Tetesan Ekonomi Terbatas di Daerah Penghasil Komoditas
Kinerja apik ekspor pada 2022 terutama ditopang kenaikan harga komoditas. Kinerja ekspor turut menopang pertumbuhan ekonomi. Namun, ”trickle down effect” atau tetesan ekonominya ke kalangan bawah belum optimal.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Anak-anak bermain di tepian Kali Ciliwung dengan latar belakang hunian padat penduduk di kawasan Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur, Senin (16/1/2023). Badan Pusat Statistik mencatat tingkat kemiskinan September 2022 sebesar 9,57 persen atau lebih tinggi dari Maret 2022 yang 9,54 persen. Sejumlah faktor turut memengaruhi kondisi itu, termasuk peningkatan inflasi sebagai dampak kenaikan harga BBM.
JAKARTA, KOMPAS — Peningkatan jumlah penduduk miskin terjadi di sejumlah daerah penghasil komoditas ekspor andalan Indonesia. Hal ini menunjukkan keuntungan kenaikan harga komoditas global hanya dinikmati segelintir kalangan dan terkikis imbas kenaikan harga BBM.
Sepanjang 2022, harga sejumlah komoditas global, seperti batubara, minyak kelapa sawit mentah (CPO), bijih besi, nikel, dan bauksit, melonjak tinggi. Hingga akhir 2022, harga komoditas tersebut masih relatif tinggi atau di atas harga sebelum pandemi Covid-19.
Hal itu membuat neraca perdagangan surplus sebesar 54,64 miliar dollar AS. Kontribusi bahan bakar mineral, terutama batubara, serta lemak dan minyak hewani/nabati, termasuk CPO, terhadap ekspor RI sangat signifikan, masing-masing sebesar 54,98 miliar dollar AS (19,92 persen) dan 35,2 miliar dollar AS (12,76 persen).
Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, dari empat pulau besar penghasil komoditas-komoditas itu, hanya satu pulau, yakni Sumatera, yang tingkat kemiskinannya turun. Tingkat kemiskinan pulau penghasil CPO dan batubara itu turun dari 9,49 persen pada Maret 2022 menjadi 9,47 persen pada September 2022.
Tingkat kemiskinan di pulau-pulau lain, yakni Kalimantan, Maluku, dan Papua, serta Sulawesi, justru meningkat. Tingkat kemiskinan Kalimantan naik dari 5,82 persen pada Maret 2022 menjadi 5,9 persen pada September 2022, sementara di Sulawesi naik dari 10,02 persen menjadi 10,06 persen, Maluku dan Papua naik dari 19,89 persen menjadi 20,1 persen, serta Nusa Tenggara naik dari 13,35 persen menjadi 13,46 persen.
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto, Selasa (17/1/2023), mengatakan, jumlah penduduk miskin di daerah-daerah penghasil sawit, seperti Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur, tidak banyak berubah, bahkan bertambah. Padahal, daerah-daerah juga merupakan penghasil minyak dan gas bumi, batubara, dan sejumlah tambang lain.
Hal itu menunjukkan, kenaikan harga komoditas ekspor sepanjang tahun lalu belum bisa meningkatkan kesejahteraan petani kelapa sawit mandiri. Sebagian besar dari mereka masih hidup pas-pasan, bahkan miskin.
”Pendapatan mereka memang naik tipis atau tidak terlalu siginifkan lantaran kenaikan harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. Namun, kenaikan itu tak bisa dinikmati secara maksimal karena harga bahan bakar minyak, pangan, pupuk, serta biaya produksi dan angkut sawit juga naik,” ujarnya ketika dihubungi dari Jakarta.
Berdasarkan data BPS, tingkat kemiskinan di Jambi meningkat dari 7,62 persen pada Maret 2022 menjadi 7,7 persen pada September 2022. Pada periode yang sama, tingkat kemiskinan di Riau juga meningkat dari 6,78 persen menjadi 6,84 persen, Kalimantan Timur naik dari 6,31 persen menjadi 6,44 persen, dan Kalimantan Barat naik dari 6,73 persen menjadi 6,81 persen.
Darto menilai, keuntungan ekspor CPO hanya dinikmati segelintir kalangan, yakni tengkulak, serta perseorangan atau perusahaan pemilik perkebunan sawit besar. Hal ini seirama dengan konteks kepemilikan lahan dan penguasaan sawit.
Benefit ekspor CPO hanya dinikmati segelintir kalangan, yakni tengkulak dan perusahaan besar pemilik perkebunan sawit.
Petani sawit mandiri memiliki lahan sawit rata-rata 2-4 hektar. Sebagian besar dari mereka menjual TBS ke tengkulak. Harga patokan TBS memang ditentukan oleh provinsi meski pada praktiknya bergantung pada harga yang dipatok perusahaan dan tengkulak.
”Di sisi lain, banyak oknum yang memiliki lahan sawit seluas 20 hektar atau di atas 2-4 hektar masih masuk kategori petani. Mereka inilah dan juga tengkulak dan perusahaan besar yang banyak diuntungkan oleh kenaikan harga CPO global, bukan petani sawit mandiri,” kata Darto.
Head of Industry and Regional Research PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani menuturkan, peningkatan jumlah penduduk miskin di daerah-daerah penghasil komoditas ekspor unggulan, seperti CPO dan batubara, terjadi lantaran sejumlah faktor. Pertama, kinerja apik ekspor tidak diikuti dengan pemerataan distribusi hasil ekspor.
Kinerja apik ekspor sepanjang 2022 terutama ditopang oleh kenaikan harga komoditas. Kinerja ekspor itu turut menopang pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, trickle down effect pertumbuhan atau tetesan ekonomi ke kalangan bawah belum dirasakan.
”Dengan kata lain, masih ada disparitas benefit dari pertumbuhan ekonomi. Manfaat pertumbuhan itu hanya dinikmati segelintir kalangan. Hal itu menunjukkan windfall atau durian runtuh komoditas kurang terkola dengan baik sehingga kurang dirasakan masyarakat kelas bawah,” tuturnya.
Kinerja apik ekspor sepanjang 2022 terutama ditopang oleh kenaikan harga komoditas. Kinerja ekspor itu turut menopang pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, trickle down effect pertumbuhan atau tetesan ekonomi ke kalangan bawah belum dirasakan.
Kedua, lanjut Dendi, inflasi tinggi yang disebabkan kenaikan harga BBM dan rembetan kenaikan harga komoditas global. Kenaikan harga BBM itu berimbas ke sejumlah sektor ekonomi, seperti pangan dan transportasi.
Begitu juga kenaikan harga sejumlah komoditas global, terutama CPO, kedelai, dan gandum, juga menyebabkan harga sejumlah komoditas pangan di dalam negeri, seperti minyak goreng, kedelai impor, dan tepung terigu naik.
Hal itu tidak hanya menggerus pendapatan masyarakat miskin, tetapi juga masyarakat rentan miskin. Harga pangan dan nonpangan yang tinggi menyebabkan pendapatan mereka yang sebenarnya belum nenar-benar pulih dari imbas pandemi Covid-19 tidak mampu mengimbangi kenaikan pengeluaran.
”Mereka yang miskin tetap miskin. Mereka yang rentan miskin menjadi miskin karena pengeluaran rata-rata per kapita per bulan mereka jatuh di bawah garis kemiskinan (GK),” katanya.
Anak-anak pengamen berpakaian badut berkumpul di kawasan KanalTimur, Jakarta, Minggu (30/10/2022). Sebagian anak-anak mengamen dengan berpakaian badut untuk sekadar menambah uang jajajn atau biaya kehidupan sehari-hari.
Pada September 2022, GK atau pengeluaran minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok per kapita per bulan pada September 2022 mencapai Rp 535.547. Dengan rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,34 anggota keluarga, rata-rata GK per rumah tangga miskin Rp 2.324.274 per bulan. Dibandingkan Maret 2022 dan September 2021, GK itu naik masing-masing sebesar 5,95 persen dan 10,16 persen.
Kenaikan GK ini terutama dipengaruhi oleh kenaikan inflasi akibat lonjakan harga pangan dan nonpangan akibat kenaikan harga BBM. Penyebab lainnya adalah faktor musiman dan imbas kenaikan harga komoditas pangan global.
BPS mencatat, harga beras pada periode Maret-September 2022 naik 1,46 persen, tepung terigu 13,97 persen, gula pasir 2,35 persen, telur ayam ras 19,01 persen, dan cabai merah 42,6 persen. Adapun harga komoditas nonpangan yang naik adalah pertalite sebesar 30,72 persen, solar 32,04 persen, pertamax 16 persen, elpiji 3 kilogram 1,58 persen, dan kontrak rumah 0,97 persen.
Menurut Dendi, jumlah penduduk miskin pada tahun ini berpotensi bertambah. Hal itu bisa disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja, terutama di sektor industri padat karya berbasis ekspor, dan harga pangan yang tidak terkendali.
Jaring pengaman sosial memang bisa meredam laju peningkatan jumlah penduduk miskin pada September 2022. Namun, upaya itu tidak cukup sehingga harus diikuti dengan pengendalian harga pangan, ketersediaan lapangan kerja, dan program-program padat karya.