Peringkat Stabil Jadi Modal, Strategi Utang Perlu Proporsional
Peringkat utang yang stabil perlu dijaga dengan memastikan kondisi makro ekonomi tetap terjaga, konsolidasi fiskal berjalan, dan langkah reformasi perpajakan berlanjut untuk menjaga arus penerimaan negara.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peringkat utang Indonesia yang sejauh ini masih dalam penilaian stabil menjadi modal baik dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global. Pemerintah perlu tetap proporsional dalam menerbitkan surat utang untuk menjaga akuntabilitas pengelolaan fiskal dan menekan risiko peningkatan rasio utang dan beban bunga utang pada 2023.
Sejumlah lembaga pemeringkat internasional saat ini masih mempertahankan peringkat utang Indonesia di level stabil, seperti Fitch yang memberi peringkat BBB (investment grade) pada 14 Desember 2022 lalu. Hal itu didorong oleh prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih baik dalam jangka menengah serta rasio utang pemerintah yang masih dalam batas aman.
Sebelumnya, pada 27 April 2022, Standard and Poor’s (S&P) juga meningkatkan proyeksi utang Indonesia menjadi stabil dari sebelumnya negatif dan mempertahankan peringkat Indonesia pada level BBB. Ini didasarkan oleh prospek pertumbuhan ekonomi yang solid dan konsolidasi kebijakan fiskal yang bertahap dilakukan pemerintah.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet, Kamis (12/1/2023), mengatakan, peringkat utang yang masih terjaga menjadi modal yang baik dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global tahun ini. Hal itu akan mendorong kepercayaan investor terhadap profil kredit Indonesia dan pasar surat utang pemerintah.
”Peringkat yang baik ini akan berdampak terhadap potensi imbal hasil (yield) yang ditawarkan pemerintah nantinya. Semakin tinggi peringkat utang kita, imbal hasil yang ditawarkan pemerintah pun bisa lebih kompetitif,” katanya saat dihubungi.
Peneliti makroekonomi dan pasar keuangan di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky menambahkan, profil utang Indonesia yang stabil mencerminkan kondisi fiskal yang masih cukup akuntabel.
Dengan peringkat utang yang baik dan risiko yang terkendali, Indonesia bisa memiliki suku bunga pinjaman yang lebih rendah. ”Dengan demikian, ketika kita meng-issue utang, kita bisa melakukannya dengan biaya lebih murah. Biaya pinjaman yang lebih rendah ini artinya ruang fiskal bisa lebih luas, apalagi untuk negara berkembang yang ruang fiskalnya terbatas,” kata Riefky.
Penerbitan perdana
Pada 5 Januari 2023, pemerintah melakukan transaksi penjualan Surat Utang Negara (SUN) perdana tahun ini dalam mata uang dollar AS dengan format SEC-Registered dengan hasil transaksi senilai 3 miliar dollar AS atau Rp 46,9 triliun. Ada tiga seri SUN yang diterbitkan pemerintah, yaitu dengan tenor 5, 10, dan 30 tahun.
Dalam pernyataan resmi, Kamis, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan menyatakan, penerbitan surat utang itu memanfaatkan sentimen pasar keuangan yang sedang membaik serta minat investor yang kuat.
Peringkat utang yang masih terjaga menjadi modal yang baik dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global tahun ini.
Indonesia pun menjadi negara pertama di kawasan emerging market Asia yang menerbitkan surat utang global awal 2023. ”Pemesanan yang masuk dalam orderbook sangat tinggi, dengan total pemesanan mencapai lebih dari 17 miliar dollar AS. Ini bukti pengakuan investor global atas kuatnya fundamental ekonomi Indonesia dalam mengelola pembiayaan negara,” tulis keterangan tersebut.
Saat dihubungi, Direktur Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kemenkeu Suminto mengatakan, strategi pembiayaan APBN, termasuk lewat penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), tetap disusun secara fleksibel dan oportunistik. Selain mempertimbangkan kondisi kas dan kebutuhan pembiayaan APBN, pemerintah juga mempertimbangkan kondisi pasar.
”Makanya, awal Januari ini kami menerbitkan global bonds dengan mempertimbangkan likuiditas di pasar global yang ample, serta kondisi pasar yang relatif masih stabil,” kata Suminto.
Berhati-hati
Yusuf menilai, pemerintah tetap perlu berhati-hati dalam melakukan penerbitan surat utang di awal tahun atau frontloading. Di satu sisi, penerbitan di awal tahun memang dibutuhkan sebagai strategi menambal pembiayaan untuk belanja negara ketika belum ada pemasukan dari pajak maupun non-pajak.
Namun, di sisi lain, strategi frontloading yang terlalu berlebihan bisa mendorong rasio utang dan beban bunga utang yang lebih tinggi sepanjang tahun 2023.
”Biasanya frontloading itu dilakukan selain karena ada kebutuhan, juga karena suku bunga lagi rendah. Sekarang ini memang ada kebutuhan, tapi suku bunga juga lagi tinggi, jadi kita harus tetap proporsional dan sebaiknya menunggu momentum (suku bunga) yang lebih rendah baru menerbitkan lagi,” ujar Yusuf.
Sementara itu, Riefky mengatakan, pada dasarnya tidak ada pakem baku untuk memilih strategi utang frontloading (di awal tahun) atau backloading (di akhir tahun). Untuk saat ini, strategi frontloading dinilai masih tepat dengan volume yang masih proporsional atau tidak terlalu besar. Namun, dengan dana cadangan (fiscal buffer) yang terkumpul selama 2022, strategi utang diharapkan bisa lebih ditekan tahun ini.
”Meng-issue utang sekarang tampaknya masih baik sebelum muncul volatilitas lebih lanjut di sepanjang tahun 2023 nanti. Lagipula, volumenya belum sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan. Masih cukup aman,” katanya.
Tantangan yang dihadapi pemerintah adalah menjaga peringkat utang tetap stabil dengan memastikan kondisi makro ekonomi tetap terjaga, konsolidasi fiskal berjalan, dan langkah reformasi perpajakan tetap berlanjut. ”Dinamika tahun politik mungkin bisa jadi tantangan karena reformasi biasanya sulit dilakukan di tahun politik. Pemerintah diharapkan bisa tetap berkomitmen dengan langkah reformasi itu,” ujarnya.
Dengan dana cadangan ( fiscal buffer) yang terkumpul selama 2022, strategi utang diharapkan bisa lebih ditekan tahun ini.
Pada APBN 2023, pemerintah menargetkan pembiayaan utang Rp 696,3 triliun. Defisit fiskal pun ditargetkan 2,84 persen dari produk domestik bruto (PDB) atau Rp 598,2 triliun. Sebelumnya, sepanjang 2022, pemerintah berhasil menekan pembiayaan utang sebesar 20,9 persen dibandingkan tahun 2021 dengan realisasi sebesar Rp 688,5 triliun dari target Rp 943,7 triliun.
Adapun secara total, posisi utang pemerintah sampai November 2022 sudah mencapai Rp 7.554,25 triliun atau 38,65 persen dari PDB. Utang pemerintah masih didominasi instrumen SBN, yaitu 88,66 persen dari total komposisi utang, dan didominasi oleh mata uang rupiah sebesar 70,36 persen.