Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi menetapkan kuota pertalite, minyak tanah, dan solar bersubsidi tahun ini. Kuota pertalite ditambah 8,9 persen.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kuota bahan bakar yang disubsidi pemerintah itu ditetapkan berdasarkan perencanaan volume kebutuhan dan penjualan tahunan. Kuota pertalite yang merupakan jenis bahan bakar khusus penugasan (JBKP) ditetapkan 32,56 juta kiloliter atau naik 2,6 juta kiloliter (8,9 persen) dibandingkan dengan kuota tahun lalu.
Hal itu didasari oleh tren konsumsi bulanan bahan bakar minyak (BBM) tahun 2022 yang sudah mendekati normal setelah mengalami penurunan saat pandemi (Covid-19). Demikian pernyataan Kepala Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas Erika Retnowati dalam keterangannya, Jumat (6/1/2023).
Untuk minyak tanah (kerosen), yang merupakan jenis bahan bakar tertentu (JBT), kuotanya ditetapkan 0,5 juta kiloliter. Adapun kuota solar ditetapkan 17 juta kiloliter.
Tahun lalu, permintaan BBM meningkat seiring meningkatnya mobilitas masyarakat pascapandemi. Pada 1 Oktober 2022, BPH Migas menambah kuota solar dari 15,1 juta kiloliter menjadi 17,83 juta kiloliter. Sementara kuota pertalite ditambah dari semula 23,05 juta kiloliter menjadi 29,91 juta kiloliter.
Erika menambahkan, perhitungan kuota masih mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.
Artinya, belum ada penetapan rincian konsumen pengguna dan titik serah untuk JBKP. BPH Migas dan pemangku kepentingan tengah mengusulkan revisi perpres tersebut agar JBT dan JBKP tepat sasaran.
Selain rencana revisi perpres, BPH Migas meningkatkan pengendalian penyaluran BBM dengan pemanfaatan teknologi informasi, yakni melalui pendaftaran konsumen pengguna pada web Subsidi Tepat dan dapat diakses lewat aplikasi MyPertamina. Hanya konsumen yang terdaftar yang dapat dilayani untuk memperoleh JBT dan JBKP.
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, Jumat (6/1/2023), menyatakan, revisi perpres saat ini dikembalikan Kementerian ESDM. Pihaknya baru akan membahasnya pekan depan.
”Usulannya, mana saja yang berhak dapat (BBM bersubsidi/kompensasi). Klasifikasinya. Ini baru internal. Kalau sudah ada, baru kami ajukan izin prakarsa. Nanti, kalau disetujui, dilakukan revisi Perpres 191 Tahun 2014 tersebut,” ujarnya.
Perubahan harga
Terkait usulan harga BBM, khususnya jenis BBM umum (JBU), agar dievaluasi berkala menyesuaikan perkembangan harga minyak mentah, Arifin menilai usulan itu sebagai hal baik. Harga jual yang mengikuti perkembangan harga minyak mentah bisa membuat masyarakat terbiasa. Hal itu juga sudah diterapkan di luar negeri.
Menurut dia, hal itu memang sudah direncanakan, peraturannya akan menyesuaikan. ”Ini, kan, supaya masyarakat menyadari bahwa kita tergantung pada impor minyak mentah, (sedangkan) harga minyak mentah, kan, setiap hari berubah. Nanti akan dibicarakan dulu oleh Kementerian BUMN dan Kementerian ESDM,” kata Arifin.
Arifin menjelaskan, harga bahan bakar umum (JBU) yang tidak disubsidi dan dikompensasi sebenarnya bebas untuk diubah oleh badan usaha. Namun, khusus pertamax, selama ini ada mekanisme yang dibuat dan ke depan akan disesuaikan. Ia mencontohkan sejumlah penyedia BBM swasta yang sudah menerapkan hal itu.
Sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir menyatakan, harga pertamax memang seharusnya mengikuti harga minyak mentah dunia. Pelanggan berhak tahu perkembangan harga minyak dunia agar tidak dipersepsikan bahwa Pertamina menaikkan harga BBM saat harga minyak mentah naik, tetapi tidak menurunkannya saat harga minyak mentah turun.
”Kalau kita (menunjukkan) transparansi data, masyarakat bisa datang. Misalnya, pertamax minggu ini turun (karena harga minyak mentah turun), tetapi kalau naik juga jangan marah. Kami sedang mencoba mengikuti pasar. Undang-undangnya juga jelas, pemerintah bantu BBM jenis tertentu, tetapi yang ini (ikut) pasar. Kami dorong transparansi data,” kata Erick.