Hadapi Ekonomi 2023, Presiden Instruksikan Jajaran Optimistis dan Waspada
Optimistis tapi tetap waspada menjadi instruksi yang disampaikan Presiden Jokowi kepada jajarannya pada sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, awal tahun 2023.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo dalam sidang kabinet paripurna perdana pada tahun 2023 menginstruksikan jajarannya tetap optimistis tetapi juga waspada menghadapi kondisi perekonomian. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2023 harus difokuskan pada program produktif dan menyelesaikan prioritas nasional.
”Saya meminta untuk APBN 2023 betul-betul difokuskan pada kegiatan-kegiatan, pada program-program, yang benar-benar produktif. Utamanya, pada penciptaan lapangan kerja dan pengentasan rakyat dari kemiskinan,” kata Presiden Joko Widodo saat memberikan pidato pengantar pada sidang kabinet paripurna terkait Evaluasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 serta Rencana Program dan Anggaran Tahun 2023 di Istana Negara, Jakarta, Senin (16/1/2023).
Saya minta untuk APBN 2023 betul-betul difokuskan pada kegiatan-kegiatan, pada program-program, yang benar-benar produktif. Utamanya, pada penciptaan lapangan kerja dan pengentasan rakyat dari kemiskinan.
Kepala Negara juga meminta agar APBN 2023 difokuskan untuk menyelesaikan prioritas nasional, baik yang berkaitan dengan penurunan tengkes, penurunan kemiskinan ekstrem, ketahanan pangan, maupun juga agenda menjelang pemilu.
Saat menyampaikan keterangan pers di Kantor Presiden seusai mengikuti sidang kabinet paripurna, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan instruksi Kepala Negara. “Tadi instruksi dari Bapak Presiden, kita harus waspada. Optimistis tapi waspada. Optimistis karena pencapaian kita luar biasa pada tahun 2022. Waspada karena tahun 2023 sepertiga dari dunia akan mengalami resesi. Atau, 43 persen negara itu akan mengalami resesi menurut proyeksi IMF,” kata Sri Mulyani.
Pada kesempatan tersebut, Sri Mulyani menuturkan sejumlah strategi penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023. Pertama, belanja untuk ketahanan pangan sebesar Rp 104,2 triliun harus betul-betul dapat menjaga ketahanan dan stabilitas pangan.
Belanja pada sektor perlindungan sosial dianggarkan sebesar Rp 476 triliun dalam APBN tahun 2023. Nominal yang hampir setara belanja pemerintah pada sektor sama tahun 2022 tersebut berfungsi untuk melindungi masyarakat dari guncangan ekonomi.
”Ketahanan energi Rp 341 triliun itu untuk menjaga agar guncangan yang terjadi di sektor energi. Dan, tentu, produksi energi kita dan ketahanan energi kita bisa berjalan. Infrastruktur tahun ini Rp 392 triliun tetap akan dijaga,” ujar Sri Mulyani.
Belanja untuk kesehatan, non-Covid dianggarkan Rp 178 triliun. Adapun belanja untuk pendidikan Rp 612 triliun. Pemerintah pada APBN 2023 juga menganggarkan Rp 21,86 triliun untuk tahapan pemilu. Selain itu, Rp 23,9 triliun juga disiapkan untuk belanja dalam rangka mempersiapkan Ibu Kota Nusantara (IKN), terutama untuk infrastrukturnya, yakni Rp 21 triliun.
”Itulah belanja-belanja yang penting pada tahun 2023 yang sangat diharapkan bisa menjaga ekonomi Indonesia dari ancaman guncangan-guncangan yang terjadi di sisi global, baik karena kenaikan harga (atau) inflasi maupun pelemahan ekonomi dari negara-negara lain,” katanya.
Sebelumnya, masih dalam sesi keterangan pers selepas sidang kabinet paripurna, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan, defisit APBN tahun 2022 lebih kecil dibandingkan angka yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. ”Defisit APBN di tahun 2022 2,38 persen dari target 4,5 persen. (Hal) ini menunjukkan konsolidasi fiskal lebih cepat dari amanat Undang-Undang No 2 Tahun 2020,” katanya.
Defisit APBN di tahun 2022 2,38 persen dari target 4,5 persen. (Hal) ini menunjukkan konsolidasi fiskal lebih cepat dari amanat Undang-Undang No 2 Tahun 2020.
Airlangga pun menyampaikan beberapa catatan dari Presiden, semisal terkait upaya mencegah risiko potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam jangka pendek dengan mendorong belanja pusat dan daerah untuk penggunaan produk dalam negeri. Upaya jangka menengah dengan perbaikan struktural di industri hulu ke hilir, mulai rantai pasok, sumber daya manusia, hingga riset dan pengembangan. ”Selain itu juga akses pasar, terutama juga mempercepat perjanjian CEPA, termasuk CEPA Eropa dan kerja sama dari pasar nontradisional,” kata Airlangga.
Terkait dengan penyerapan tenaga kerja, Airlangga menuturkan perlu optimalisasi belanja pusat dan daerah untuk program padat karya, baik di kota maupun desa. Selain itu juga memperluas kerja sama dari pemerintah ke pemerintah dan program pekerja migran, dan kemudian inklusi keuangan, baik melalui Permodalan Nasional Madani atau PNM maupun kredit usaha rakyat atau KUR.
”Kemudian program upskilling dan reskilling, seperti kartu prakerja. Kemudian yang juga menjadi catatan adalah pengaturan kembali devisa hasil ekspor, dengan revisi PP No 1 Tahun 2019. Apalagi dengan UU P2SK (Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan) yang sudah memberikan kewenangan kepada BI (Bank Indonesia) untuk mengatur lalu lintas devisa. Dan kemudian tentu (revisi) PP 1 akan menambahkan bahwa SDA itu termasuk hilirisasi,” katanya.
Jadi, menurut Airlangga, persoalan hasil ekspor ini akan terus dimatangkan oleh kementerian teknis. ”(Dan) kemudian akan diberikan insentif, baik itu dari BI dalam bentuk PBI maupun dari pemerintah dalam hal ini menteri keuangan. Dan, instrumen(nya) baik dalam bentuk US dollar maupun kredit US dollar dalam negeri, ketersediaan kredit investasi dan kredit modal kerja, khususnya untuk mendorong agar hilirisasi bisa dilakukan dan sektor manufaktur bisa didorong dari perbankan dalam negeri,” ujarnya.