Kendati pandemi Covid-19 mulai mereda, sejumlah sektor belum pulih sepenuhnya akibat luka memar berkepanjangan (”scarring effect”). Sektor-sektor ini dinilai masih memerlukan insentif dan relaksasi aturan.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kendati pandemi Covid-19 mulai mereda, sejumlah sektor belum pulih sepenuhnya akibat luka memar berkepanjangan (scarring effect). Sektor-sektor ini dinilai masih memerlukan insentif dan relaksasi aturan.
”Beberapa sektor seperti industri padat karya perlu mendapat insentif agar bisa tetap memberikan lapangan kerja yang bisa berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi,” ujar Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani yang dihubungi pada Rabu (4/1/2023).
Selain itu, menurut Ajib, sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) juga masih memerlukan insentif agar bisa bangkit kembali dari keterpurukan. Apalagi UMKM punya kontribusi yang besar bagi perekonomian nasional.
Pada 2021 UMKM berkontribusi 60,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional. UMKM juga berkontribusi hingga 96,9 persen dari total serapan tenaga kerja nasional dan 15,69 persen terhadap total ekspor.
”Dengan bantuan insentif, bisa memberikan napas tambahan untuk mereka bisa kembali bangkit,” ujar Ajib.
Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mirza Adityaswara mengatakan, pihaknya akan melanjutkan kebijakan relaksasi atau keringanan terkait pelunasan kredit oleh debitor yang terdampak pandemi Covid-19 maupun yang terkena bencana.
Relaksasi tersebut, antara lain, diberikan pada sektor dan daerah yang terdampak bencana dengan menerbitkan Peraturan OJK Nomor 19 Tahun 2022 tentang Perlakuan Khusus untuk Lembaga Jasa Keuangan (LJK) pada Daerah dan Sektor Tertentu di Indonesia yang Terkena Dampak Bencana.
”Kami juga akan segera menetapkan kebijakan terkait perlakuan khusus bagi para debitor dan LJK yang terdampak bencana di Kabupaten Cianjur sesuai ketentuan yang berlaku dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian,” ujar Mirza, Senin.
Restrukturisasi kredit
Selain itu, OJK juga memperpanjang periode relaksasi kredit terkait Covid-19 yang sebelumnya berakhir 31 Maret 2023 menjadi 31 Maret 2024. Adapun sektor yang mendapatkan perpanjangan relaksasi kredit adalah UMKM, sektor akomodasi, dan makanan-minuman. Selain itu, sektor industri dengan serapan tenaga kerja yang besar seperti tekstil dan produk tekstil serta alas kaki. Di sisi lain, kepada pelaku jasa keuangan, Mirza meminta agar tetap senantiasa menjaga ketahanan permodalan dan tingkat likuiditas yang memadai.
Berdasarkan data OJK, nilai kredit perbankan yang masih direstrukturisasi sampai dengan November 2022 sebesar Rp 499,87 triliun. Jumlah itu menyusut 39,80 persen dari titik puncaknya, yakni sebesar Rp 830,47 triliun, pada Agustus 2020.
Jumlah nasabah restrukturisasi juga menyusut menjadi 2,40 juta nasabah atau menurun 64,9 persen dari posisi terbanyaknya, yakni 6,84 juta nasabah, pada Agustus 2020.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan, makin menurunnya jumlah restrukturisasi kredit ini sejalan dengan makin membaiknya perekonomian nasional. Pertumbuhan ekonomi juga sejalan dengan membaiknya kondisi finansial debitor sehingga sudah kembali bisa mengangsur kredit. Nama mereka pun dikeluarkan dari daftar debitor restrukturisasi.