APBD disebut sebagai alat untuk melindungi rakyat dari potensi inflasi akibat kondisi ekonomi global. Maka, penggunaannya harus tepat. Jangan sampai pula dikorupsi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYA
Seorang warga membeli telur di kios Tim Pengendali Inflasi Daerah Solo di Pasar Gede, Solo, Jawa Tengah, Selasa (18/12/2018).
JAKARTA, KOMPAS — Para kepala daerah diminta untuk menjaga laju inflasi daerah di tengah ancaman ekonomi dan geopolitik di masa depan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah diharapkan digunakan sebagai alat untuk melindungi masyarakat termasuk dari ancaman inflasi.
Dalam diskusi panel acara ”Rapat Koordinasi Nasional Kepala Daerah dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompinda)” yang disiarkan secara daring, Selasa (17/1/2023), Menteri Keuangan Sri Mulyani mengingatkan tentang masalah kepemimpinan dan bagaimana menyalurkan APBD secara tepat sasaran. Para kepala daerah diminta untuk waspada karena tantangan ke depan cukup berat. Masih ada masalah geopolitik, yaitu ancaman perang Rusia-Ukraina, ancaman politik, dan keamanan yang masih membayangi pertumbuhan ekonomi. APBN dan APBD diharapkan menjadi alat untuk melindungi rakyat.
”Karena APBD adalah alat untuk melindungi rakyat diharapkan digunakan untuk spending better (dibelanjakan dengan lebih baik). Pemerintah pusat dan daerah diharapkan juga menjaga tata kelolanya dan tidak ada korupsi supaya memberikan manfaat seluas-luasnya bagi masyarakat,” ujarnya.
Seiring dengan pencabutan status pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), Sri Mulyani memprediksi aktivitas perekonomian di daerah juga mulai naik. Perpajakan di daerah naik ditopang dengan kegiatan masyarakat, seperti pajak hiburan, pajak restoran, pajak hotel, dan pajak parkir. Jika kegiatan masyarakat mulai meningkat, inflasi juga diprediksi akan naik. Inflasi dapat dipicu oleh konsumsi barang masyarakat naik. Akan tetapi, jika barang tidak tersedia sehingga harganya menjadi mahal. Aktivitas konsumsi masyarakat yang tidak didukung oleh kegiatan dari sisi produksi, logistik, dan distribusi membuat suplai barang meningkat yang dapat memicu inflasi.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati
Sri Mulyani mengingatkan kepada pemda agar anggaran bisa dioptimalisasi dan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. Sebab, pada 2023, baik APBN maupun APBD adalah kombinasi antara optimisme dan kewaspadaan. Sejumlah daerah yang tingkat kemandirian fiskalnya sudah baik, sebagian dana transfer daerah akan diberikan secara nontunai sehingga bisa dimanfaatkan untuk dana abadi daerah. Kementerian Keuangan pun akan memberikan dana insentif daerah (DID) bagi daerah yang dinilai berhasil mengendalikan inflasi daerah.
”Peran APBD dan pemerintah daerah sangat penting untuk mengendalikan inflasi. Tahun lalu, kami sudah memberikan insentif kepada 36 daerah yang dianggap berhasil mengendalikan inflasi. Daerah yang mendapatkan reward adalah yang penurunan inflasinya paling tajam,” ucapnya.
Menurut Sri Mulyani, berbagai hal bisa digunakan untuk mengendalikan inflasi. APBN telah mengalokasikan Rp 104 triliun untuk program ketahanan pangan. Ini bisa dialokasikan langsung ke daerah sehingga pemda bisa membuat program yang dampaknya lebih luas kepada masyarakat. Anggaran itu juga diharapkan dapat mengatasi masalah kemiskinan ekstrem dan stunting di daerah. Pimpinan daerah diharapkan melakukan pemantauan langsung ke masyarakat.
”Tahun 2023 ini semua pemda diharapkan tetap waspada karena situasi ditandai dengan masalah geopolitik yang susah sekali diantisipasi. APBN dan APBD bisa digunakan untuk melindungi masyarakat,” katanya.
RINI KUSTIASIH
Ketua Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono menambahkan, dibandingkan dengan 20 negara yang tergabung dalam G20, Indonesia berada di peringkat ke-16 pada November 2022 dengan inflasi 54 persen. Capaian Indonesia ini lebih baik dibandingkan dengan negara lain seperti China, Arab Saudi, Jepang, dan Korea Selatan.
”Lima komoditas utama yang memicu inflasi tahun 2022 adalah harga bensin, bahan bakar rumah tangga, tarif angkutan udara, beras, dan rokok filter,” kata Margo.
Margo menjelaskan, untuk komoditas bensin bersubsidi dan nonsubsidi, kenaikan tertinggi paling banyak terjadi di kota-kota Pulau Jawa. Sedangkan untuk komoditas beras, bahan bakar rumah tangga, dan rokok kretek filter lebih banyak terjadi di kota-kota luar Jawa. Keragaman permasalahan itu membuat isu distribusi masih menjadi permasalahan yang harus diselesaikan dalam upaya pengendalian inflasi. Masalah distribusi membuat disparitas pada wilayah di Pulau Jawa dan luar Jawa.
”Komoditas utama penyumbang inflasi yang harganya diatur oleh pemerintah adalah bensin, tarif angkutan udara, dan komoditas beras. Untuk menghadapi kondisi global yang penuh dengan ketidakpastian, pemerintah perlu membuat keputusan strategis mengingat hal itu adalah faktor penentu inflasi kita,” terangnya.
REGINA RUKMORINI
Zulkifli Hasan
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menyampaikan, Kementerian Perdagangan terus menjaga ketersedian barang kebutuhan pokok dan melakukan stabilisasi harga di lapangan. Pemantauan harga beras di pasar induk terus dilakukan dengan mengikuti harga secara langsung yang terjadi. Untuk menjaga persediaan beras Bulog, pemerintah juga masih melakukan impor beras. Demikian juga untuk menstabilkan harga kedelai, pemerintah juga melakukan kebijakan impor kedelai.
”Pemanfaatan tol laut, jembatan, dan transportasi udara untuk menurunkan disparitas harga di daerah terpencil, terluar, dan perbatasan juga terus didorong oleh pemerintah,” katanya.
Untuk harga minyak goreng, pemerintah juga masih mencoba menstabilkan harganya di level Rp 14.000 per liter. Harga minyak goreng dijaga melalui pasar rakyat ataupun market place secara daring. Pemerintah terus menjamin pasokan kebutuhan pokok di seluruh Tanah Air sampai dengan bulan suci Ramadhan dan Lebaran.
”Peran wali kota, pemda diharapkan bisa menjaga harga-harga kebutuhan pokok lebih baik lagi. APBD bisa digunakan untuk pengendalian inflasi, subsidi ongkos, dan sebagainya,” ucapnya.