Masyarakat Perlu Dibiasakan dengan Fluktuasi Harga BBM
Edukasi masyarakat terhadap fluktuasi harga BBM perlu diberikan agar masyarakat terbiasa dengan harga yang fluktuatif dan dinamis.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA, Ayu Octavi Anjani
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah, melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara, mendorong transparansi harga jual bahan bakar minyak Pertamina yang salah satunya bergantung pada harga minyak mentah dunia. Hal itu dinilai sebagai hal positif. Di sisi lain, regulasi yang mengatur BBM yang disubsidi dan dikompensasi juga perlu diterbitkan agar penyalurannya tepat sasaran.
Pada Selasa (3/1/2023), PT Pertamina (Persero) menurunkan harga sejumlah jenis BBM nonsubsidi, termasuk pertamax dari Rp 13.900 per liter menjadi Rp 12.800 per liter. Menteri BUMN Erick Thohir menuturkan, penurunan harga itu karena adanya penurunan harga minyak mentah. Pihaknya juga mendorong transparansi sehingga harga BBM nonsubsidi mengikuti fluktuasi harga minyak.
Pengamat ekonomi energi yang juga dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Fahmy Radhi, dihubungi dari Jakarta, Selasa, mengatakan, sejumlah variabel yang menentukan harga minyak BBM ialah harga minyak dunia, rata-rata produk minyak olahan Mean of Platts Singapore (MOPS/argus), inflasi, dan kurs rupiah.
Menurut dia, usul Erick Thohir beberapa waktu lalu agar harga pertamax diumumkan setiap pekan tepat. ”Sebab, fluktuasi minyak di dunia bahkan harian sehingga harga BBM nonsubsidi harus seuai angka keekonomian. Jadi, Pertamina juga fair, saat harga minyak mentah naik, harga (pertamax) naik dan saat harga minyak turun, (pertamax) ikut turun,” katanya.
Ia juga berharap penyesuaian tersebut juga dilakukan pada BBM subsidi dan kompensasi, yakni solar dan pertalite. Menurut dia, jika kedua jenis BBM itu ikut diturunkan, akan memperkecil inflasi dan menaikkan daya beli masyarakat. Pada akhirnya, kebijakan tersebut juga akan memberi kontribusi pertumbuhan ekonomi.
Namun, jika pertalite dan solar ikut diturunkan, ada risiko migrasi pengguna pertamax ke pertalite yang notabene diperuntukkan untuk kalangan tidak mampu karena dikompensasi pemerintah. Oleh karena itu, revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM perlu segera diterbitkan agar tepat sasaran.
Ia juga mendorong Pertamina dan pemerintah memberi edukasi kepada masyarakat akan fluktuasi harga minyak yang memengaruhi harga jual BBM. ”Dengan demikian, masyarakat bisa mengikuti perubahan tadi. Agar masyarakat dibiasakan bahwa harga BBM itu berfluktuasi secara dinamis sehingga tidak terkaget-kaget lagi saat harga naik ataupun turun,” ujar Fahmy.
Dengan harga yang mengikuti fluktuasi, kata Radhy, masyarakat juga dapat membandingkan harga BBM yang dijual badan usaha swasta, terutama untuk nonsubsidi. ”Kalau harga mendekati SPBU asing (swasta), konsumen memiliki pilihan. Silakan saja yang mana, tetapi yang jelas, harganya terbentuk sesuai angka keekonomian tadi,” katanya.
Adapun harga baru pertamax berlaku efektif pada Selasa mulai pukul 14.00. Sementara itu, pertamax turbo turun dari Rp 15.200 per liter menjadi Rp 14.500 per liter. Adapun pertadex turun dari Rp 18.800 per liter menjadi Rp 16.750 per liter dan dexlite turun dari Rp 18.300 per liter menjadi Rp 16.150 per liter. Harga itu berlaku pada daerah dengan pajak atas penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) 5 persen, termasuk DKI Jakarta.
Adapun harga pertalite dan solar masih tetap. Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menuturkan, harga pertalite dan solar belum dinaikkan sehingga jumlah yang disubsidi pemerintah sangat besar. Solar, misalnya, yang saat ini dijual Rp 6.800 per liter di SPBU Pertamina, sedangkan kompetitor atau badan usaha swasta menjual dengan harga lebih dari dua kali lipat.
”Artinya, yang disubsidi negara sangat besar. Kami menjual setengah dari harga pasar di mana pemerintah menyubsidi sebesar Rp 6.500 per liter untuk solar. Harga (keekonomian) pertalite masih Rp 12.000-Rp 13.000 per liter (dan harga jual Rp 10.000 per liter) jadi subsidi pemerintah juga masih besar,” kata Nicke.
Nicke menjelaskan, kini harga pertamax sangat bersaing. Saat ini, market share pertamax di antara BBM RON 92 lainnya mencapai 97,4 persen di Indonesia sehingga memberi dampak pada masyarakat. Dengan diturunkannya harga BBM, diharapkan dapat bisa meningkatkan produktivitas pekerjaan masyarakat.
Erick menuturkan, sistem pembayaran dengan aplikasi MyPertamina terus dikembangkan sambil menunggu revisi Perpres No 191/2014 yang sedang digodok Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Menurut dia, pada rapat Menteri BUMN, Menteri ESDM, dan Menteri Keuangan serta Dirut Pertamina, rencana revisi perpres tersebut juga dibahas.
”Itu agar BBM tepat sasaran. Jangan sampai (kalangan) mampu membeli BBM yang dibantu pemerintah. Hal-hal ini sedang kami perbaiki. Industri juga tidak berhak BBM yang dibantu pemerintah. Sebab, jika harga BBM subsidi dinaikkan, bisa berdampak pada harga (tarif) juga. Jadi, kami melihat ini lebih konkret dan menyeluruh,” ujarnya.