"Oversupply" Listrik Bukan Alasan untuk Tak Kembangkan PLTS
Oversupply listrik yang terjadi di Pulau Jawa diharapkan tidak menghambat pengembangan PLTS. Optimalisasi penambahan PLTS bisa dilakukan daerah-daerah di luar Jawa. Revisi regulasi PLTS atap juga sedang dibahas.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pengembangan pembangkit listrik tenaga surya atap selama ini belum optimal, salah satunya karena ada kekhawatiran terjadi produksi ganda mengingat PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) saat ini sedang mengalami kelebihan pasokan listrik di Jawa. Salah satu solusi yang dapat diambil ialah dengan memacu pengembangan PLTS Atap di luar Jawa.
Pakar energi dari Pusat Studi Energi (PSE) Univesitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus Guru Besar bidang Teknik Mesin, Fakultas Teknik UGM Deendarlianto, dihubungi dari Jakarta, Kamis (12/1/2023) mengatakan, kelebihan pasokan (oversupply) PLN terjadi di Jawa. Karena itu, pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap bisa lebih dioptimalkan di luar Jawa.
"Di Jawa memang oversupply, tetapi itu bukan alasan untuk tidak terus mengembangkan PLTS. Di Indonesia, masih ada beberapa daerah yang tak dilalui grid (jaringan) PLN. PLTS bisa mulai diinjeksikan di daerah yang tingkat biaya pokok produksi (BPP)-nya tinggi seperti di wilayah terluar," ujar Deendarlianto.
Dengan fokus memasang PLTS di daerah-daerah tersebut, imbuh Deendarlianto, pelanggan tidak terlalu terbebankan. Begitu juga dengan PLN. Di sisi lain, capaian penggunaan energi terbarukan diharapkan bakal terus meningkat yang juga akan berpengaruh pada peningkatan rasio energi terbarukan terhadap total energi nasional.
Di samping itu, yang perlu didorong adalah pengembangan industri pendukungnya. "Misalnya, pemerintah bisa mendorong pertumbuhan industri cell (panel surya). Selain itu, ke depan ada ASEAN Connecting (Power) Grid, sehingga bagaimana PLTS di luar Jawa bisa membangkitkan energinya kemudian menjual produksinya ke Singapura atau Malaysia," kata Deendarlianto.
Sementara di Jawa, sejumlah upaya yang mengarah pada energi terbarukan bisa terus dipacu. Misalnya, metode co-firing atau pembakaran biomassa bercampur batubara pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Teknologi seperti itu perlu terus digencarkan. Begitu juga penggunaan teknologi refused derived fuel (RDF) dengan memanfaatkan sampah.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana, mengatakan, PLTS Atap ialah program strategis Kementerian ESDM. Tak hanya berkait dengan sisi energi, tetapi juga untuk menjadi penggerak dari sisi energi. Ekosistem rantai pasok dan pemanfaatannya pun terus disiapkan.
Saat ini, pihaknya tengah melakukan pembahasan revisi Peraturan Menteri Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (IUPTLU).
"Ke depan, tidak ada batasan kapasitas per pelanggan sepanjang masih tersedia kuota pengembangan PLTS Atap. Ekspor listrik tak lagi dihitung sebagai pengurang tagihan dan penghapusan biaya kapasitas bagi pelanggan golongan industri. Pelanggan existing juga akan mengikuti aturan baru setelah berakhirnya kontrak atau tercapainya payback period paling lama 10 tahun," ujar Dadan dalam keterangannya, Kamis (12/1/2023).
Adapun industri menjadi salah satu sektor yang berpotensi mengembangkan PLTS Atap. Pada Rabu (11/1/2023), misalnya, diluncurkan pemasangan PLTS Atap berkapasitas 230 Kilowatt peak (kWp), kolaborasi antara PT Jababeka Infrastruktur dan PT Pertamina Power Indonesia. Penambahan tersebut akan memperbesar pemanfaatan PLTS Atap di kawasan industri Jababeka yang telah mencapai 3,5 MWp.
Sebelumnya, pada Jumat (6/1/2023), Direktorat Aneka Energi Baru Terbarukan Kementerian ESDM menggelar public hearing Revisi Permen ESDM No 26/2021. Kegiatan tersebut melibatkan juga Dinas ESDM provinsi, asosiasi, Badan Usaha Pembangunan dan Pemasangan PLTS, Lembaga Inspeksi Teknis (LIT), dan Badan Usaha Pemegang IUPTLU.
Dikutip dari laman Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, Direktur Aneka EBT, Hendra Iswahyudi, mengatakan, revisi permen itu dalam rangka percepatan implementasi PLTS Atap. Juga diharapkan ada kesempatan luas bagi masyarakat untuk memasang PLTS Atap dengan tidak diberlakukannya batasan kapasitas sepanjang masih tersedia kuota pengembangan PLTS Atap.
"Capaian bulan November 2022, jumlah pelanggan PLTS Atap mencapai 6.461 pelanggan dengan total kapasitas mencapai 77,60 MWp. Sepanjang tahun 2022 kenaikan rata-rata per bulan sebesar 2,4MW dan 138 pelanggan. Tentu perlu upaya lebih agar sesuai target," kata Hendra.
Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa mengemukakan, sejak diundangkan pada Agustus 2021, Permen ESDM No 26/2021 tidak berjalan karena PLN menolak pelaksanaannya. Akibatnya, target pemerintah mencapai 450 MWp tambahan kapasitas PLTS pada 2022 tidak tercapai.
"Revisi ini sepertinya titik temu kepentingan pemerintah dengan PLN dan sangat mengakomodasi kepentingan PLN untuk menurunkan potensi ekspor listrik dari pengguna PLTS akibat regulasi net-metering karena kondisi overcapacity. Tapi AESI menyayangkan akomodasi ini justru berpotensi memangkas keekonomian dan minat PLTS Atap golongan residensial, yang berpotensi tumbuh," kata Fabby.
Dalam catatan AESI, sejak Januari 2022, pembatasan kapasitas PLTS atap 10-15 persen terjadi di berbagai wilayah di Indonesia untuk beragam pelanggan, baik residensial dalam skala kilowatt hingga ke pelanggan industri dengan kapasitas dalam skala megawatt. Pembatasan kapasitas ini tidak sesuai dengan ketentuan Permen ESDM No. 26/2021 (maksimum 100 persen) dan menurunkan minat calon pelanggan untuk menggunakan PLTS atap.
Sebelumnya, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 28 November 2022, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menuturkan, pihaknya memang sedang menghadapi oversupply. Menurutnya, PLN meminta agar pemasangan PLTS Atap untuk konsumsi sendiri, bukan untuk PLN.
"Misal ada industri, kami ukur pemakaian hanya 1 MW. Kalau pasang (PLTS) 10 MW artinya 9 MW terpaksa diekspor ke PLN. Sesuai peraturan, kami juga harus bayar 10 cent per kWh, sedangkan kami sedang hadapi oversupply. Ini akan menambah subsidi-kompensasi (APBN). Sebab, kami tak bisa mematikan pembangkit kami juga. Ini produksi ganda," kata Darmawan.
Menurut Darmawan, pihaknya mendukung penuh pengembangan terbarukan, yang juga keniscayaan. Namun, selama masih terjadi kondisi oversupply, titik tengahnya ialah dengan memasang PLTS Atap sesuai dengan kapasitas konsumsi pelanggan.