Dengan setumpuk agenda, tahun 2023 menjadi tahun penting bagi sektor energi. Mulai dari implementasi Perpres No 112/2022 hingga pembahasan lebih lanjut mengenai pengembangan nuklir. Peta jalan dan komitmen dibutuhkan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Teknisi memeriksa saluran ua air panas dari separator di Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Binary Organic Rankine Cycle (ORC) berkapsitas 500 KW yang dikelola PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) di Lahendong, Tomohon, Sulawesi Utara, Senin (25/4/2022). PLTP Binary ORC ini merupakan proyek percontohan penerapan teknologi binary atau optimalisasi uap air panas dari sumur geotermal Lahendong untuk produksi listrik. PT PGE berencana mengembangkan PLTP binary ini dengan kapasitas mencapai 25 MW sebagai komitmen mewujudkan sumber energi baru dan terbarukan.
Sumber energi terbarukan dirasa kian relevan untuk mengisi kebutuhan energi masa depan seiring gejolak harga pada energi fosil, terutama minyak mentah, karena Indonesia memiliki ketergantungan terhadap impor yang tinggi. Dukungan terhadap energi terbarukan di Indonesia melalui regulasi, yaitu berupa insentif bagi pengembang, telah diterbitkan. Tahun 2023 menjadi tahun untuk menguji sejauh mana implementasinya.
Sektor energi menjadi salah satu sektor yang disorot pada 2022, mulai dari krisis ketersediaan batubara untuk pembangkit listrik di dalam negeri hingga melonjaknya harga minyak dan gas bumi dunia, yang turut dipengaruhi konflik bersenjata Rusia-Ukraina. Di sisi lain, pandemi yang kian terkendali menyebabkan permintaan terhadap energi meningkat pesat. Di dalam negeri, permintaan bahan bakar minyak (BBM) jenis biosolar dan pertalite melonjak melampaui kuota yang ditetapkan pemerintah. APBN tertekan lantaran lonjakan subsidi untuk kedua jenis BBM tersebut.
Berbagai dinamika tersebut di atas membuat akselerasi pengembangan energi terbarukan semakin mendesak meskipun saat ini masih ada ketergantungan pada fosil. Upaya percepatan dilakukan pemerintah, salah satunya dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik yang ditetapkan dan diundangkan pada 13 September 2022.
Perpres itu memuat di antaranya insentif yang diberikan pemerintah, baik dalam bentuk fiskal maupun nonfiskal, bagi para pengembang energi terbarukan. Perpres itu juga menyebut larangan membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang baru, kecuali yang telah ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sebelum berlakunya perpres.
Bagaimanapun, perpres itu membawa harapan akan peningkatan daya tarik investasi energi terbarukan, yang selama ini berjalan relatif lambat. Salah satu kendala selama ini ialah nilai keekonomian yang masih sulit dicapai, terutama jika dibandingkan dengan fosil. Namun, dibutuhkan peraturan turunan yang mengatur mekanisme insentif itu secara lebih rinci.
Bagi peneliti senior Institute for Essential Services Reform (IESR) Raditya Wiranegara, dalam sebuah wawancara, Minggu (1/1/2023), tahun 2023 adalah tahun di mana keefektifan dari implementasi Perpres No 112/2022, serta aturan turunannya akan mulai diuji. Dalam hal ini, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) sebagai pemain tunggal penyedia tenaga listrik dari hulu ke hilir di Indonesia memainkan peranan penting.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu memperbarui Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan menyesuaikan dinamika terbaru transisi energi di Indonesia. Misalnya, terkait dengan target pengurangan emisi gas rumah kaca dan bauran energi terbarukan yang ditetapkan dalam Just Energy Transition Partnership (JETP) yang juga bagian dari upaya menghentikan operasi PLTU lebih dini.
Pembaruan KEN saat ini memang tengah disiapkan oleh Dewan Energi Nasional (DEN). Sejumlah penyesuaian dilakukan, terutama berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Kondisi saat ini tak sesuai dengan asumsi dasar pertumbuhan ekonomi dalam KEN yang disahkan pada 2014 lewat Peraturan Pemerintah No 79/2014 sehingga perkiraan supply dan demand energi pun berubah.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK)
Deretan kincir angin pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) menghiasi puncak bukit di Dusun Tanarara, Desa Maubokul, Kecamatan Pandawai, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Rabu (3/2/2021). Sebagian besar dari 48 kincir angin yang dibangun pada 2013 itu hingga kini masih berfungsi dengan baik dalam memenuhi kebutuhan listrik masyarakat sekitar.
Berbagai upaya yang perlu dilakukan dalam akselerasi pengembangan energi terbarukan tak lain merupakan tahapan menuju target emisi nol bersih (net zero emission/NZE) pada 2060. Begitu juga dalam target bauran energi terbarukan dalam bauran energi primer sebesar 23 persen pada 2025. Sementara hingga semester I-2022, capaiannya baru 10,33 persen. Pekerjaan berat pun menanti.
Dalam pengamatan Manajer Tim Riset IESR yang juga koordinator Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2023 Handriyanti D Puspitarini, pada 2023 sejumlah regulasi akan mulai mempertimbangkan potensi energi terbarukan dan mendukung peningkatan bauran energi terbarukan. Akan ada banyak kesempatan, seperti pembangkit listrik energi terbarukan yang mulai commercial operation date (COD) hingga munculnya mobil-mobil listrik.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) juga menjadi hal yang bakal dikejar untuk disahkan pada 2023. RUU tersebut awalnya ditargetkan disahkan sebelum KTT G20 di Bali pada November 2022. Namun, lantaran belum siap untuk dibahas, pembahasan Komisi VII DPR RI dan pemerintah pun direncanakan dilakukan pada tahun ini.
RUU EBET diyakini bakal mendukung percepatan pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Akan ada kepastian hukum yang diharapkan dapat mendorong akselerasi energi terbarukan di tengah semakin kuatnya tuntutan terhadap penggunaan energi bersih.
Dengan setumpuk agenda itu, 2023 akan menjadi tahun penting bagi sektor energi. Mulai dari implementasi Perpres No 112/2022 hingga pembahasan lebih lanjut mengenai pengembangan nuklir. Bagaimanapun, keamanan dan ketahanan energi menjadi yang terpenting. Namun, peta jalan menuju NZE 2060, disertai komitmen kuat untuk menjalankannya perlu disiapkan.