Pengusaha dan Buruh Persoalkan Perubahan Pasal di Kluster Ketenagakerjaan
Baik pengusaha maupun pekerja mempersoalkan perubahan substansi sejumlah pasa kluster ketenagakerjaan di Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2/2022 tentang Cipta Kerja.
Oleh
MEDIANA, CYPRIANUS ANTO SAPTOWALONO
·5 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Pekerja bergelantungan saat membersihkan gedung pusat perbelanjaan di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (3/1/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menuai polemik. Selain alasan kegentingan yang mendasari penerbitannya, sejumlah substansinya menuai pro kontra.
Kalangan buruh dan pengusaha mempersoalkan perubahan di kluster ketenagakerjaan. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyoroti perbedaan formula penghitungan upah minimum dan pekerjaan alih daya yang berbeda dengan Undang-undang (UU) No 11/2020 tentang Cipta Kerja. Perubahan itu dinilai berpotensi mengganggu iklim investasi.
Formula penghitungan upah minimum yang mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu, oleh Apindo, akan memberatkan dunia usaha. UU Cipta Kerja hanya mencantumkan satu variabel, yaitu pertumbuhan ekonomi atau inflasi.
Pengaturan alih daya juga diubah dalam Perppu No 2/2022 menjadi pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan alih daya. Apindo khawatir hal itu akan mengembalikan spirit pembatasan seperti spirit UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Pembatasan alih daya diyakini membuat tujuan menciptakan ekosistem ekonomi yang sehat dan fleksibel untuk menarik investor akan susah tercapai.
“Di UU Cipta Kerja, alih daya tidak dibatasi. Padahal, alih daya bisa berperan penting menciptakan lapangan kerja. Alih daya bukan untuk pekerja murah, tetapi untuk mencari pekerja terampil dan membuat kinerja perusahaan lebih efisien,” ujar Anggota Komite Regulasi dan Kelembagaan Apindo Susanto Haryono, dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (3/1/2023).
Menurut dia, pembatasan jumlah jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan tak lagi relevan di tengah kemunculan pekerjaan baru di era 4.0 dan kebutuhan pekerja terampil yang meningkat. “Usulan kami, peraturan turunan Perppu No 2/2022 jangan sampai bertentangan dengan kondisi dunia yang sudah memasuki era 4.0,” imbuh Susanto.
Terkait upah minimum, Ketua Umum Apindo Hariyadi B Sukamdani menyatakan, pihaknya berharap pemerintah menimbang dengan cermat kemampuan perusahaan, secara khusus usaha padat karya dan kondisi angkatan kerja yang masih didominasi lulusan sekolah menengah ke bawah. "Kami justru khawatir semakin banyak investasi padat modal yang masuk, bukan padat karya,” ujarnya.
Kalangan pekerja juga mempersoalkan pasal tentang pengupahan. Sebelumnya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, dalam konteks hukum ketenagakerjaan internasional tidak dikenal “indeks tertentu” dalam menentukan upah minimum. Menurut dia, formula tidak perlu memasukkan indeks, tetapi pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Pihaknya juga mencemaskan potensi terjadinya perubahan peraturan upah minimum karena, pasal 88F Perppu No 2/2022 menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu pemerintah dapat menetapkan formula perhitungan upah minimum yang berbeda. Terkait pekerjaan alih daya, Said tidak sepakat masih diperbolehkannya prinsip alih daya di UU Cipta Kerja dan Perppu No 2/2022 (Kompas, 2/1/2023).
Situasi kegentingan yang mendasari pemerintah menerbitkan Perppu No 2/2022, antara lain mencakup berlanjutnya perang Rusia-Ukraina, inflasi dan stagflasi, resesi, perubahan iklim, dan gangguan rantai pasok dunia, juga menuai pro kontra.
"Perppu diterbitkan dengan mempertimbangkan kebutuhan mendesak untuk mengantisipasi kondisi global, baik terkait ekonomi maupun geopolitik. Pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global tersebut," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam siaran pers, Jumat (30/12/2022).
Akan tetapi, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, mempertanyakan relevansi dan kegentingan Perppu 2/2022. Dampak ketidakpastian geopolitik dan ekonomi global tahun ini diperkirakan tidak akan membuat Indonesia dalam situasi gawat (Kompas, 2/1/2023).
Sejumlah lembaga internasional memperkirakan ekonomi RI masih tumbuh di kisaran 4,7-5,1 persen tahun ini. Pemerintah juga menargetkan ekonomi RI bisa tumbuh 5,3 persen, sedangkan Bank Indonesia (BI) memproyeksikan pertumbuhannya di kisaran 4,5-5,3 persen.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Mohammad Faisal, senada. Menurut dia, tidak ada korelasi kuat antara tekanan yang menimpa ekonomi global, imbasnya ke ekonomi domestik, serta kebutuhan akan Perppu Cipta Kerja.
IRMA TAMBUNAN
Ribuan pengunjuk rasa menolak pengesahan RUU Cipta Kerja, dalam aksi Senin (12/10/2020). Aksi sempat diwarnai bentrok. Massa dipukul mundur dengan tembakan gas air mata.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Padang, Feri Amsari, Selasa, berpendapat, ketentuan Pasal 22 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 soal hal ikhwal kegentingan memaksa sebagai hak subyektif Presiden sudah diubah tafsirnya di dalam putusan MK Nomor 138/2009.
Kegentingan memaksa sebagai alasan penerbitan perppu memiliki tiga syarat, yakni ada kondisi mendesak, ada aturan hukum atau tidak ada aturan hukum yang bisa menyelesaikan masalah, dan diperlukan secepatnya. Mahkamah Konstitusi (MK) memberi waktu untuk perbaikan UU Cipta Kerja hingga November 2023.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyatakan, pemerintah mempersilakan jika ada pihak yang akan mempersoalkan isi Perppu No 2/2022. Namun, apabila hal yang dipersoalkan menyangkut prosedur, pemerintah beranggapan hal itu sudah sesuai ketentuan.
”Saya persilakan saja. Kalau mau terus didiskusikan, ya, diskusikan saja. Tetapi, pemerintah menyatakan begini, putusan MK itu mengatakan Undang-Undang Ciptaker itu dinyatakan inkonstitusional bersyarat,” kata Mahfud MD saat menjawab pertanyaan wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta.
NINA SUSILO/KOMPAS
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD, dan Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward OS Hiarief mengumumkan Perppu Cipta Kerja setelah bertemu Presiden sekitar jam 10.15 sampai 10.45 di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (30/12/2022)
Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, M Hadi Subhan, saat dihubungi terpisah, berpendapat, Perppu No 2/2022 relatif lebih berpihak kepada pekerja dibandingkan UU Cipta Kerja. Terkait alih daya, misalnya, dimunculkan kembali Pasal 64 UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan di Perppu No 2/2022 dan merupakan hal yang menguntungkan pekerja. Dalam pasal 64 Ayat (1) Perppu No 2/2022 disebutkan, perusahaan dapat menyerahkan sebagianpelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis.
“Artinya, pekerjaan yang boleh dialihdayakan adalah sebagian pekerjaan saja dan bukan seluruh pekerjaan. Walaupun, sebagian pekerjaan yang dimaksud itu harus dikawal proses perumusan peraturan turunan Perppu No 2/2022,” kata dia.
Hadi menekankan, hal yang tidak tepat adalah peniadaan pembatasan jenis profesi yang bisa dialihdayakan. Sebab, hukum perburuhan bertujuan untuk memberikan proteksi posisi pekerja yg subordinat dan lemah secara ekonomi. Dengan demikian, jika alih daya dibebaskan maka akan terjadi fleksibilitas pasar tenaga kerja yang bisa menindas pekerja.
Substansi mengenai perhitungan upah minimum dalam Perppu No 2/2022 juga dinilai relatif lebih baik dibanding UU Cipta Kerja. Ketentuan penggunaan variabel untuk perhitungan upah minimum di Perppu No 2/2022 bersifat kumulatif, sedangkan di UU Cipta Kerja bersifat alternatif.