Dorong Pengendapan Devisa Hasil Ekspor Manufaktur Lebih Lama
Pemerintah berencana mewajibkan sektor manufaktur menyimpan devisa hasil ekspor di dalam negeri. Mengingat manufaktur mendominasi ekspor, pengendapan devisa hasil ekspor diharapkan bisa mempertebal cadangan devisa.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·5 menit baca
FAKHRI FADLURROHMAN
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (28/12/2022). Kementerian Perindustrian mencatat realisasi ekspor pada 2021 sebesar 177,2 dollar AS atau tumbuh 35,17 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Nilai ekspor pada 2022 diperkirakan tumbuh 18,72 persen, sedangkan pada 2023 berkisar 6,94-8,89 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
JAKARTA, KOMPAS — Dunia usaha dan ekonom mendukung rencana pemerintah mewajibkan sektor manufaktur untuk menyimpan devisa hasil ekspor di dalam negeri. Dengan kontribusi ekspor mencapai 70,81 persen dari total ekspor Indonesia, devisa hasil ekspor sektor manufaktur atau industri pengolahan perlu diendapkan lebih lama. Namun, dibutuhkan insentif agar devisa hasil ekspor manufaktur bisa tersimpan lebih lama.
Rencana pemerintah diselaraskan dengan upaya merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan atau Pengolahan Sumber Daya Alam. Dalam PP ini, terdapat empat sektor meliputi pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan yang diwajibkan memasukkan devisa hasil ekspor ke dalam sistem keuangan Indonesia. Pemerintah berencana akan menambahkan manufaktur sebagai sektor yang juga wajib memasukkan devisa hasil ekspor ke dalam negeri.
Dihubungi pada Kamis (12/1/2023), di Jakarta, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno menyambut baik rencana pemerintah ini. Sebab, ekspor dari sektor manufaktur ini berkontribusi sangat besar untuk total ekspor sehingga semestinya bisa berkontribusi lebih pada cadangan devisa dalam negeri.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor industri pengolahan atau manufaktur pada Januari-November 2022 mencapai 189,88 miliar dollar AS, bertumbuh 2,57 persen secara tahunan. Nilai ekspor industri pengolahan itu berkontribusi 70,81 persen dari total ekspor Indonesia.
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
Penggolongan Ekspor Indonesia Berdasarkan Sektor. Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
Ia menambahkan, saat ini memang sudah ada sejumlah pelaku industri manufaktur yang menaruh devisa hasil ekspornya di akun keuangan dalam negeri, baik dalam bentuk deposito maupun aset lain. Namun, masih ada pula yang belum menyimpannya.
Benny menjelaskan, mendorong devisa hasil ekspor manufaktur mengendap lebih lama di dalam negeri ini merupakan tantangan tersendiri. Sebab, arus kas dari bisnis manufaktur ini bergerak sangat cepat. Segera setelah memperoleh pendapatan dari ekspor, pelaku industri akan langsung menggunakan uangnya untuk membeli bahan baku agar bisa kembali berproduksi. Hal ini jadi tantangan tersendiri untuk bisa membuat devisa hasil ekspor manufaktur mengendap lebih lama.
”Karakteristik industri manufaktur ini perputaran uangnya cepat sekali. Perlu ada insentif agar pelaku usaha ini tertarik untuk memarkirkan dananya lebih lama di sistem keuangan dalam negeri,” ucap Benny.
Tantangan lainnya, lanjutnya, adalah bunga simpanan valuta asing di perbankan dalam negeri ini kurang kompetitif dibandingkan di negara tetangga. Hal ini membuat pelaku usaha kurang tertarik memarkirkan dananya di dalam negeri.
Ia mengatakan, rata-rata bunga simpanan valuta asing di Indonesia sekitar 1 persen. Hal ini tecermin dari suku bunga penjaminan valas yang ditetapkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebesar 1,75 persen. Sementara di Singapura, kata Benny, angkanya bisa 3 persen.
”Pengusaha ini secara alamiah mencari imbal hasil yang lebih tinggi. Maka, untuk mendorong devisa hasil ekspor manufaktur ini disimpan di dalam negeri, perlu insentif bunga agar kian kompetitif,” tuturnya.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nawir Messi, mengatakan, rencana pemerintah untuk mewajibkan sektor manufaktur membawa devisa hasil ekspor ke dalam negeri ini sudah tepat. Sebab, selama ini banyak potensi devisa yang tidak masuk ke dalam negeri. Padahal, semestinya devisa ini bisa masuk ke sistem keuangan Indonesia sehingga memperkuat cadangan devisa yang bisa membantu operasi moneter Bank Indonesia (BI) menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Namun, menurut Nawir, mewajibkan devisa hasil ekspor diparkir di dalam negeri saja tidak akan cukup. Pemerintah perlu menciptakan insentif agar pengusaha mau membawa pulang devisanya dan memberikan disinsentif apabila pengusaha tak melakukannya.
Setelah itu, kementerian dan lembaga negara perlu berkoordinasi erat satu sama lain untuk memastikan angka devisa hasil ekspor yang masuk ke dalam negeri itu sesuai dengan kegiatan ekspor yang dilaporkan. ”Apabila yang masuk itu lebih kecil dari angka transaksi kegiatan ekspor, maka itu ada indikasi para eksportir belum membawa masuk devisa hasil ekspor ke Indonesia,” ujar Nawir saat dihubungi.
Ia menjelaskan, untuk jangka panjang, pemerintah perlu terus membenahi industri manufaktur agar bisa memberikan nilai tambah lebih besar sehingga meningkatkan ekspor yang pada akhirnya bisa mendorong penguatan cadangan devisa. Penguatan industri manufaktur itu, lanjutnya, bisa dilakukan dengan mendorong investasi pembangunan fasilitas pengolahan atau pabrik agar terjadi hilirisasi bahan mentah sehingga bisa menciptakan nilai tambah.
Operasi moneter
Nawir menyampaikan, kinerja ekspor yang positif sepanjang 2022 semestinya bisa meningkatkan cadangan devisa Indonesia. Namun, sepanjang 2022, cadangan devisa Indonesia tergerus 5,31 persen dari 144,90 miliar dollar AS pada Desember 2021 menjadi 137,2 miliar dollar AS pada Desember 2022.
Namun, sepanjang tahun lalu, tekanan terhadap nilai tukar rupiah memang sangat tinggi seiring terus menguatnya dollar AS. Mengutip kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah pada perdagangan terakhir 2022, yakni Jumat (30/12/2022), ditutup pada level Rp 15.592. Nilai ini menurun 9,31 persen dibandingkan perdagangan terakhir tahun 2021, yakni 31 Desember 2021, pada level Rp 14.263.
”Penurunan cadangan devisa ini memang konsekuensi logis dari operasi moneter BI untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah. Ketahanan cadangan devisa ini bisa diperkuat dengan menambah pasokan dollar AS melalui peningkatan devisa hasil ekspor yang diendapkan di sistem keuangan kita,” ujar Nawir.
Posisi Cadangan Devisa Indonesia Desember 2022. Sumber: Bank Indonesia
Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, pihaknya merilis operasi instrumen valas baru untuk mendorong penempatan devisa hasil ekspor, khususnya dari ekspor sumber daya alam, agar disimpan di dalam negeri oleh eksportir.
BI akan menerbitkan instrumen valas dengan imbal hasil menarik sehingga bisa mengangkat imbal hasil valas yang ditawarkan perbankan kepada eksportir. Perry berharap dengan instrumen baru tersebut, devisa hasil ekspor bisa disimpan lebih lama di dalam negeri, yakni 1-3 bulan.
Dengan tersimpan lebih lama di sistem keuangan dalam negeri, pasokan valas akan bertambah sehingga bisa mempertebal cadangan devisa yang bisa digunakan untuk intervensi guna menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.