidi kendaraan listrik harus mempertimbangkan nilai kemanfaatannya pada tujuan utama pengurangan emisi karbon serta penurunan penggunaan transportasi pribadi.
Kurang etis
Wacana pemberian subsidi kendaraan listrik ini juga mengundang pertanyaan karena saat ini ekosistem industri itu masih banyak dikuasai pejabat dan pengusaha yang berada di lingkaran dalam kekuasaan. Menurut Andry, hal ini kurang etis karena yang akan menikmati keuntungan dari penjualan kendaraan listrik yang meningkat berkat subsidi itu adalah segelintir elite di pusat kekuasaan.
Kebijakan itu pun berpotensi memunculkan moral hazard atau potensi penyelewengan yang tinggi. ”Ini sentimen yang tidak baik. Dalam konteks etika kebijakan publik, seharusnya subsidi itu memberikan manfaat ke masyarakat, terutama menengah-bawah, bukan justru menguntungkan segelintir pihak yang juga pembuat kebijakan itu sendiri,” katanya.
Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan, salah satu tujuan pemberian subsidi adalah untuk mendongkrak pembelian kendaraan listrik dan meningkatkan produksi dalam negeri. Oleh karena itu, subsidi hanya akan diberikan kepada pembelian motor atau mobil listrik yang dirakit lokal, bukan kendaraan listrik hasil impor utuh.
Febrio masih enggan berkomentar mengenai detail besaran subsidi yang diberikan beserta skemanya. Namun, ia memastikan, berdasarkan kajian pemerintah, dampak dari pemberian subsidi itu akan signifikan pada pengembangan ekosistem industri kendaraan listrik dalam negeri.
”Pasti bagus dampaknya, kalau tidak bagus, tidak mungkin kita pertimbangkan memberikan subsidi. Ditunggu saja. Intinya, ini kebijakan yang bagus dan bagian dari transformasi industri. Kita harap industri bisa lebih berkembang dari hulu ke hilir,” ujar Febrio.