Pemerintah Kaji Insentif Khusus Eksportir Manufaktur
Berbeda dari eksportir komoditas SDA, kegiatan ekspor-impor di sektor manufaktur lebih dinamis. Pemerintah pun mengkaji insentif khusus bagi eksportir manufaktur yang menempatkan devisa hasil ekspornya di dalam negeri.
Oleh
agnes theodora
·3 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Aktivitas pemuatan peti kemas ke dalam kapal barang di terminal peti kemas New Priok Container Terminal (NPCT) 1, Jakarta Utara, Selasa (17/1/2023). Badan Pusat Statistik mencatat neraca perdagangan RI tahun lalu surplus 54,46 miliar dollar AS.
BEKASI, KOMPAS — Pemerintah mengkaji berbagai opsi untuk menarik devisa hasil ekspor ke sistem keuangan dalam negeri guna memperkuat cadangan devisa Indonesia di tengah gejolak ekonomi global. Salah satu strategi yang dipertimbangkan adalah memberikan insentif pajak khusus bagi eksportir manufaktur yang menaruh devisanya di dalam negeri.
Ketentuan itu nantinya akan diatur melalui revisi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam yang sedang digodok oleh pemerintah.
Saat ini, baru devisa dari hasil ekspor komoditas perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan perikanan yang wajib ditempatkan dalam sistem keuangan Indonesia. Ke depan, melalui revisi PP No 1/2019, kewajiban itu akan diperluas ke devisa hasil ekspor dari sektor lain, seperti manufaktur.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Jumat (27/1/2023), mengatakan, untuk menarik devisa hasil ekspor dari eksportir manufaktur ke dalam sistem keuangan dalam negeri, dibutuhkan pendekatan yang berbeda dari yang selama ini diterapkan pada eksportir komoditas sumber daya alam (SDA). Sebab, ujarnya, ada perbedaan mendasar terkait sifat sektor manufaktur dengan sektor komoditas SDA.
Berbeda dari eksportir SDA, kegiatan ekspor-impor di sektor manufaktur biasanya lebih dinamis. Pengusaha manufaktur harus dengan cepat memutar devisa hasil ekspornya untuk membeli bahan baku yang umumnya berasal dari impor.
”Kita sedang dalam proses mengkaji apakah bentuk insentif yang dibutuhkan berbeda dari insentif yang ada selama ini. Karena ekspor komoditas SDA itu naturnya berbeda dengan manufaktur. Ini harus kita perhatikan agar jangan sampai tujuan baik kita memunculkan konsekuensi yang tidak baik,” kata Sri Mulyani saat berkunjung ke PT Samsung Electronics Indonesia dan Cikarang Dry Port, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
FAKHRI FADLURROHMAN
Petugas keamanan mengendarai sepeda motor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (28/12/2022). Kementerian Perindustrian mencatat, realisasi ekspor pada 2021 sebesar 177,2 dollar AS atau tumbuh 35,17 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Selama ini, pemerintah sebenarnya sudah memberikan insentif berupa diskon pajak bagi eksportir SDA yang menaruh devisa hasil ekspornya di dalam negeri. Diskon pajak itu berupa pengurangan tarif Pajak Penghasilan (PPh) final untuk bunga deposito yang dananya bersumber dari devisa hasil ekspor. Hal itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 212/PMK/03/2018.
Untuk pengusaha yang menyimpan devisa hasil ekspornya di dalam negeri selama satu bulan dalam bentuk mata uang dollar AS, pengenaan tarif PPh final atas bunga depositonya dikurangi menjadi 10 persen. Sementara, untuk devisa hasil ekspor yang didepositokan selama tiga bulan, tarif PPh finalnya 7,5 persen, untuk penyimpanan enam bulan dikenai tarif 2,5 persen, dan untuk penyimpanan dengan jangka waktu lebih dari 6 bulan dikenai tarif 0 persen.
Kita sedang dalam proses mengkaji apakah bentuk insentif yang dibutuhkan berbeda dari insentif yang ada selama ini. Karena ekspor komoditas SDA itu naturnya berbeda dengan manufaktur.
Adapun untuk eksportir yang menyimpan devisa hasil ekspornya dalam bentuk rupiah, pengenaan tarif PPh final untuk bunga depositonya sebesar 7,5 persen untuk penyimpanan dalam jangka waktu satu bulan, 2 persen untuk jangka waktu 3 bulan, dan 0 persen untuk jangka waktu 6 bulan atau lebih.
Sri Mulyani mengatakan, pemberian insentif itu diperlukan agar eksportir ”betah” dan tidak merugi akibat menyimpan devisa hasil ekspornya di dalam negeri. Hal itu juga untuk memastikan ketersediaan valuta asing (valas) dalam negeri tetap terjamin meski di tengah risiko keluarnya aliran modal valas ke luar negeri (capital flight) yang bisa melemahkan nilai tukar rupiah.
”Ini supaya mereka tidak merasa kehilangan kesempatan dari dana devisa yang mereka miliki. Kita hormati itu, tetapi kita juga harus menjaga agar kinerja ekspor kita juga terefleksikan dalam cadangan devisa, karena ini akhirnya juga untuk ketahanan ekonomi kita bersama,” katanya.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menambahkan, sembari mengkaji perluasan fasilitas insentif pajak itu, pemerintah juga mempelajari tingkat kepatuhan eksportir dalam menaruh devisa hasil ekspornya di rekening khusus di dalam negeri.
Pemberian insentif itu diperlukan agar eksportir ’betah’ dan tidak merugi akibat menyimpan devisa hasil ekspornya di dalam negeri.
”Setelah melihat kepatuhan itu, kita akan me-review insentif yang selama ini sudah cukup atau belum. Ini untuk memastikan bahwa hasil ekspor kita sebaik mungkin telah mencerminkan kekuatan perekonomian kita. Harusnya rupiah kita semakin stabil,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno mengatakan, eksportir manufaktur pada prinsipnya menyambut baik ajakan pemerintah untuk “memulangkan” devisa hasil ekspor. Namun, eksportir membutuhkan insentif dan jaminan dari pemerintah agar penyimpanan devisa di dalam negeri itu tidak merugikan mereka.
Selain membutuhkan suku bunga simpanan valas yang lebih menarik agar devisa tidak ”dilarikan” ke negara lain yang menawarkan suku bunga lebih menarik, eksportir juga butuh jaminan selisih kurs. Apalagi, kalau nantinya eksportir harus menyimpan devisa hasil ekspornya di dalam negeri dan mengonversinya ke dalam bentuk rupiah.
Menurut dia, perlu ada jaminan bahwa ketika mereka membutuhkan simpanan devisa itu untuk membeli bahan baku impor, nilainya tetap sama, tidak berkurang. ”Melalui revisi PP ini diharapkan instrumen foreign exchange kita tidak kalah bersaing dengan negara tetangga. Namun, yang harus diingat pemerintah, Indonesia itu menganut rezim devisa bebas, bukan devisa kontrol,” kata Benny.