Mitos Kuda dan Burung Gereja
Kekayaan tidak menetes ke bawah, tetapi menggenang di atas. Kendati pertumbuhan ekonomi RI pada triwulan III tahun 2022 melesat 5,72 persen, tertinggi di antara negara-negara G20, angka kemiskinan justru meningkat.
Ada sebuah perumpamaan ekonomi yang berbunyi: berikan seekor kuda makanan yang banyak, supaya remah-remahnya jatuh ke jalan dan dimakan oleh burung gereja.
Gagasan itu dikenal dengan “teori kuda dan burung gereja” yang disampaikan oleh ekonom John Kenneth Galbraith saat krisis ekonomi di era 1890-an alias The Panic of 1896 di Amerika Serikat.
Metafora kuda dan burung gereja itu adalah sindiran terhadap kebijakan ekonomi yang terlalu ramah pada pemilik modal dan korporasi besar, dengan harapan berbagai fasilitas dan kemudahan untuk para elite itu dapat membantu menggerakkan ekonomi dan ikut menyejahterakan masyarakat.
Galbraith sejak awal menilai, ekonomi “kuda dan burung gereja” gagal mencapai tujuannya, bahkan ikut memicu depresi ekonomi kala itu. Meski demikian, dalam sejarah peradaban, paham serupa tetap muncul dan dikenal dengan sebutan lain: “trickle-down effect”.
Konsep itu meyakini, dalam ekonomi pasar bebas, keuntungan ekonomi dan kekayaan segelintir elite akan menetes ke masyarakat di lapisan terbawah.
Baca juga: Tetesan Ekonomi Terbatas di Daerah Penghasil Komoditas
Penggunaan istilah “trickle-down” atau “tetesan ekonomi” kian populer di masa pemerintahan Presiden AS Ronald Reagan dan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher. Namun, asal muasalnya diduga berasal dari guyonan komedian Will Rogers, saat menyindir kebijakan Presiden AS Herbert Hoover di kala krisis The Great Depression di era 1920-an.
Rogers saat itu berujar, “uang sengaja disisihkan untuk mereka yang di atas dengan harapan bisa menetes ke orang miskin. Presiden Hoover seorang insinyur, dia paham air menetes ke bawah, tapi dia tidak tahu kalau uang menetesnya ke atas. Coba saja berikan uang ke orang miskin. Sebelum malam tiba, uang itu akan tetap berakhir di tangan orang kaya.”
Paparan data Profil Kemiskinan di Indonesia yang awal pekan ini dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) mengingatkan akan ironi itu. Ketika pertumbuhan ekonomi RI pada triwulan III tahun 2022 (Juli-September) melesat hingga 5,72 persen, tertinggi di antara negara-negara G20, angka kemiskinan di saat yang sama justru meningkat dari 9,54 persen (Maret 2022) menjadi 9,57 persen (September 2022).
Ironi itu semakin kentara terlihat dari data bertambahnya jumlah penduduk miskin di daerah penghasil komoditas ekspor andalan Indonesia, seperti kelapa sawit mentah (CPO), batubara, nikel, dan bijih besi.
Seperti guyonan Rogers, kekayaan tidak menetes ke bawah, tapi menggenang di atas. “Durian runtuh” berkat kenaikan harga komoditas yang mendorong tingginya kinerja ekspor dan pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun hanya dinikmati segelintir kalangan seperti korporasi besar dan tengkulak, sementara kelompok petani hidup pas-pasan dan bahkan jatuh miskin.
“Durian runtuh” berkat kenaikan harga komoditas yang mendorong tingginya kinerja ekspor dan pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun hanya dinikmati segelintir kalangan.
BPS mencatat, dari empat pulau besar penghasil komoditas, hanya satu pulau, yakni Sumatera, yang tingkat kemiskinannya turun dari 9,49 persen menjadi 9,47 persen. Angka kemiskinan di pulau lain justru meningkat. (Kompas, 18/1/2023)
Terdampak kebijakan
Penduduk rentan yang hidup di sekitar garis kemiskinan terdampak oleh berbagai kebijakan pemerintah, seperti pemangkasan subsidi BBM yang mendorong kenaikan harga bensin bersubsidi dan berbagai kebutuhan pokok, serta kebijakan bernuansa “trickle-down” seperti penetapan kenaikan upah minimum di bawah inflasi yang menggerus daya beli.
Kenaikan harga kebutuhan pokok meningkatkan garis kemiskinan hingga menyentuh rekor tertinggi dalam sembilan tahun terakhir. Garis kemiskinan naik 5,95 persen, dari Rp 505.469 per kapita per bulan (Maret 2022) menjadi Rp 535.547 per kapita per bulan (September 2022).
Kenaikan upah tidak bisa mengimbangi biaya hidup yang semakin mahal itu. Sebagai dampak formula pengupahan yang pro-pengusaha di Undang-Undang Cipta Kerja, upah minimum 2022 hanya naik tipis dengan rata-rata 1,09 persen, di bawah inflasi tahunan 5,51 persen. Dengan standar yang rendah itu, rata-rata riil upah masyarakat tergerus biaya hidup yang tinggi.
Baca juga: Angka Kemiskinan Naik, Imbas Kenaikan Harga BBM
BPS mencatat, hampir semua provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi nasional memiliki tingkat upah rendah. Dari 16 provinsi yang angka kemiskinannya mencapai dua digit, 14 provinsi memiliki rata-rata upah di bawah tingkat nasional dan memiliki standar upah minimum provinsi terendah se-Indonesia.
Maraknya kasus pemutusan hubungan kerja di sejumlah sektor semakin menekan pendapatan dan daya beli masyarakat. Sementara itu, lapangan kerja belum tumbuh sesuai harapan. Di tengah pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Agustus 2022 naik menjadi 5,86 persen.
Tak heran, kesenjangan antara orang kaya dan miskin masih lebar. Data Lembaga Penjamin Simpanan, simpanan nasabah kaya dengan nominal di atas Rp 5 miliar naik hingga 15,5 persen (tahunan) dan 6,9 persen (bulanan) menyentuh Rp 4.295 triliun per Oktober 2022. Sementara, tabungan nasabah dengan nominal di bawah Rp 100 juta turun 0,3 persen (bulanan) dan tumbuh 2,7 persen (tahunan).
Sebuah mitos
Banyak kajian telah mengkritisi kebijakan “trickle-down”, mencapnya sebagai mitos yang hanya indah secara teori. Kritik keras juga datang dari Dana Moneter Internasional (IMF) dalam penelitian “Causes and Consequences of Income Inequality: A Global Perspective” pada 2015.
Kajian yang ditulis oleh lima ekonom IMF itu menyimpulkan bahwa efek tetesan ekonomi yang selama ini populer gagal diterapkan. Dengan menganalisa data di 159 negara maju dan berkembang dalam kurun waktu 1980-2012, penelitian itu membuktikan bahwa kekayaan di kalangan elite tidak menetes ke bawah dan justru memperparah ketimpangan ekonomi di dalam suatu negara maupun antarnegara.
Laporan itu menyoroti, jika kekayaan kelompok 20 persen teratas naik 1 persen, pertumbuhan ekonomi suatu negara akan melambat 0,08 persen dalam lima tahun ke depan. Sebaliknya, jika pendapatan kelompok 20 persen terbawah naik 1 persen, ekonomi akan tumbuh 0,38 persen.
Kekayaan di kalangan elite tidak menetes ke bawah dan justru memperparah ketimpangan ekonomi di dalam suatu negara maupun antarnegara.
Lepas dari berbagai ironi di atas, mitos “kuda dan burung gereja” terus diadopsi banyak negara. Indonesia tidak luput dari itu. Pemerintah meyakini kebijakan yang berpihak pada kelompok atas dan dunia usaha lewat deregulasi serta pemberian berbagai fasilitas dan kemudahan pada akhirnya akan menggerakkan ekonomi, menciptakan pekerjaan, dan menyejahterakan masyarakat di lapis terbawah.
Baca juga: Pendapatan Rendah, Kemiskinan Bertambah
Contoh paling nyata adalah polemik Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Cipta Kerja untuk menjawab vonis cacat formil Mahkamah Konstitusi atas UU sebelumnya. Di tengah kritik dari berbagai elemen, regulasi yang dinilai berpihak pada pemodal dan menggerus hak pekerja itu dikeluarkan dengan dalih kegentingan ekonomi yang memaksa.
Tentu, ada langkah progresif lain dari pemerintah, seperti keputusan memajaki kelompok super kaya dengan tarif pajak penghasilan yang lebih tinggi, dari 30 persen menjadi 35 persen, serta menaikkan batas lapisan terbawah penghasilan kena pajak dari Rp 50 juta menjadi Rp 60 juta per tahun untuk meringankan tarif PPh bagi warga berpenghasilan kecil. Efektivitas kebijakan itu kini masih dinanti.
Seperti kata Pelapor Khusus PBB Bidang Kemiskinan Ekstrim dan Hak Asasi Manusia Philip Alstom, poverty is a political choice. Kemiskinan adalah buah dari pilihan politik, bukan kenicayaan. Kemiskinan akan selalu ada sampai pengentasannya dimaknai sebagai upaya untuk mewujudkan keadilan sosial serta hak manusia paling mendasar untuk hidup layak.
Pilihan mana yang mau kita ambil, apakah terus-menerus menyuapi segelintir kuda atau lebih serius berpihak pada segerombolan burung gereja, ada di tangan pemerintah.