Pelaku usaha kapal perikanan menolak penerapan skema penerimaan negara bukan pajak pascaproduksi. Pelaku usaha meminta pemerintah merevisi tarif pungutan hasil perikanan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha penangkapan ikan meminta pemerintah segera merevisi tarif pungutan hasil perikanan pascaproduksi. Penarikan penerimaan negara bukan pajak sektor perikanan tangkap sebesar 10 persen itu dirasa memberatkan usaha perikanan di tengah lonjakan harga bahan bakar minyak.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Tegal Riswanto mengemukakan, penolakan nelayan terus mengalir terhadap pemberlakuan PNBP pascaproduksi untuk sektor perikanan tangkap. Hal itu disebabkan pungutan hasil perikanan pasca produksi dengan indeks tarif sebesar 10 persen kian membebani nelayan.
Menurut Riswanto, penolakan nelayan akan terus digulirkan dengan aksi unjuk rasa dan rembuk nelayan di sejumlah wilayah. Pihaknya meminta tarif PNBP pascaproduksi diturunkan menjadi 5 persen. Aksi unjuk rasa pelaku usaha perikanan dijadwalkan berlangsung hingga 16 Januari 2023.
Di samping itu, penolakan juga bergulir untuk kebijakan penangkapan ikan terukur yang dinilai belum didukung kesiapan pelaku usaha perikanan, skema logbook, serta sarana dan prasarana pelabuhan. Harga acuan ikan yang ditetapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan dinilai masih menuai polemik di kalangan nelayan dan pelaku usaha perikanan. Ia meminta pemerintah memberikan solusi.
”KKP perlu memberikan solusi atau memborong ikan hasil tangkapan nelayan sesuai harga acuan ikan jika pasar tidak menyerap harga tinggi,” katanya saat dihubungi, Selasa (10/1/2023).
KKP menargetkan penerimaan negara bukan pajak untuk subsektor perikanan tangkap tahun 2023 sebesar Rp 3,5 triliun atau naik 300 persen dari realisasi tahun 2022 senilai Rp 1,26 triliun. Kebijakan penangkapan ikan terukur dan skema pungutan hasil perikanan pascaproduksi diharapkan mendorong capaian PNBP sektor perikanan.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini Hanafi mengemukakan, KKP telah mengusulkan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku pada KKP terkait mekanisme penghitungan PNBP agar tidak membebani nelayan. Di sisi lain, banyak kapal perikanan menunggu penerapan PNBP pascaproduksi mulai Januari 2023 yang tidak lagi memberlakukan pembayaran izin di muka (Kompas, 3/1/2023).
Belum Perpanjang Izin
Secara terpisah, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera bidang Tani dan Nelayan Riyono mengemukakan, lonjakan harga solar telah memiskinkan nelayan. Kondisi yang sulit menyebabkan sebagian pelaku usaha kapal perikanan belum memperpanjang izin penangkapan ikan yang habis masa berlakunya pada awal tahun 2023. Nelayan masih keberatan dengan tarif PNBP 10 persen yang kian memberatkan nelayan.
Saat ini, harga solar industri di tingkat nelayan sebesar Rp 18.000-Rp 19.000 per liter. Sementara itu, cuaca buruk melaut menyebabkan kondisi nelayan semakin tidak menentu dan risiko kerugian melaut semakin besar.
Sebagian nelayan kini menunggu langkah pemerintah untuk memberikan keringanan tarif PNBP. ”Usulannya (tarif PNBP) 5-7 persen agar nelayan masih bisa bernapas (beroperasi),” kata Riyono.
Riyono menambahkan, sebagian nelayan ditengarai menempuh cara membeli solar yang lebih murah, yakni solar non-industri. Upaya ilegal itu ditempuh untuk bisa menanggung lonjakan biaya operasional. Tanpa solusi terhadap persoalan nelayan, dikhawatirkan usaha penangkapan ikan mengalami kemerosotan.