Bisnis Perdagangan secara Elektronik Semakin Ketat
Ketidakpastian ekonomi global membuat aliran investasi ke sejumlah perusahaan e-dagang seret berujung pada pemangkasan karyawan sampai penutupan operasi perusahaan. Namun, potensi e-dagang di Indonesia tetap prospektif.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bisnis perdagangan secara elektronik atau e-dagang di Indonesia semakin ketat di tengah ketidakpastian ekonomi global. Sejumlah lokapasar, baik yang di Indonesia maupun global, memberhentikan sebagian karyawannya. Namun, diperkirakan konsumen e-dagang di Indonesia akan tetap tumbuh.
Bisnis terkait e-dagang, yakni JDL Express Indonesia, yang merupakan bagian dari lokapasar JD.ID, telah resmi berhenti beroperasi sejak Minggu (22/1/2023). Penutupan bisnis JDL Express Indonesia semakin menguatkan rumor JD.ID akan berhenti beroperasi di Indonesia. Sebelumnya, JD.com selaku pemegang saham utama JD.ID dikabarkan akan hengkang sebagai pemegang modal di JD Indonesia dan Thailand.
Praktisi bisnis digital Ignatius Untung, saat dihubungi, Selasa (24/1/2023), berpendapat, konteks yang dialami JD.ID berbeda dengan Rakuten, lokapasar asal Jepang, yang memutuskan menutup operasionalisasinya di Indonesia per 1 Maret 2016. Kala itu, pasar e-dagang di Indonesia sedang berkembang dan sudah ada 10 pemain lokapasar berskala besar.
”Sementara kondisi saat ini, semua perusahaan teknologi sedang berhitung. Dengan situasi ketidakpastian makroekonomi global yang berdampak ke aliran investasi sektor teknologi lesu, mereka tentunya mengkaji ulang bisnis di luar negeri yang sudah menghasilkan laba, balik modal, atau punya prospek untung,” kata Untung.
Dia menambahkan, konsumen e-dagang di Indonesia masih tetap tumbuh. Namun, pada saat bersamaan, dia mengatakan, ada sejumlah konsumen baru yang mengadopsi cara berbelanja selama pandemi Covid-19, lalu memutuskan berhenti dan kembali belanja luring dengan berbagai alasan.
Sementara itu, dosen Universitas Prasetiya Mulya, Muhammad Setiawan Kusmulyono, menduga ada beberapa faktor penyebab di balik kejadian yang dialami JDL Express Indonesia. Pertama, sebagai bisnis logistik vertikal JD.ID, pendapatan utama JDL Express Indonesia bergantung dari JD.ID. Jika transaksi perdagangan JD.ID menurun, pendapatan JDL Express Indonesia akan turut terdampak. Padahal, bisnis logistik biasanya butuh minimal ongkos untuk menutup pembiayaan pegawai dan kendaraan.
Faktor kedua, persaingan dengan sesama lokapasar. Sejumlah pemain lokapasar lain makin banyak menggaet jenama besar dan membuka gerai resmi di platform mereka sehingga barang yang ditawarkan kepada konsumen tentunya orisinal. Cara ini diduga untuk menyaingi kampanye #DijaminOri yang diusung oleh JD.ID.
”Ditambah lagi, persaingan dengan sesama pelaku bisnis kurir. Saat ini, sejumlah perusahaan kurir lain juga menawarkan jemput pesanan dan pengiriman cepat ke konsumen. Pemain lama di bisnis kurir, seperti Tiki, pun sudah mempunyai basis pelanggan yang kuat,” ujar Setiawan.
Tahun lalu, sejumlah perusahaan e-dagang di Indonesia memangkas jumlah karyawannya. Shopee memangkas sekitar 3 persen dari total karyawan, lalu SayurBox memangkas 5 persen dari total karyawan, dan GoTo sebanyak 1.300 orang.
Penutupan operasional juga dialami sejumlah perusahaan teknologi di Indonesia. Perusahaan e-dagang furnitur, Fabelio, misalnya, dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Pengadilan Negeri Jakarta Pusat per 5 Oktober 2022.