Peniadaan pembatasan kapasitas dan penerapan kuota pengembangan PLTS atap menjadi salah satu substansi pokok perubahan pokok pada revisi Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
ALIF ICHWAN
Pemerintah mendorong dunia industri dan pemerintah pusat dan daerah memanfaatkan atap bangunan dan gedung yang mereka miliki dengan memasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di atasnya.
JAKARTA, KOMPAS — Rencana penerapan kuota pengembangan pembangkit listrik tenaga surya atap dianggap menjadi salah satu jalan tengah dalam upaya optimalisasi pengembangan energi terbarukan itu. Namun, penetapan kuota tersebut mesti dihitung secara cermat dan terstruktur serta mempertimbangkan dinamika di lapangan.
Saat ini, pemerintah tengah membahas revisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum. Itu sebagai upaya percepatan pencapaian bauran energi terbarukan 23 persen pada 2025.
Dikutip dari laman Kementerian ESDM, hal tersebut menjadi salah satu substansi pokok perubahan pokok Permen PLTS Atap. Ke depan, tidak akan ada batasan kapasitas per pelanggan sepanjang masih tersedia kuota pelanggan PLTS atap. Pada pekan pertama Januari 2022, Kementerian ESDM pun menggelar dengar pendapat (public hearing) terkait dengan revisi permen tersebut.
Selain itu, substansi pokok lain ialah terkait dengan ekspor listrik. Apabila sebelumnya ekspor dihitung sebagai pengurang tagihan, ke depan tidak lagi. Adapun biaya kapasitas yang semula diberlakukan untuk pelanggan industri menjadi tak ada. Bagi pelanggan existing, selanjutnya akan mengikuti permen baru setelah berakhirnya kontrak (tercapainya payback period paling lama 10 tahun).
Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan Institute for Essential Services Reform Marlistya Citraningrum dalam bincang tentang PLTS Atap secara daring oleh Solarin.id, Sabtu (28/1/2023), mengatakan, kapasitas pemasangan PLTS atap memang krusial dan perlu dipertimbangkan. Pasalnya, hal itu sangat berpengaruh pada implementasi di lapangan.
”Yang penting, bagaimana kuota tersebut ditetapkan secara saksama dan terstruktur. Bagaimana cara penetapan kuotanya? (perlu transparan) Jangan sampai, misal menjadi sedikit sekali. Tapi harus menjadi semakin ambisius dan pemrosesannya lebih cepat,” ujar Marlistya.
Ia menambahkan, dalam usulan disebutkan kuota ditetapkan per lima tahun. Namun, menurut IESR, waktu itu terlalu lama. Sebab, perlu ada pertimbangan terkait dengan dinamika yang berkembang. Ia mencontohkan, dalam dua tahun perlu dilihat apakah kuota pengembangan PLTS atap yang ditetapkan sudah merefleksikan perkembangan energi terbarukan atau belum.
Ditiadakannya pembatasan kapasitas itu, kata Marlistya, menjadi hal signifikan dalam revisi Permen ESDM No 26/2021. Pasalnya, setidaknya dalam setahun terakhir, ada pembatasan berkisar 10-15 persen dari daya terpasang meski dalam permen disebut dibatasi paling tinggi 100 persen. Hal tersebut membuat nilai ekonomis berkurang.
Bagaimanapun, menurut Marlistya, PLTS atap atau pembangkit listrik sel surya solar photovoltaic (PV) dapat menjadi pendorong utama pencapaian target penggunaan energi terbarukan. ”Ini menjadi energi yang aksesnya paling terbuka untuk semua orang dan fleksibel. Artinya, dapat dipasang di mana pun. Di sisi lain, kita juga dikaruniai sinar matahari,” katanya.
Terpisah, Wakil Kepala Pusat Penelitian Energi Berkelanjutan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Feby Agung Pamuji, menuturkan, PLTS bersifat intermiten atau tak selalu bisa diandalkan karena bergantung pada cuaca. Karena itu, teknologi seperti Battery Energy Storage System (BESS), yang juga dikembangkan PLN, perlu terus didorong.
Sebelumnya, Direktur Aneka Energi Baru Terbarukan Kementerian ESDM Hendra Iswahyudi mengatakan, revisi permen itu dalam rangka percepatan implementasi PLTS atap. Juga diharapkan ada kesempatan luas bagi masyarakat untuk memasang PLTS atap dengan tidak diberlakukannya batasan kapasitas sepanjang masih tersedia kuota pengembangan PLTS atap.
”Capaian bulan November 2022, jumlah pelanggan PLTS atap mencapai 6.461 pelanggan dengan total kapasitas mencapai 77,60 MWp. Sepanjang tahun 2022, kenaikan rata-rata per bulan sebesar 2,4 MW dan 138 pelanggan. Tentu perlu upaya lebih agar sesuai target,” kata Hendra (Kompas, 13 Januari 2023).
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR pada 28 November 2022, Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Darmawan Prasodjo menuturkan, pihaknya mendukung penuh pengembangan energi terbarukan. Namun, di sisi lain, PLN tengah menghadapi kelebihan pasokan (oversupply) listrik. Selama masih dalam kondisi itu, pihaknya meminta pemasangan PLTS atap sesuai dengan kapasitas konsumsi pelanggan.