Triwulan I-2023, Industri Manufaktur Diperkirakan Makin Ekspansif
Survei Bank Indonesia memperkirakan kegiatan dunia usaha pada triwulan I-2023 akan meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan ditopang panen raya dan meningkatnya permintaan menjelang bulan puasa.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kinerja industri manufaktur diperkirakan masih akan menggeliat kuat pada triwulan pertama tahun ini. Selain musim panen pertanian dan perkebunan, pertumbuhan industri manufaktur juga ditopang oleh adanya bulan Ramadhan yang akan meningkatkan permintaan masyarakat.
Berdasarkan Prompt Manufacturing Index (PMI) yang dirilis Bank Indonesia (BI), kinerja industri manufaktur atau pengolahan pada triwulan I-2023 berada pada level 53,3 persen. Angka ini meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang sebesar 50,06 persen. Indeks di atas 50 persen menunjukkan sinyal ekspansi dunia usaha, sedangkan angka di bawah 50 persen menunjukkan kontraksi.
Dalam keterangannya yang dikutip Minggu (15/1/2023), Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono menjelaskan, kenaikan indeks ini didorong oleh peningkatan seluruh komponen pembentuknya. Peningkatan tertinggi, lanjut Erwin, terjadi pada pada volume produksi, volume total pesanan, dan volume persediaan barang jadi.
Seluruh subsektor industri pengolahan diprakirakan berada pada fase ekspansi, dengan indeks tertinggi terjadi pada subsektor tekstil, barang kulit dan alas kaki. Subsektor lain yang tercatat meningkat adalah subsektor barang kayu dan hasil hutan lainnya, pupuk, kimia dan barang dari karet, serta logam dasar besi dan baja.
Prompt Manufacturing Index (PMI) Bank Indonesia (BI) merupakan sebuah komposit indikator yang dibuat untuk menyediakan gambaran umum mengenai kondisi sektor industri di Indonesia berdasarkan hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU). Hasil perhitungan PMI-BI merupakan hasil sebelum penilaian (pre-assesment)dari titik patokan (benchmark) PMI yang telah dilakukan di beberapa negara.
Perkiraan ekspansi dunia usaha juga tertuang dalam SKDU yang dirilis BI. Pada triwulan pertama tahun ini, responden memperkirakan kenaikan kegiatan usaha. Peningkatan kegiatan usaha diprakirakan terjadi pada sektor primer dan sekunder, antara lain sektor pertanian, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan sejalan dengan masuknya musim panen yang dimulai pada Maret 2023.
”Sementara itu, peningkatan sektor pertambangan dan penggalian, serta sektor industri pengolahan sejalan dengan mulai meningkatnya permintaan yang didukung kapasitas penyimpanan dan ketersediaan sarana produksi,” ujar Erwin.
Dihubungi terpisah Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Shinta Kamdani juga memperkirakan kinerja dunia usaha pada triwulan pertama tahun ini akan lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya.
Menurut Shinta, pada periode ini diperkirakan akan terjadi kenaikan produksi di sektor pertanian dan perkebunan seiring hadirnya musim panen. Begitu pula di sektor energi, harga komoditas yang masih cukup tinggi akan menghasilkan capaian positif di sektor ini.
Dari sektor manufaktur dan jasa, lanjut Shinta, kinerja dunia usaha juga akan ditopang oleh kenaikan permintaan rumah tangga mengantisipasi bulan puasa. Bulan Ramadhan yang dimulai pada Maret 2023 akan mendorong konsumsi masyarakat dan kegiatan dunia usaha.
”Faktor-faktor inilah yang diperkirakan akan menopang kegiatan dunia usaha di triwulan pertama tahun ini,” ujar Shinta.
Shinta menambahkan, pada periode ini pertumbuhan akan banyak ditopang konsumsi dan kegiatan usaha untuk pasar dalam negeri. Sebab, pelambatan ekonomi global, diperkirakan akan menurunkan kinerja ekspor.
Antisipasi
Senada dengan Shinta, ekonom dan peneliti Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Developmente and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengatakan, perkiraan pertumbuhan dunia usaha di triwulan pertama tahun ini akan ditopang oleh musim panen dan antisipasi periode lebaran.
Kendati memberikan sinyal positif pertumbuhan ekonomi, tetapi pemerintah tetap perlu waspada dengan potensi kenaikan inflasi. Secara historis, periode lebaran selalu meningkatkan permintaan sehingga berpotensi mengerek inflasi.
Dalam periode ini, lanjut Heri, pemerintah perlu menjaga pasokan bahan makanan agar tetap mencukupi permintaan. Bila terjadi keterlambatan atau ketimpangan permintaan dengan pasokan, seketika bisa langsung mengerek inflasi.
”Pemerintah dan dunia usaha perlu duduk bersama menghitung dengan cermat berapa banyak kebutuhan masyarakat saat periode lebaran. Ini yang perlu dipersiapkan dan diantisipasi dari sekarang,” ujar Heri.