Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Cipta Kerja membuka lebar peluang importasi pangan. Ketentuan itu dinilai bakal menjauhkan Indonesia dari cita-cita mewujudkan kedaulatan pangan.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menyetarakan pangan impor dengan pangan produksi dalam negeri sebagai sumber pemenuhan kebutuhan nasional. Kalangan petani menyayangkannya karena berpotensi menggerus kemandirian dan kedaulatan pangan nasional di tengah ancaman krisis pangan global.
Sejumlah pasal dalam Perppu No 2/2022 mengisyaratkan penyetaraan pangan impor sebagai sumber penyediaan pangan. Pasal 64 Ayat 1 misalnya, mengubah Pasal 1 (7) Undang-Undang No 18/2012 tentang Pangan yang mensyaratkan impor ditempuh jika produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional tak cukup. Sementara perppu tidak lagi mensyaratkan kecukupan tersebut.
Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih, UU No 18/2012 dan UU No 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani terbit setelah krisis pangan dunia pada 2008 dan 2011. Di tengah ancaman krisis pangan global saat ini, Perppu No 2/2022 justru berpotensi menggerus kedaulatan pangan Indonesia. ”Kami khawatir, impor tetap dijalankan meski keadaan stok pangan dalam negeri cukup,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (27/1/2023).
Perppu No 2/2022 tak lagi mensyaratkan kecukupan pangan nasional untuk mengimpor pangan. Pasal 32 Ayat 1 Perppu No 2/2022 mengubah Pasal 30 Ayat 1 UU No 19/2013 yang menyatakan, setiap orang dilarang mengimpor komoditas pertanian pada saat ketersediaan dalam negeri mencukupi kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan pemerintah. Perppu mengubahnya jadi kecukupan kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan pemerintah berasal dari produksi dalam negeri dan impor dengan tetap melindungi kepentingan petani.
Padahal, menurut anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, sebelum Perppu No 2/2022 terbit, petani dan produsen pangan dalam situasi yang kurang perlindungan (less protection). ”Lemahnya perlindungan pada petani membuat ketergantungan (Indonesia) pada pangan impor semakin tinggi. Kedaulatan pangan pun makin rapuh,” ujarnya.
Dalam teknis pelaksanaan impor, kata Yeka, pemerintah harus menyusun indikator impor secara ketat. Neraca komoditas tak cukup. Artinya, pemerintah perlu membenahi data stok pangan di tingkat produsen dan distributor, termasuk pedagang, secara nasional. Stok pangan yang dikuasai swasta mesti dihitung dengan cermat. Pergerakan harga juga patut menjadi pertimbangan.
Ketua Umum Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia Guntur Subagja berharap, impor benar-benar menjadi pilihan terakhir dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional. Dia juga meminta pemerintah melindungi komoditas pangan yang dapat diproduksi oleh petani di dalam negeri. Sebab, langkah importasi justru dapat memengaruhi produktivitas dan produksi dalam negeri.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa menilai, substansi Perppu No 2/2022 menjauhkan Indonesia dari cita-cita kedaulatan pangan. ”Perppu ini membuat sistem pangan nasional terintegrasi dengan sistem pangan dunia. Konsekuensinya, produk petani dalam negeri bersaing head to head dengan komoditas yang diproduksi petani asing yang harganya lebih murah karena subsidi dari negaranya,” ujarnya.
Di sisi lain, anggota Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), Bayu Krisnamurthi, berpendapat, Perppu No2/2022 dapat melepaskan ketergantungan produsen pangan dalam negeri pada kebijakan politik yang berpengaruh pada peningkatan produksi dan produktivitas. ”Penanganan masalah yang tidak mampu dihadapi petani, seperti pembangunan infrastruktur atau perlakuan diskriminatif (dari negara lain), tetap ditangani pemerintah,” katanya.
Kepala Badan Pangan Nasional (NFA) Arief Prasetyo Adi mengatakan, pemerintah akan mengutamakan produksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. ”Kalau terdapat proyeksi kekurangan produksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan, kami baru memilih pengadaan dari luar negeri. Rumusnya, produksi dalam negeri nomor satu,” ujarnya.
Penetapan Perppu No 2/2022 juga berkaitan dengan kekalahan Indonesia dalam kasus perizinan impor hortikultura, hewan ternak, dan produk ternak di tingkat Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Kasus itu diajukan oleh Selandia Baru dan Amerika Serikat serta didukung oleh Australia, Brasil, Kanada, China, Uni Eropa, India, Jepang, Norwegia, Paraguay, Singapura, Taiwan, Argentina, Korea Selatan, dan Thailand.
Pada 17 Januari 2023, Indonesia memberikan notifikasi pada WTO yang menyatakan Perppu No 2/2022 merupakan upaya untuk memenuhi tuntutan negara-negara yang mempersoalkan kebijakan impor. Dalam notifikasi itu, Indonesia menyatakan telah mengubah regulasi untuk menjawab 17 poin keberatan yang berkaitan dengan pembatasan impor saat periode panen, persyaratan realisasi impor, harga referensi, dan persyaratan pembelian produk dalam negeri.
Pada 17 Januari 2023, Indonesia memberikan notifikasi pada WTO yang menyatakan Perppu No 2/2022 merupakan upaya untuk memenuhi tuntutan negara-negara yang mempersoalkan kebijakan impor.
Menurut Guntur, pemerintah perlu menyikapi sengketa dagang di WTO dengan tetap mengutamakan kepentingan petani dalam negeri. ”Pemerintah saja bisa membela mati-matian komoditas lain yang juga kalah di WTO, seperti nikel,” katanya.
Dalam perdagangan bebas, kata Guntur, pemerintah seharusnya tidak gentar dalam mementingkan produk dalam negeri. Apalagi, pandemi Covid-19 telah membuktikan, mekanisme impor tidak efektif dalam memenuhi kebutuhan impor di tengah krisis.
Henry juga menyatakan senada. Petani menyayangkan sikap pemerintah yang memilih mengubah aturan yang berorientasi melindungi petani demi menyikapi kekalahan sengketa dagang di WTO. Padahal, pemerintah dapat menggunakan Deklarasi Persatuan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Petani dan Orang yang Bekerja di Perdesaan (United Nations Declaration on the Rights of Peasants and Other People Working in Rural Areas) dalam mempertahankan kepentingan produsen dalam negeri.
Deklarasi itu menyatakan, negara harus menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak petani dan pekerja di perdesaan. Negara juga harus mengambil langkah yang tepat untuk memperkuat dan mendukung pasar lokal, nasional, dan regional dengan memfasilitasi dan memastikan petani dan pekerja di perdesaan memiliki akses dan partisipasi penuh dan setara di pasar dalam menjual produk mereka. Produk tersebut harus dijual dengan harga yang membuat mereka dan keluarganya dapat mencapai taraf hidup yang layak.
Di sisi lain, Bayu berpendapat, upaya Indonesia memenuhi tuntutan WTO merupakan keputusan yang adil. ”Selain itu, secara bisnis, impor tidak mungkin dilakukan saat panen raya karena harga cenderung rendah,” ujarnya.