Berkaca pada peran mitigasi bantuan sosial dan berlanjutnya tekanan ekonomi tahun ini, pemerintah sebaiknya tetap melanjutkan sejumlah program perlindungan sosial tambahan yang sudah dijalankan sejak tahun 2020.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Instrumen perlindungan sosial dinilai berperan signifikan dalam meredam naiknya angka kemiskinan selama tekanan inflasi tahun lalu. Untuk memitigasi krisis lanjutan akibat imbas perlambatan ekonomi global dan tren inflasi, sejumlah program perlindungan sosial khusus yang telah digulirkan beberapa tahun terakhir ini sebaiknya tetap dilanjutkan.
Penelitian SMERU Research Institute terkait dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi terhadap tingkat kemiskinan dan ketimpangan menunjukkan, 50-70 persen potensi kenaikan angka kemiskinan dapat dimitigasi oleh kehadiran program perlindungan sosial.
Penelitian bertajuk ”Estimating the Effect of a Fuel Price Increase on Poverty and Inequality: Evidence from a Fuel Subsidy Reduction in Indonesia” yang dirilis Januari 2023 itu mengestimasi, tanpa bantuan sosial (bansos), dampak naiknya harga BBM bersubsidi pada September 2022 bisa meningkatkan angka kemiskinan dari 9,54 persen pada Maret 2022 menjadi 12,23 persen-12,77 persen.
Sementara itu, dengan kehadiran bansos khusus seperti bantuan langsung tunai (BLT) BBM kepada warga miskin dan rentan miskin serta pekerja berpenghasilan di bawah Rp 3,5 juta per bulan di periode yang sama, kemiskinan tetap naik tetapi bisa ditekan ke 10,31 persen-11,08 persen.
Hasil rilis Badan Pusat Statistik (BPS) awal pekan lalu menunjukkan, peningkatan angka kemiskinan pada September 2022 lebih rendah dari itu. Tingkat kemiskinan naik 0,03 persen dari 9,54 persen menjadi 9,57 persen, membuat total jumlah penduduk miskin di Indonesia menjadi 26,36 juta orang.
Peneliti SMERU Institute Ridho A Izzati menilai, berkaca pada peran bansos yang signifikan itu, pemerintah sebaiknya tetap melanjutkan program perlindungan sosial yang sudah dijalankan sejak tahun 2020. Tidak hanya kebijakan rutin seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) atau Kartu Sembako, tetapi juga program khusus lainnya.
”Krisis belum selesai, masih ada ancaman resesi global, yang salah satu manifestasinya adalah tingkat inflasi yang masih cukup tinggi dibandingkan periode sebelum krisis sehingga program perlindungan sosial sebaiknya tetap dilanjutkan,” kata Ridho saat dihubungi, Senin (23/1/2023).
Berkaca pada peran bansos yang signifikan itu, pemerintah sebaiknya tetap melanjutkan program perlindungan sosial yang sudah dijalankan sejak tahun 2020.
Di luar program perlindungan sosial rutin, ada sejumlah program yang khusus memitigasi dampak pandemi Covid-19 selama dua tahun terakhir, seperti Bantuan Subsidi Upah (BSU), Bantuan Sosial Tunai (BST), Diskon Listrik, Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM), serta Bantuan Tunai PKL dan Warung (BTPKLW). Ada pula program tambahan BLT BBM untuk meredam dampak kenaikan harga BBM bersubsidi tahun lalu.
Ridho menilai, beberapa program bansos yang perlu dilanjutkan tahun ini adalah yang fokus pada kelompok rumah tangga miskin dan rentan miskin, untuk mencegah bertambahnya jumlah orang miskin baru tahun ini akibat tekanan inflasi lanjutan dan perlambatan ekonomi.
Ia mencontohkan, program BSU senilai Rp 600.000 bagi pekerja dengan gaji di bawah Rp 3,5 juta per bulan atau di bawah standar upah minimum. BSU bisa menjadi jaring pengaman sosial bagi masyarakat yang bekerja di sektor formal atau yang baru saja kehilangan pekerjaan. Apalagi, tren pemutusan hubungan kerja mulai marak bermunculan di beberapa sektor sebagai dampak dari melambatnya perekonomian.
”Tidak perlu khusus untuk orang miskin absolut, karena dari awal program (BSU) memang tidak ditujukan untuk menarget rumah tangga miskin,” katanya.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menambahkan, bansos memang bisa menjadi instrumen tercepat untuk meredam kenaikan angka kemiskinan di tengah guncangan ekonomi. Namun, masih ada masalah klasik berupa penyaluran bansos yang belum efektif.
Hasil penelitian CORE Indonesia terkait dampak kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi terhadap kelompok nelayan dan usaha mikro-kecil pada 22 Oktober-30 November 2022 menunjukkan, masih banyak warga rentan yang tertekan kenaikan harga BBM bersubsidi, tetapi tidak mendapat BLT BBM.
”Dari sisi penerima, bansos yang seharusnya meredam dampak (guncangan) terhadap orang miskin belum terlalu efektif karena masih ada warga membutuhkan yang tidak menerimanya. Meski kalau dilihat dari sisi penyalur (pemerintah) menilai itu sudah efektif karena anggarannya sudah nyaris habis tersalurkan,” katanya.
Didesain ulang
Seiring dengan melandainya Covid-19 dan berakhirnya kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), pemerintah berencana melakukan normalisasi program bansos mulai tahun ini.
Dalam dokumen Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) tertulis bahwa pada tahun 2023, pemerintah akan melanjutkan normalisasi perlindungan sosial diiringi dengan pelaksanaan agenda reformasi sistem perlindungan sosial. Namun, program perlindungan sosial yang akan dilaksanakan merupakan program reguler, sedangkan program tambahan khusus untuk merespons Covid-19 tidak dilanjutkan.
Program perlindungan sosial yang akan dilaksanakan merupakan program reguler, sedangkan program tambahan khusus untuk merespons Covid-19 tidak dilanjutkan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2023, alokasi dana perlindungan sosial sebesar Rp 476 triliun. Sebelumnya, pada APBN 2022, realisasi anggaran perlindungan sosial mencapai Rp 461,6 triliun, dengan rincian disalurkan oleh kementerian/lembaga (K/L) senilai Rp 173,6 triliun, oleh non-K/L Rp 257,1 triliun, dan melalui transfer ke daerah Rp 30,9 triliun.
Ia mengatakan, besaran anggaran perlindungan sosial tahun ini tidak jauh berbeda dari sebelumnya, tetapi beberapa komponen di dalamnya akan sedikit berbeda. Hal itu karena beberapa tekanan ekonomi yang terjadi pada tahun 2022 diyakini tidak terulang tahun ini, seperti pandemi dan kenaikan harga minyak goreng.
”Tahun 2022 memang situasinya masih pandemi dan ada guncangan lain seperti harga minyak goreng naik. Jadi, ada beberapa anggaran yang tidak diteruskan (tahun ini). Program perlindungan sosial nanti akan didesain ulang, tergantung setiap K/L,” katanya dalam acara program penanganan kemiskinan terpadu bersama Kementerian Sosial, Jumat (20/1/2023).
Sementara itu, saat dihubungi, Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Maliki mengatakan, pemerintah masih optimistis menargetkan penurunan angka kemiskinan tahun ini di kisaran 7,5-8,5 persen.
”Bansos masih terus dipakai untuk mendorong konsumsi penduduk miskin dan rentan, tentu dengan dibarengi pemberdayaan masyarakat, termasuk akses kewirausahaan dan lapangan kerja layak,” katanya.