Tren bank semakin bergerak ke arah digital. Hal ini dipicu perilaku masyarakat yang berubah sejak pandemi Covid-19 dua tahun lalu.
Oleh
Ayu Octavi Anjani, BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tren digitalisasi perbankan makin menguat. Hal ini dipicu perilaku masyarakat yang berubah sejak pandemi Covid-19 dua tahun lalu.
”Peluang dan tantangan ke depan terletak di perbankan digital sehingga kita perlu konsolidasi demi menguatkan tata kelola dan efisiensi bank. Kondisi ekonomi Indonesia di masa depan bergantung pada sistem keuangan yang berfungsi dengan baik atau tidak, apalagi di era serba digital,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae dalam webinar ”Tren Perbankan di Tahun 2023” yang diselenggarakan OJK Institute di Jakarta, Selasa (17/1/2023).
Bank Indonesia (BI) mencatat penggunaan sistem perbankan digital pada 2022 diperkirakan meningkat menjadi Rp 48.000 triliun dari Rp 40.000 triliun pada 2021. Selain itu, jumlah konsumen digital juga meningkat hingga 21 juta orang selama pandemi dan 72 persen berasal dari konsumen yang berada di luar kota besar.
Saat ini layanan perbankan dituntut semakin cepat dan efisien. Pemanfaatan teknologi digital mampu mempercepat dan mempermudah segala layanan perbankan, seperti transfer atau penyaluran kredit. Digitalisasi perbankan juga didorong persaingan yang makin ketat dengan industri teknologi finansial (tekfin).
Pada kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Bank Syariah Indonesia (BSI) Hery Gunardi mengatakan, pihaknya terus memperkuat konsolidasi dan digitalisasi layanan.
”Saya akui digitalisasi Bank BSI ini masih belum terlalu maju. Namun, semenjak merger kami berupaya mengedepankan digitalisasi dan semakin baik saat ini. Kami sudah memiliki BSI Mobile dan akan meluncurkan superapp tahun ini,” katanya.
Sementara itu, di tengah risiko perlambatan ekonomi global, tahun 2023, terdapat sentimen positif berupa kemungkinan dibukanya kembali perekonomian China.
Chief Investment Officer, Southeast Asia HSBC Global Private Banking and Wealth James Cheo memperkirakan tahun ini China mengambil kebijakan membuka kembali perekonomiannya. Ia menambahkan, seluruh pemangku kepentingan ekonomi Indonesia perlu dengan jeli mencermati dibukanya kembali perekonomian China.
”Hubungan investasi dan perdagangan China dengan Indonesia ini sangat erat. Dibukanya kembali perekonomian China ini bisa menguntungkan kedua belah pihak. Ini peluang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia,” ujar James dalam jumpa pers Investment Outlook 2023, Jakarta, Selasa (17/1/2023).
James menjelaskan, dengan dibukanya kembali perekonomian China, konsumsi dalam negeri ”Negara Tirai Bambu” itu akan kembali menanjak. Adapun kebutuhan sebagian konsumsi dalam negeri China merupakan hasil impor dari Indonesia. Artinya, ekspor Indonesia akan berpotensi meningkat. Sektor-sektor yang akan menikmati lonjakan ekspor ke China antara lain tekstil dan produk tekstil, alas kaki, komoditas pangan, produk sawit, besi dan baja, serta batubara.
Dibukanya kembali keran ekspor ke China ini jelas menguntungkan Indonesia mengingat China adalah salah satu mitra dagang Indonesia. Mengutip Badan Pusat Statistik (BPS) nilai ekspor nonmigas ke China pada Januari-Desember 2022 mencapai 63,54 miliar dollar AS atau setara dengan 23,03 persen dari total ekspor. China merupakan destinasi ekspor terbesar Indonesia pada 2022.
Selain ekspor, investasi di Indonesia juga diperkirakan meningkat berkat kehadiran investor China. James mengatakan, keinginan pemerintah untuk hilirisasi nikel telah menarik perhatian investor China. Mereka menilai ada potensi yang besar dari Indonesia untuk bisa menjadi bagian dari rantai pasok global industri mobil listrik di tahun-tahun mendatang. Maka, lanjut James, mereka pun tertarik berinvestasi di Indonesia.
Tak hanya investasi, dengan dibukanya perekonomian China, akan ada potensi kenaikan kunjungan wisatawan China untuk berlibur di Indonesia. Mengutip BPS, jumlah wisatawan China yang datang ke Indonesia sampai dengan November 2022 mencapai 20.070 orang, setara dengan 3,05 persen dari total wisatawan mancanegara.
James menjelaskan, kendati Pemerintah China belum secara terbuka mengatakan akan membuka kembali perekonomiannya, mereka menilai kebijakan zero covid itu tidak memberikan keuntungan ekonomis. Biaya operasional untuk tes Covid-19 secara massal dan belanja tinggi untuk alat kesehatan bagi petugas medis telah membebani negara itu.
Adapun yang tak kalah penting, kebijakan zero covid itu menghilangkan peluang pertumbuhan ekonomi China karena dunia usaha terhenti, konsumsi masyarakat juga terhambat, ekspor-impor tidak maksimal, dan investasi pun tidak optimal. Berbagai perhitungan itu akan mendorong China membuka kembali keran perekonomiannya.
”Dibukanya kembali perekonomian China menjadi peluang emas Indonesia yang perlu dimanfaatkan untuk menambah daya dorong perekonomian,” ujar James.