Demi Tekan Ketergantungan, Pemerintah Dorong Substitusi
Langkah substitusi impor dinilai dapat menggerus ketergantungan Indonesia terhadap pangan impor yang rentan bergejolak di tengah konflik geopolitik. Namun, implementasinya butuh peta jalan dan komitmen menjalankannya.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO, M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Guna menjawab tantangan penyediaan pangan yang makin berat di tengah gejolak geopolitik dan dampak perubahan iklim, Indonesia menempuh jalan substitusi, khususnya pada sejumlah komoditas pangan impor. Namun, langkah ini membutuhkan peta jalan yang disusun bersama dan komitmen untuk mewujudkannya.
Kendati laju inflasi di Indonesia dinilai terkendali, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menilai, penyediaan pangan menghadapi tantangan yang kian berat karena gangguan produksi dan distribusi. Konflik geopolitik turut mendongkrak harga pangan dan memicu krisis pangan global.
Selain itu, perubahan iklim makin sulit diprediksi. Hal itu jadi tantangan yang harus dihadapi bersama. ”Sebagaimana pernah diutarakan Henry Kissinger, mantan Menteri Luar Negeri AS dan pemenang Nobel Perdamaian, ’kuasai pangan, maka engkau akan menguasai rakyat. Kuasai energi, maka engkau akan menguasai bangsa-bangsa’. Kita diingatkan untuk tidak lengah dalam menyikapi urusan pangan dan energi,” tuturnya.
Wapres menyampaikan hal itu saat membuka Rapat Kerja Nasional 2023 Kementerian Pertanian yang diadakan di Jakarta, Rabu (25/1/2023).
Menurut Wapres, agar sektor pertanian makin kuat dan dapat diandalkan guna mengendalikan inflasi dan menghadapi krisis pangan dunia, Kementan perlu mengidentifikasi komoditas pangan yang tepat dan fokus mendorong pengembangannya, termasuk penetapan target produksi dan lokasinya.
Penyusutan lahan pertanian karena alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian juga menjadi sorotan Wapres karena dapat mengancam ketahanan pangan Indonesia apabila tidak dibarengi dengan upaya menggenjot produksi dan produktivitas. Dalam hal ini, Wapres mengharapkan terobosan dari Kementan.
Wapres menambahkan, upaya menjaga ketahanan pangan perlu diikuti penggalakan kembali program diversifikasi pangan melalui pengembangan hulu-hilir pangan lokal. ”Bapak Presiden (Joko Widodo) telah menegaskan hal ini, termasuk pada berbagai kesempatan saya mengingatkan agar percepatan program diversifikasi dan pengembangan pangan lokal ini didukung dengan riset,” kata Wapres.
Substitusi
Demi memperkuat ketahanan pangan Indonesia dalam menghadapi ancaman krisis, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyatakan, substitusi impor menjadi salah satu strategi. Contoh bahan pangan yang masih diimpor ialah gandum, gula berbasis tebu, dan daging sapi.
Terkait arahan itu, Sekretaris Jenderal Kementan Kasdi Subagyono memerinci, gula berbasis tebu bisa disubstitusi dengan gula nontebu seperti stevia, lontar, aren, dan batang sorgum. Daging sapi dapat disubstitusi dengan daging ayam, itik, kambing, atau domba.
”Indonesia mengimpor gandum setidaknya 11 juta ton tiap tahun, 9 juta ton untuk pangan dan sisanya untuk pakan. Gandum bisa disubstitusi dengan singkong, sorgum, dan sagu dalam bentuk tepung,” katanya saat ditemui di sela-sela rapat.
Data Badan Pangan Nasional menunjukkan, perkiraan impor gula konsumsi sepanjang tahun 2022 berkisar 1,42 juta ton. Sementara impor daging lembu mencapai sekitar 289.281 ton.
Kasdi mengatakan, strategi substitusi impor tersebut didesain dalam peta jalan dengan jangka waktu 2-3 tahun. Selain dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pembiayaan atas strategi itu akan mengandalkan investasi dan kredit usaha rakyat.
Menurut ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, langkah substitusi impor patut diapresiasi lantaran dapat menggerus ketergantungan Indonesia terhadap pangan dari luar negeri yang berpotensi bergejolak di tengah tekanan geopolitik dunia. ”Namun, substitusi pangan impor tidak mudah dan membutuhkan peta jalan yang tertuang dalam regulasi setara peraturan pemerintah atau peraturan presiden karena melibatkan beragam stakeholder,” tuturnya saat dihubungi.
Rusli mengatakan, pelaku industri yang memanfaatkan pangan impor sebagai bahan baku mesti digandeng. Pemerintah sebaiknya mendesain skema insentif bagi pelaku industri, khususnya di sektor makanan-minuman, yang memanfaatkan bahan pangan lokal dan selaras dengan upaya mendongkrak tingkat komponen dalam negeri.
Dari sisi ketersediaan bahan baku, katanya, perlu ada prioritas komoditas yang produksinya mampu memenuhi kebutuhan industri. Perhitungan terhadap nilai keekonomian pangan lokal yang mengganti bahan impor juga tak boleh luput.
Di sisi hilir, Rusli menilai, kampanye kuliner perlu didorong agar masyarakat menerima cita rasa dari produk makanan-minuman yang mulanya menggunakan bahan impor menjadi pangan lokal. Dia menggambarkan, masyarakat sudah memiliki persepsi terhadap cita rasa mi instan berbasis gandum. ”Kampanye kuliner ini juga perlu mengangkat narasi keberpihakan pada petani dalam negeri,” ujarnya.