Nyaring Trompet Tahun Baru Teredam Lato-lato
Suara nyaring trompet bersahut-sahutan dari berbagai penjuru tepat saat pergantian tahun. Di balik bunyi trompet, ada sejumlah pedagang yang menaruh harap pada alat tiup itu.
Perayaan Tahun Baru yang lebih leluasa seiring pandemi mereda diduga akan menggubah peruntungan bagi para pedagang trompet. Lagi pula, Tahun Baru selalu identik dengan trompet beragam bentuk yang menyemarakkan pergantian tahun. Walakin, tahun ini hoki trompet kertas ataupun trompet plastik mesti bersaing dengan lato-lato yang viral.
Dahulu, banyak orang selalu mencari trompet kertas. Namun, kini perlahan keberadaannya mulai tergantikan dengan trompet plastik yang lebih awet. Belum lagi, pandemi Covid-19 turut memukul usaha para perajin trompet kertas. Alhasil, makin sulit pula menemukan mereka, padahal selama ini para perajin kerap merakit trompetnya di wilayah yang sama.
Baca juga : Trompet Pabrikan Lebih Diminati Jelang Tahun Baru 2023
Sepanjang Jalan Gajah Mada hingga Jalan Pintu Besar Selatan, Kota Tua, Jakarta, hanya ada dua perajin trompet kertas, Korsan (60) dan Rojali (50). Akhir 2022 adalah pertama kalinya mereka kembali memproduksi alat tiup sederhana itu setelah dua tahun terakhir kehilangan gegap gempita Tahun Baru karena pagebluk.
Korsan dan Rojali sepakat tak memproduksi dalam jumlah besar, seperti tahun-tahun sebelum pandemi. Alasannya, usaha trompet kertas masih tak pasti pada akhir 2022 meski pembatasan pergerakan masyarakat telah dicabut.
”Pendapatan kotor sekarang enggak tentu, makan saja sudah habis berapa, belum rokoknya, dan pengeluaran-pengeluaran lainnya,” ujar Korsan sembari melekatkan kertas warna pada kerucut trompet di Jalan Pintu Besar Selatan, Kota Tua, Sabtu (31/12/2022).
Berdua dengan Rojali, ia membuat 500 trompet. Angka tersebut menurun dibandingkan pada perhelatan Tahun Baru 2019. Saat itu, tiap orang dapat memproduksi 700 trompet. Jika dikerjakan dua orang, berarti mereka dapat menghasilkan 1.400 trompet.
Untuk berdagang pada akhir 2022, Korsan perlu merogoh sekitar Rp 3 juta sebagai modal awal, begitu pula dengan Rojali. Meski belum menghitung pendapatan hasil berdagang, keduanya optimistis penjualan kali ini sudah menutup modalnya.
Baca juga : Optimisme di Tahun Baru
Walau bekerja di lokasi yang sama, Korsan dan Rojali berjualan masing-masing. Korsan menjual trompet berukuran sedang seharga Rp 5.000 per buah. Rojali pun mematok harga yang sama untuk ukuran serupa. Ia juga membuat topi ukuran besar yang dihargai Rp 5.000 per buah.
Bagi Rojali, memproduksi trompet telah mendarah daging karena dahulu orangtuanya pun berdagang produk yang sama.
Meski hujan beberapa kali mengguyur, Korsan dan Rojali tetap ulet melanjutkan produksi trompet kertasnya di atas alas terpal plastik. Di tempat itu pula, keduanya bermalam selama tiga hari.
”Ya, di sini tidurnya, sudah seperti menggembel,” kata Rojali sambil tertawa.
Sebagai pedagang musiman, mereka meninggalkan sementara pekerjaan-pekerjaan utamanya. Rojali sibuk menjadi buruh lepas kala tak membuat trompet.
Baca juga : Optimisme Ekonomi Menyongsong Natal dan Tahun Baru
Berbeda dengan rekannya, sehari-hari Korsan bekerja sebagai pengumpul barang rongsok, seperti plastik dan kardus. Ia mencari semua barang bekas, apa pun jenisnya, selama dapat menghasilkan uang. Selain itu, berdagang mi ayam pun ia lakoni saat Lebaran.
Keduanya berangkat dari Cikarang, Jawa Barat dengan sepeda motor tua yang tersambung dengan gerobak. Jakarta jadi pilihan untuk mengadu nasib dengan asa penjualan trompet dapat menambah pendapatan keduanya. Lantas, mereka membuka lapak di depan ruko bernomor 72 yang tampak selalu tertutup dengan debu yang terus beterbangan.
Sesekali warga yang lewat memperhatikan tangan-tangan Korsan serta Rojali yang luwes merakit trompet. Ada pula seorang anak yang tampak memberi kode kepada orangtuanya untuk membeli trompet, meski akhirnya urung.
Beruntung, kerja keras berbuah manis. Sebelum sore, trompet-trompet kertas telah habis terjual. Banyak pedagang pasar yang mencari trompet untuk dijual kembali. Keduanya menjual trompet seharga Rp 3.000 per buah secara grosir. Saat masih berjaya, Korsan membuat trompet dengan beragam bentuk yang lebih rumit. Salah satunya trompet saku yang laku hingga Rp 6.000 per buah.
Mereka berencana untuk kembali membuka lapak trompetnya pada tahun-tahun mendatang. Tentunya selama pandemi Covid-19 tak mengganas, diikuti kondisi yang didukung kepastian iklim membuka usaha. Keyakinan bahwa trompet kertas tak akan punah bak memompa keinginan mereka untuk terus jadi perajin musiman.
Puput (37), yang sibuk membawa plastik besar berisi trompet kertas, adalah salah satu pedagang pasar yang membeli trompet secara grosir. Ia mengatakan lebih memilih alat tiup yang terbuat dari kertas ketimbang plastik. Harga yang lebih murah jadi daya tarik utama, apalagi ia berencana untuk menjual kembali trompet-trompet itu di warungnya.
Baca juga : Jakarta Selepas Perayaan Tahun Baru
Trompet kertas nyatanya masih diminati, baik oleh para pedagang maupun pembeli. Akan tetapi, animonya memang tak setinggi sebelum ada trompet plastik. Selain efek pandemi, hal ini pula yang mengikis jumlah perajin dan pedagang trompet kertas.
Sebelum pandemi, pedagang trompet kertas mudah ditemukan di kawasan Kota Tua, Jakarta. Namun, kondisi jadi berbeda setelahnya.
”Dulu, di sini banyak sekali perajin trompet kertas. Di depan ruko ini bisa sampai 10 orang berjejer membuat trompet,” ujar Hadi Sumarno, pemilik ruko.
Ruko Hadi terdiri atas empat pintu yang panjangnya berbeda, yakni berkisar 4-6 meter. Sejak tinggal di sana pada 1980, ia tak pernah keberatan ketika halamannya jadi lapak para perajin trompet.
”Enggak pernah mempermasalahkan karena enggak ganggu. Mereka cari rezeki setahun sekali yang datang dari jauh,” tambahnya.
Proyek MRT Jakarta fase 2 CP-203 yang tepat berada di depan ruko membuat kawasan tersebut makin sepi pengendara berlalu lalang. Alasannya, jalan raya itu hanya terbuka untuk bus Transjakarta, konsumen, serta penghuni ruko.
Baca juga : Ragam Ekspresi Saat Tahun Berganti
Trompet plastik
Saat bersamaan, banyak orangtua dan anaknya mampir ke sejumlah lapak untuk mencari trompet yang sesuai. Trompet plastik dengan suara nyaring pun jadi incaran sebagian besar orang.
”Lebih pilih trompet plastik karena lebih awet,” kata Surahmi (30) yang baru saja membeli trompet untuk anak dan keponakannya.
Trompet plastik terdiri atas beragam jenis serta ukuran dengan harga yang berbeda-beda. Untuk harga eceran, trompet tiup berukuran kecil, sedang, besar dihargai Rp 15.000, Rp 25.000, serta Rp 30.000 per buah.
Pedagang trompet plastik, Roy (30), bercerita tak pernah menjual trompet berbahan kertas karena barangnya tak berumur panjang. ”Apalagi musim hujan begini, takut rawan rusak,” tambahnya.
Tergerus
Di sisi lain, trompet plastik harus bersaing dengan mainan lain yang tengah ramai dicari anak-anak. ”Trompet kalah dengan lato-lato yang lagi booming. Penjualannya jadi kendur,” ujar Wahyu (40).
Ia menjual kembali trompet-trompet dari perajin asal Cengkareng, Jakarta Barat. Untuk trompet biasa berbentuk kerucut dan berukuran sedang, pembeli eceran dapat merogoh kocek Rp 10.000 per buah. Dalam skala besar, trompet dijual Rp 96.000 per lusin.
Sementara harga trompet berbentuk naga mencapai Rp 15.000 per buah untuk eceran. Untuk grosir, Wahyu menjualnya Rp 120.000.
”Kalau kondisi normal (sebelum pandemi), orang biasanya beli lusinan. Tapi sekarang eceran lesu, apalagi mau beli lusinan,” kata Wahyu yang merangkap sebagai pedagang payung dan jas hujan.
Baca juga : Bertahan di Tengah Cekaman Kelindan Krisis
Sebelum pandemi, ia dapat meraup hingga Rp 1 juta per hari saat musim libur. Keuntungan bersihnya sebesar Rp 2.000 per buah. Namun, sekarang mencapai Rp 300.000 saja terasa berat. Itu artinya, sekitar 70 persen pendapatannya hilang. Padahal, harga telah diturunkan, tetapi belum juga efektif untuk menarik pembeli.
Sementara pedagang lato-lato bisa mengantongi untung Rp 600.000 per hari. Seperti pada malam Tahun Baru di Kota Tua, Jakarta, pedagang lato-lato lebih banyak diserbu dibandingkan trompet. Mungkin suara tak-tok-tak-tok tahun ini lebih mencuri atensi.