Aset Kripto Diprediksi Masih Tertekan pada 2023
Jatuhnya harga atau nilai aset kripto di pasar secara drastis dan berkepanjangan diprediksi belum berakhir pada 2023. Masyarakat yang berinvestasi lewat aset kripto harus berhati-hati lantaran berisiko tinggi.

JAKARTA, KOMPAS — Ketidakpastian ekonomi pada tahun 2023 diprediksi turut memengaruhi perdagangan kripto. Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi menilai, kondisi tersebut dapat membuat investasi terhadap aset kripto menurun.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Didid Noordiatmoko mengatakan, nilai transaksi aset kripto di Indonesia pada 2022 menurun. Pada 2021, nilai transaksinya berada di angka Rp 859,4 triliun. Angka tersebut meningkat dari nilai tahun 2020 yang hanya Rp 64,9 triliun. Sementara per Januari hingga November 2022, angkanya menurun menjadi Rp 296,6 triliun.
Tidak hanya itu, popularitas aset kripto juga menurun. Didid mencontohkan, berdasarkan data dari Statista Global Consumer Surveyterhadap penduduk di Amerika Serikat pada 2020-2022, sebanyak 18 persen penduduk telah berinvestasi lewat aset kripto. Namun, penduduk yang berencana untuk melanjutkan investasinya hanya 15 persen.
Selain itu, lanjut Didid, fenomena crypto winter diprediksi belum berakhir pada 2023. Crypto winter merupakan kondisi jatuhnya harga atau nilai aset kripto di pasar secara drastis dan berkepanjangan.
”Jadi, 2023 ini kita masih menghadapi tantangan yang luar biasa terkait aset kripto,” kata Didid dalam konferensi pers Outlook Bappebti Tahun 2023 di Jakarta, Rabu (4/1/2023). Bappebti merupakan otoritas di bawah naungan Kementerian Perdagangan yang berwenang mengatur dan mengawasi kripto.

Pelaksana Tugas Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Didid Noordiatmoko menjawab pertanyaan wartawan seusai konferensi pers Outlook Bappebti Tahun 2023 di Jakarta, Rabu (4/1/2023).
Meskipun jumlah transaksi menurun, peminat aset kripto bertambah. Bappebti mencatat, pada 2021 jumlah investor mencapai 11,2 juta. Per November 2022, jumlah investor meningkat menjadi 16,55 juta. Didid menyampaikan, dari 16,55 juta investor, 48 persen di antaranya berusia 18-35 tahun dengan 70 persen nilai transaksinya di bawah Rp 500.000.
”(Nilai transaksinya) memang kecil-kecil, tetapi sangat masif sehingga tentu membutuhkan pengaturan-pengaturan yang lebih baik lagi di tahun 2023. Karena dengan jumlah pengguna yang semakin banyak, kalau kita lihat dari usia yang kelas milenial, jangan sampai mereka sekadar ikut-ikutan saja,” kata Didid.
Baca juga: ”Booming” Aset Kripto, Riset Dulu Sebelum Beli
Kendati begitu, Didid berpandangan, investasi aset kripto di Indonesia masih berpotensi tumbuh. Berdasarkan survei Global Index, 16,4 persen pengguna internet di Indonesia memiliki aset kripto. Sementara berdasarkan laporan We Are Social, sebanyak 18,4 persen pengguna internet memiliki aset kripto.
Selain itu, menurut penelitian Center of Economics and Law Studies (Celios), ada tiga produk investasi utama. Berdasarkan penelitian tersebut, mayoritas responden menempatkan investasinya pada reksadana (29, 8 persen), saham (21,7 persen), dan aset kripto (21,1 persen) dengan rata-rata penempatan dana Rp 500.000-Rp 1 juta.
”Perdagangan aset kripto bisa menjadi salah satu strategi pemerintah untuk mempercepat, menciptakan, dan mendorong upaya pengembangan ekonomi digital Indonesia pada tahun 2030,” ucap Didid.
Saat ini, kata Didid, ada 383 jenis aset kripto yang dapat diperjualbelikan di Indonesia. Dari 383 aset kripto tersebut, 10 di antaranya merupakan koin lokal. Didid berujar, saat ini pihaknya sedang mengkaji 151 koin baru aset kripto, yang di antaranya terdapat 10 koin lokal. Didid pun mendorong agar koin lokal diperbanyak.
”Semakin banyak koin lokal, semakin baik bagi kita. Itu menjadi karya anak bangsa, dan buat kami pengawasannya akan jauh lebih mudah jika koin itu di dalam negeri,” ujar Didid.
Aturan aset kripto diatur dalam Peraturan Bappebti Nomor 11 Tahun 2022 tentang Penetapan Daftar Aset Kripto yang diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Kripto. Aturan itu menyatakan, aset kripto yang diperdagangkan pada exchanges lokal setidaknya memenuhi tiga kriteria. Ketiganya adalah berbasis teknologi ledger, berupa aset kripto utilitas atau beragun aset, dan telah memiliki hasil penilaian dengan metode analisis hierarki proses (analytical hierarchy process/AHP) yang ditetapkan oleh Bappebti.
AHP, antara lain, memperhatikan aspek keamanan, profil tim dan anggota tim yang mengembangkan, tata kelola dan skalabilitas sistem rantai blok, peta jalan yang dapat diverifikasi pencapaiannya, serta masuk dalam 500 besar kapitalisasi pasar kripto di CoinMarketCap (Kompas.id, 12/2/2022).
”Minggu keempat Januari 2023 kami akan menyampaikan beberapa jenis koin lagi yang bisa diperdagangkan di Indonesia, dan mudah-mudahan nanti bisa nambah lima koin lokal dari 10 (koin lokal) yang sedang di-review,” ujar Didid.

Didid berpesan, masyarakat yang berinvestasi lewat aset kripto harus berhati-hati lantaran berisiko tinggi. Ia mengingatkan, tidak ada investasi yang memberikan keuntungan tetap. Terkait hal ini, Bappebti pada Februari 2023 akan menyelenggarakan bulan literasi kripto.
”Di bulan Februari setiap hari ada cerita tentang kripto kepada masyarakat sehingga masyarakat lebih aware lagi dan tidak sekadar ikut-ikutan,” ucap Didid.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Celios Bhima Yudhistira Adhinegara berpandangan, menurunnya nilai transaksi aset kripto harus dilihat dengan positif. Menurut dia, saat kripto booming, banyak investor yang hanya mencoba-coba.
”Tidak paham teknologi yang melatarbelakangi, hanya FOMO, fear of missing out, dan itu yang mulai tersingkir dari pasar kripto. Artinya, mereka yang masih bertahan saat ini adalah investor yang memahami risiko dan peluang dari kripto ini ke depan,” kata Bhima.
Menurunnya jumlah transaksi juga disebabkan perubahan instrumen investasi. Bhima mengatakan, saat pandemi Covid-19 melanda dunia pada 2020, kripto diibaratkan sebagai safe heaven. Kini, pola investasi bergeser ke emas dan pasar valuta asing (valas). Bhima pun meminta agar para ”pemain” kripto dan regulator harus memahami bahwa aset tersebut cukup berisiko.
”Investor juga diberikan edukasi dan literasi keuangan yang cukup sehingga setiap keputusan untuk berinvestasi di aset kripto merupakan keputusan yang sadar didasari atas pemahaman yang baik,” kata Bhima.
Baca juga: Literasi Aset Kripto Perlu Diperkuat
Pajak kripto
Sejak 1 Mei 2022, pemerintah mengenakan pajak atas transaksi perdagangan aset kripto, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto. Dalam aturan itu, pemerintah membuat ketentuan tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi perdagangan aset kripto.
Regulasi yang diundangkan pada 30 Maret 2022 itu menetapkan tarif PPN sebesar 0,11 persen jika transaksi diselenggarakan oleh pedagang aset kripto (exchanger) yang terdaftar di Bappebti dan PPN 0,22 persen jika transaksi dilakukan melalui pedagang yang tidak terdaftar di Bappebti. Sementara tarif PPh Pasal 22 final ditetapkan 0,1 persen jika transaksi melalui pedagang yang terdaftar di Bappebti dan 0,2 persen jika transaksi dilakukan oleh pedagang yang tak terdaftar di Bappebti (Kompas.id, 22/4/2022).
Terkait hal ini, Didid mengatakan, aset kripto bermanfaat bagi sumber penerimaan negara. Sejak Mei hingga 14 Desember 2022, pajak yang dihasilkan dari transaksi aset kripto dari pedagang yang terdaftar di Bappebti mencapai Rp 231,75 miliar.
Sebagian pelaku menilai, pengenaan pajak akan menambah beban bagi investor di dalam negeri. Sebelumnya, Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) mengusulkan tarif PPh final 0,05 persen, tanpa PPN. Asosiasi juga menilai industri aset kripto di Indonesia masih relatif baru. Kebijakan yang tak tepat berpotensi menekan pertumbuhannya.
Merespons hal ini, Didid menyebutkan, besaran tarif pajak diputuskan oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.

Perpindahan pengawasan
Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan yang disahkan pada 15 Desember 2022 menyebutkan aktivitas terkait aset kripto akan berada di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia. Ketentuan ini mengubah pengawasan industri aset kripto yang saat ini dilakukan Bappebti.
Terkait hal ini, Didid mengatakan, sesuai aturan tersebut, pihaknya diberikan waktu selama dua tahun untuk masa transisi. Dalam masa transisi itu, Bappebti juga akan menyiapkan peraturan pemerintah (PP). Selama masa itu pula, pengawasan, pembinaan, dan kebijakan aset kripto serta perdagangan derivatif tetap menjadi kewenangan Bappebti.
”Jadi, kita memiliki waktu sekitar enam bulan untuk menyusun PP, di mana PP itu menjadi acuan untuk masa transisi selama dua tahun perpindahan dari Bappebti ke OJK,” ucap Didid.
Baca juga: Keliru Menata Regulasi Aset Kripto