Tarik Ulur ”Power Wheeling”
Sejumlah isu hangat bakal mengemuka dalam pembahasan Rancangan UU Energi Baru dan Energi Terbarukan, seperti skema ”power wheeling” yang didorong untuk tetap diuji meski pemerintah sudah tak memasukkannya ke dalam DIM.
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat mengagendakan pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan pada awal 2023. Sejumlah isu hangat bakal mengemuka, seperti skema power wheeling yang didorong untuk tetap diuji meskipun pemerintah tak memasukannya ke dalam daftar inventarisasi masalah.
RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) sejatinya diharapkan bisa tuntas dan disahkan sebelum Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali, November 2022. Namun, target itu urung terwujud. Bahkan, hingga akhir tahun lalu, pembahasan di internal pemerintah dalam DIM membuat pengembalian kepada Komisi VII DPR molor.
Sebelumnya, skema power wheeling hendak dimasukkan ke dalam DIM yang dikembalikan pemerintah kepada Komisi VII DPR. Pembahasan internal dan koordinasi dilakukan antar-kementerian terkait hal itu. Akhirnya, pemerintah sepakat untuk tidak memasukkan skema tersebut ke dalam DIM untuk dibahas bersama Komisi VII DPR. Namun, ada kewajiban pembangkit listrik untuk menyediakan energi baru terbarukan.
Power wheeling adalah penggunaan bersama jaringan transmisi. Dengan skema tersebut, transfer energi listrik bisa langsung dari sumber energi terbarukan yang dikembangkan oleh produsen listrik swasta (independent power producer/IPP) ke perusahaan (pelanggan) yang menggunakannya, tetapi tetap memakai jaringan transmisi PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Nantinya, akan ada pembayaran biaya sewa kepada PLN sebagai pemilik jaringan transmisi itu.
Baca juga: Pengembangan Energi Terbarukan Perlu Langkah Terobosan
Selama ini ada perbedaan pandangan mengenai skema itu. Di satu sisi, skema power wheeling dapat mendorong percepatan capaian energi terbarukan yang saat ini masih jauh dari target. Pengembang energi terbarukan bisa langsung bertransaksi dengan industri penyerap. Namun, di sisi lain, skema itu berpotensi membebani negara. Sebab, PLN saat ini menghadapi kondisi kelebihan pasokan listrik.
Dalam rapat kerja Komisi VII DPR bersama pemerintah, yang dihadiri Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, Selasa (24/1/2023), mekanisme power wheeling tetap disinggung. Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar Maman Abdurrahman meminta ada agenda khusus mengenai power wheeling.
”Menurut sebagian besar teman-teman di Komisi VII, ruhnya energi baru dan energi terbarukan ini pada power wheeling. Apabila power wheeling tidak ada, tidak ada kemajuan dan UU ini akan sebatas formalitas. Maka, isu power wheeling perlu kita perdalam. Layak untuk kita uji publik,” kata Maman.
Menurut dia, jangan sampai ada penerjemahan bahwa satu-satunya cara untuk mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi ialah dengan optimalisasi badan usaha milik negara (BUMN). Sebab, ada juga peran swasta. Oleh karena itu, kata Maman, RUU EBET harus memberi solusi dalam meningkatkan pendapatan negara dan optimalisasi perkembangan industri energi terbarukan.
Sebelumnya, harapan terbukanya struktur pasar pada sektor ketenagalistrikan dituangkan dalam laporan ”Policy Opportunities to Advance Clean Energy Investment in Indonesia” pada November 2022. Policy paper tersebut hasil kolaborasi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dengan RE100 Climate Group.
Baca juga: Kendala Investasi Energi Terbarukan
Salah satu poin dalam laporan itu adalah dorongan untuk mengimplementasikan mekanisme power wheeling. Apabila IPP dapat menggunakan jaringan PLN dalam memasok listrik ke industri, pengembangan energi terbarukan di Indonesia akan terpacu. Hal tersebut akan membantu industri dalam menurunkan emisi mengingat tuntutan akan hal itu semakin menguat.
Sementara itu, pandangan berbeda disampaikan pengamat ekonomi energi yang juga dosen Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Fahmy Radhi. Menurut dia, penerapan power wheeling berpotensi menambah beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang berpotensi merugikan negara. Itu akan menggerus permintaan pelanggan organik PLN hingga 30 persen dan pelanggan non-organik hingga 50 persen.
Fahmy mengatakan, selain akan ada penurunan jumlah pelanggan PLN dan memperbesar kelebihan pasokan listrik, biaya pokok penyediaan (BPP) listrik juga akan naik. ”Dampaknya, APBN dapat membengkak untuk membayar kompensasi kepada PLN akibat tarif listrik PLN di bawah BPP dan harga keekonomian,” ujarnya.
Ia pun menilai power wheeling sebagai upaya liberalisasi kelistrikan yang melanggar Pasal 33 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Fahmy berharap semua mengawal proses pembahasan RUU EBET agar sesuai DIM sehingga tak ada pasal siluman.
Kewajiban
Kendati mekanisme power wheeling tak dimasukkan ke dalam DIM, ada poin terkait kewajiban PLN atau swasta yang memiliki wilayah usaha untuk membeli tenaga listrik dari EBET, sebagaimana paparan pemerintah dalam rapat kerja tersebut di atas. Hal itu pun menjadi salah satu poin dalam RUU EBET selain pengaturan harga jual EBET, penguatan insentif fiskal dan nonfiskal, pengaturan ekspor impor EBET, serta pemanfaatan tenaga nuklir.
Baca juga: Harapan kepada Energi Terbarukan
Pembahasan RUU EBET menjadi langkah penting setelah pada 2022 terbit sejumlah regulasi yang mendorong percepatan pengembangan energi terbarukan, salah satunya Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022. Begitu juga berkah dari KTT G20, berupa dukungan internasional, baik just energy transition partnership (JETP) maupun energy transition mechanism (ETM).
”RUU EBET diperlukan sebagai regulasi komprehensif untuk menciptakan iklim pengembangan energi baru terbarukan yang berkelanjutan dan berkeadilan, di samping untuk mencapai target kontribusi nasional penurunan emisi (nationally determined contribution/NDC) 2030 dan emisi nol bersih (net zero emission/NZE) 2060 atau lebih cepat,” kata Arifin Tasrif.
Indonesia, kata Arifin, telah berkomitmen untuk mencapai NZE pada 2060 atau lebih cepat, dengan pengembangan energi baru terbarukan yang potensinya lebih dari 3.000 gigawatt. Setelah disahkan kelak, RUU EBET diharapkan dapat memberi kepastian dan landasan hukum bagi pengembangan energi baru dan terbarukan dan program-program pendukungnya.
Itu antara lain dengan mengoptimalkan sumber daya, penguatan kelembagaan dan tata kelola pengembangan, hingga terciptanya iklim investasi kondusif bagi para investor energi terbarukan. ”Juga memberi kesempatan akses dan atau partisipasi kepada masyarakat dan pemangku kepentingan untuk penyediaan dan pemanfaatan energi terbarukan,” katanya.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana, Selasa (31/1/2023), menegaskan,dengan berbagai aspek dan pertimbangan, posisi pemerintah ialah tidak memasukkan power wheeling ke dalam DIM. ”Dalam pembahasan RUU, kan, pemerintah berposisi. Per sekarang, tidak ada power wheeling. Apakah nanti posisinya akan sama dengan yang sekarang atau nanti berubah, tidak tahu. Jika didiskusikan di publik ya silakan saja, kan, sekarang pun banyak di media yang isinya rata-rata tidak mendorong power wheeling,” ujarnya.
Dalam pembahasan RUU EBET, akan ada rapat kerja, rapat panitia kerja, rapat tim perumus, dan rapat tim sinkronisasi. Adapun kementerian yang akan terlibat dalam pembahasan adalah Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Badan Usaha dan Milik Negara (BUMN), serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Namun, sejumlah anggota Komisi VII DPR meminta agar dilibatkan juga Kementerian Perindustrian dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengingat keduanya terkait dengan pengembangan energi terbarukan. Arifin pun sepakat dengan hal tersebut dan akan segera mengoordinasikannya dengan Sekretariat Negara.
Pembahasan RUU EBET, dengan segala permasalahan yang akan dibahas pemerintah bersama DPR, akan menjadi tahap krusial dalam upaya akselerasi pengembangan energi terbarukan. Apalagi, capaian energi terbarukan belum memuaskan di tengah potensi yang melimpah. Dinamika global menjadi tantangan tersendiri. Pembahasan RUU EBET perlu dikawal bersama.
Baca juga: Pendanaan Harus Transparan dan Akuntabel