Ketersediaan Bahan Baku Penting dalam Akselerasi Energi Terbarukan
Pada metode ”co-firing” atau pembakaran biomassa bercampur batubara untuk pembangkit listrik tenaga uap oleh satu perusahaan, misalnya, yang antara lain bersumber dari sampah, pasokan bahan baku mesti dipastikan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Sejumlah turbin Pembangkit Listrik Tenaga Bayu Sidrap terlihat di salah satu dari tiga bukit di Desa Mattirosi dan Desa Lainungan, Kecamatan Watang Pulu, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, Senin (22/7/2019). Pembangkit dengan kapasitas total sebesar 75 megawatt (MW) ini terdiri atas 30 turbin yang masing-masing berkapasitas 2,5 MW. Pembangkit listrik tenaga bayu komersial pertama di Indonesia ini dibangun dengan biaya sekitar 150 juta dollar AS. Pada Juli 2019, pembangkit ini genap setahun memasok kebutuhan listrik untuk masyarakat.
JAKARTA, KOMPAS — Akselerasi pengembangan energi terbarukan dalam mencapai tujuan pengendalian iklim dan target emisi nol bersih dapat dipacu dengan penggunaan energi terbarukan, seperti biomassa, untuk pembangkit listrik. Namun, perlu ada peningkatan koordinasi hulu-hilir sehingga ada kepastian ketersediaan bahan baku.
Wakil Kepala Pusat Penelitian Energi Berkelanjutan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Feby Agung Pamuji, saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (29/1/2023), mengatakan, pemerintah sebenarnya telah mengambil kebijakan dalam mendukung transisi energi. Namun, keberlanjutan bahan baku energi alternatif tersebut perlu dipastikan.
Pada metode co-firing atau pembakaran biomassa bercampur batubara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) oleh satu perusahaan, misalnya, yang antara lain bersumber dari sampah, pasokan bahan baku mesti dipastikan. Pasokan bahan baku tidak hanya berasal dari perusahaan itu sendiri, tetapi diperlukan pasokan sampah dari sumber lain. Sumber sampah tersebut perlu dipikirkan dan disiapkan.
Hal itu menjadi tantangan karena sampah di Indonesia relatif belum tertata atau terpilah dengan baik. ”Persoalan keberlanjutan ini penting karena pembangkit (listrik) di kita tidak boleh berhenti. Begitu juga pada sumber biomassa lain, termasuk juga pelet kayu,” ujar Feby.
Dengan penggunaan metode co-firing pada PLTU, imbuh Feby, emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dapat ditekan. Dengan demikian, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) 2021-2030, yang direncanakan menambah 51,6 persen pembangkit dari energi terbarukan dan 48,4 persen dari energi fosil, diharapkan dapat terlaksana.
Pakar energi sekaligus Guru Besar Fakultas Teknik (FT) Universitas Indonesia, Adi Surjosatyo, menuturkan, konsistensi pengembangan energi terbarukan, termasuk dalam skala kecil, amatlah penting. Namun, selama ini hal itu kerap kali terbentur nilai keekonomian yang tidak tercapai. Saat dukungan pendanaan termasuk dari industri terhenti, pengembangan pun terhenti.
Pada akhirnya, aspek bisnis menjadi penting terkait dengan keberlanjutan proyek pengembangan energi terbarukan. ”Salah satu solusi dalam mengatasi problem tersebut adalah dengan menggabungkan bisnis dengan riset yang sudah maju. Jadi, jalurnya harus terbuka. Di samping itu, dukungan, komitmen, seberapa besar political will juga menentukan,” kata Adi.
Komitmen dan konsistensi pada proyek-proyek energi terbarukan perlu terus dirangsang dan digugah. Selain itu, perlu aksi nyata secara berkelanjutan, bukan sekadar melalui seminar-seminar. Hal tersebut penting dalam mengawal transisi energi menuju era energi hijau, sejalan dengan berbagai target yang sudah ditetapkan pemerintah.
Adi sejak lama mengembangkan teknologi pengubah bahan baku limbah padat, seperti batubara muda, batok kelapa, tongkol jagung, atau cangkang kelapa sawit, menjadi gas atau gasifikasi. Bersama tim dari Universitas Indonesia, ia juga mengembangkan panel surya di daerah pantai di Bungin, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Seekor bunglon hinggap di depan pipa penyalur uap panas bumi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kamis (30/9/2021). Tiga PLTP yang dikelola PT Indonesia Power ini mampu menghasilkan listrik 140 MW yang memasok jaringan listrik interkoneksi Jawa, Bali, dan Madura. PLTP pertama di Indonesia yang beroperasi sejak 1982 ini menjadi contoh pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan.
Sebelumnya, dalam Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2023 Institute for Essential Services Reform (IESR) disebutkan, pulihnya ekonomi pun meningkatkan permintaan energi yang saat ini masih didominasi fosil. Dalam laporan itu, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), porsi energi terbarukan dalam bauran energi primer triwulan III-2022 sebesar 10,4 persen. Angka tersebut menurun dari triwulan III-2021 yang 11,5 persen. Sementara pada 2025, porsi energi terbarukan ditargetkan mencapai 23 persen pada bauran energi primer.
Mendesak
Dalam pertemuan the 13th Session of the Assembly of the International Renewable Energy Agency (Irena) di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, pada Sabtu (14/1/2023), disepakati bahwa aksi-aksi jangka pendek mendesak dalam rangka percepatan transisi energi untuk beberapa tahun ke depan. Hal itu penting guna mencegah kenaikan suhu Bumi 1,5 derajat celsius pada 2050.
Sebagaimana dikutip dari laman Irena, pertemuan yang dihadiri para pemimpin energi dari pemerintah, swasta, dan organisasi internasional itu menyimpulkan, antara lain, bahwa kini dunia tidak dalam jalur tepat mencapai tujuan iklim dan pembangunan. Oleh karena itu, solusi harus segera diambil serta tak boleh lagi ada penundaan.
Selain itu, setiap negara harus menemukan caranya masing-masing dalam menyeimbangkan prioritas nasional dengan tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Lalu, The Global Stocktake (terkait Kesepakatan Paris) menjadi proses penting. Di sisi lain, pencapaian kesepakatan bersama dalam prioritas global setelah COP 28 di Dubai juga tak kalah penting.
”Kendati transisi energi sedang berproses di dunia, segala upaya harus dipercepat seraya memastikan manfaatnya didapat oleh negara-negara dan komunitas-komunitas. Kerja sama internasional memegang peranan vital untuk memastikan semua negara mendapat kesempatan untuk mendapat teknologi dan investasi dalam mencapai tujuan,” kata Francesco La Camera, Direktur Jenderal Irena, dalam pertemuan itu.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, yang hadir dalam pertemuan itu, menuturkan, Indonesia tetap berkomitmen dalam akselerasi transisi energi. Sejumlah upaya, yakni percepatan pengembangan energi terbarukan, pengakhiran operasional lebih dini PLTU, co-firing biomassa pada PLTU, biodiesel, dan hingga pengembangan jaringan listrik supergrid.
”Ini langkah nyata untuk menuju net zero emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat sekaligus sebagai dukungan Indonesia pada United Nations Climate Conference COP 28. (Itu) Untuk memastikan program yang sudah berjalan sesuai dengan yang direncanakan,” kata Arifin, yang juga Vice President of Assembly, dalam keterangannya.