Lepas dari kinerja transaksi lelang yang tinggi, beberapa aset sitaan bernilai triliunan dari kasus-kasus besar tak kunjung laku. Pemerintah mengkaji berbagai cara alternatif untuk memastikan aset-aset itu terjual.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah membukukan nilai transaksi pokok lelang senilai Rp 35,23 triliun pada tahun 2022, rekor tertinggi sepanjang sejarah atau dalam 115 tahun terakhir. Meski demikian, masih ada pekerjaan rumah yang tersisa berupa lelang sejumlah aset sitaan jumbo dari kasus-kasus besar, seperti Jiwasraya dan BLBI yang sampai sekarang masih sulit laku.
Menurut data Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (DJKN Kemenkeu), nilai transaksi lelang Rp 35,23 triliun pada tahun 2022 itu memenuhi 117 persen dari target Rp 30 triliun, meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Nilai transaksi itu pun tercatat sebagai yang tertinggi dalam 115 tahun terakhir.
Seiring dengan bertambahnya nilai transaksi tersebut, total penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang masuk ke kas negara juga terus meningkat. Pada tahun 2022, pemerintah membukukan PNBP lelang senilai Rp 850 miliar, meningkat dari Rp 726 miliar pada 2021.
Secara keseluruhan, total penerimaan negara termasuk PNBP dari transaksi lelang sepanjang 2022 mencapai Rp 2,78 triliun. Di luar PNBP, kontribusi lelang terhadap penerimaan negara berupa Rp 1,57 triliun hasil bersih lelang yang langsung masuk ke kas negara, Rp 265,6 miliar pajak pusat (Pajak Penghasilan/PPh), dan Rp 93 miliar pajak daerah (bea perolehan hak atas tanah dan bangunan/BPHTB).
Direktur Lelang DJKN Kemenkeu Joko Prihanto, Jumat (20/1/2023), mengatakan, transaksi yang bersumber dari upaya penegakan hukum dan pemulihan keuangan negara hampir mencapai Rp 2 triliun, yakni berasal dari lelang barang milik negara/daerah Rp 882,95 miliar, lelang barang rampasan/sitaan kejaksaan Rp 625,4 miliar, dan lelang barang dari eksekusi pengadilan Rp 378,67 miliar.
Joko mengatakan, pada tahun 2022, terjadi peningkatan transaksi lelang dari kategori pemulihan keuangan negara dan penegakan hukum karena ada beberapa kasus besar yang putusannya sudah inkracht (mengikat) dan proses lelangnya sudah mulai bisa dilaksanakan. Namun, lelang dari kategori ini masih menyisakan pekerjaan rumah untuk dilanjutkan pada tahun 2023.
Pasalnya, masih ada beberapa aset sitaan ”jumbo” dengan nilai triliunan dari kasus-kasus besar yang sampai sekarang masih belum laku. ”Untuk aset yang besar-besar ini masih terus kita upayakan, sebagian akan kita lelang ulang di triwulan I-2023 ini,” kata Joko dalam konferensi pers di Jakarta.
Pertama, aset sitaan milik obligor kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), seperti aset tanah milik Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto senilai Rp 2 triliun. Aset ini sudah tiga kali dilelang tahun lalu dan diturunkan harganya, tetapi tidak laku-laku akibat nilai valuasi yang terlalu besar.
Kedua, aset saham hasil rampasan PT Asuransi Jiwasraya yang nilainya mencapai Rp 3,84 triliun dan sudah pernah dilelang satu kali. Di luar saham, aset alat berat sitaan kasus Jiwasraya lainnya sudah berhasil dilelang, seperti kapal yang terjual dengan nilai lebih dari Rp 9 miliar.
Secara keseluruhan, total penerimaan negara termasuk PNBP dari transaksi lelang sepanjang 2022 mencapai Rp 2,78 triliun.
Joko mengatakan, sebenarnya sudah ada sejumlah pihak yang berminat membeli aset saham milik Jiwasraya. Namun, karena periode pengumuman lelang yang singkat, nilai valuasi yang cukup besar, serta pembayaran yang harus dilakukan paling lambat lima hari kerja setelah dinyatakan menang, pihak-pihak bersangkutan masih butuh waktu untuk mengumpulkan uang.
”Informasi yang kami dapat, mungkin di lelang kedua ini baru mereka akan menawar. Sempat ada yang bertanya, apakah boleh pembayarannya diperpanjang, misalnya jangan lima hari tapi 2-3 minggu. Tetapi, karena regulasi, kita tidak bisa membolehkan,” kata Joko.
Cari cara lain
Sementara itu, terkait aset milik Tommy Soeharto yang tak laku-laku, Direktur Hukum dan Hubungan Masyarakat DJKN Kemenkeu Tri Wahyuningsih mengatakan, pemerintah sedang mengkaji berbagai cara alternatif untuk memastikan aset itu terjual. ”Penyelesaiannya tidak harus selalu melalui lelang, tapi ini masih kita kaji langkah-langkahnya seperti apa,” katanya.
Tri menjelaskan, selain nilai valuasi yang terlalu tinggi, ada beberapa faktor lain yang membuat aset dari kasus-kasus besar, seperti BLBI, sulit dilelang. Misalnya, obyek yang ada kurang diminati atau publik ragu menawar karena kasus yang melatarbelakangi kepemilikan aset tersebut.
”Ada beberapa aset besar yang memang berapa kali dilelang pun tidak ada yang minat. Mungkin karena obyeknya atau isu terkait lelang aset juga menentukan laku atau tidaknya,” ujarnya.
Masih ada beberapa aset sitaan ”jumbo ” dengan nilai triliunan dari kasus-kasus besar yang sampai sekarang masih belum laku.
Meski demikian, secara umum, minat masyarakat dalam mengikuti lelang aset negara masih terhitung tinggi meski kondisi ekonomi akhir-akhir ini mulai menunjukkan tren melambat. Setiap jenis aset sudah memiliki kelompok peminatnya sendiri.
”Mungkin karena barang-barang lelang ini punya karakter khusus yang tidak bisa ditemui di pasaran. Harga yang ditawarkan juga cukup menarik. Jadi, pasar untuk lelang mobil tetap ada peminatnya, untuk besi tua ada peminatnya, untuk properti juga begitu, semakin hari juga bertambah,” ujarnya.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, meski dari sisi kontribusinya terhadap penerimaan negara tidak terlalu besar atau diperkirakan hanya sekian 1 persen, peran transaksi lelang tetap cukup signifikan.
Meski demikian, ia menilai ada kencederungan aset-aset dengan valuasi besar dari kasus besar lebih sulit laku di tengah kondisi ekonomi yang sedang melambat. Hal ini perlu segera dicarikan solusinya agar negara tidak merugi, apalagi mengingat masa tugas Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI (Satgas BLBI) akan berakhir tahun ini.
”Setelah pandemi Covid-19, kemampuan investasi dan pembelian aset publik bisa jadi sudah tidak sekuat sebelumnya. Saat kondisi normal saja, aset-aset besar ini sulit laku, apalagi di kondisi saat ini. Salah satu yang bisa dilakukan mungkin menurunkan lagi harga aset-aset itu agar lebih dekat dengan kemampuan kondisi pasar,” ujarnya.