Meskipun sudah ada kebijakan yang membuat masyarakat adat berperan lebih dalam perekonomian, masih ada kelompok yang memperjuangkan haknya. Tuntutan produktivitas ekonomi kerap lebih besar dari sumber daya adat dan lahan
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
·5 menit baca
KOMPAS/FABIO MARIA LOPES COSTA
Dua pengrajin sedang merajut tas noken di salah satu stan pameran.
Perubahan iklim mendorong perumus kebijakan menengok pada cara hidup masyarakat adat yang diyakini sarat dengan prinsip-prinsip ekonomi lestari. Di atas panggung ekonomi Tanah Air, masyarakat adat telah dilirik lewat kerajinan. Sayangnya, dalam menerapkan ekonomi lestari, keselarasan negara dengan ruang gerak masyarakat adat belum optimal.
Peran masyarakat adat dalam perekonomian Indonesia dapat ditunjukkan lewat kerajinan, misalnya noken. Tak hanya memiliki nilai ekonomi, noken juga telah tercatat sebagai warisan budaya tak benda oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sejak 2012.
“Noken adalah salah satu produk budaya yang unik dan khas dari masyarakat Papua yang pada umumnya hidup sederhana dengan memanfaatkan unsur alam sekitarnya secara tradisional,” tutur Koordinator Komunitas Noken Papua Fransisco Weriditi pada diskusi dalam jaringan yang diadakan Terasmitra, Sabtu (17/12/2022).
Dalam diskusi yang sama, Yurita Puji, seorang desainer busana, menggarisbawahi pentingnya promosi terhadap produk kerajinan agar berdampak signifikan pada kesejahteraan sosial. Tak hanya menjaga nilai kerajinan sebagai warisan budaya, tetapi juga nilai ekonominya sehingga dapat meningkatkan pendapatan para pelaku produksi.
Tak hanya menjaga nilai kerajinan sebagai warisan budaya, tetapi juga nilai ekonominya sehingga dapat meningkatkan pendapatan para pelaku produksi.
Secara spesifik, Yurita memilih panggung busana untuk mempromosikan noken karena dapat menjadi sarana edukasi yang memanjakan mata. Dia juga mengombinasikan noken dengan material tekstil lain sehingga menjadi pakaian yang nyaman dikenakan. Padu-padan noken itu turut memperhatikan tren fesyen yang sedang berjalan.
Pilihan itu mampu membuat Yurita memboyong noken ke atas panggung peragaan busana London Fashion Week Spring/Summer 2019. Untuk menembus panggung itu, dia menceritakan ketelatenan perempuan Papua dalam membuat noken. Sebagai pelaku bisnis, dia ingin meningkatkan penjualan noken yang dibeli langsung dari Papua karena dapat berdampak langsung pada peningkatan pendapatan komunitas.
KOMPAS/YOLA SASTRA
Warga membuka tabung lamang (lemang) yang sudah matang dalam acara "Malamang Sakampuang" di Kelurahan Aie Pacah, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatera Barat, Sabtu (31/12/2022).
Tak cuma kerajinan
Kehadiran masyarakat adat dalam roda ekonomi nasional jangan berhenti di produk kerajinan. Di samping membuat kerajinan tangan, laku dan cara hidup masyarakat adat dinilai selaras dengan prinsip-prinsip ekonomi lestari (sustainable economy) yang kini digandrungi pemangku kepenting dalam menyikapi perubahan iklim.
Gagasan itu mengemuka dalam artikel World Economic Forum (WEF) berjudul ‘How Indigenous peoples are reshaping modern economies’ yang ditulis Co-Chair Indigenous Network for Investment, Trade and Export Darren Godwell dan Inclusive Trade Team Member WEF Asha Nooh. Artikel yang terbit pada Agustus 2022 itu menyatakan, bisnis berbasis masyarakat adat dapat menyokong pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) 2030. Kewirausahaan sosial dari masyarakat adat sarat dengan manfaat yang dirasakan pada lingkungan dan komunitas.
Salah satu contoh negara yang telah memadukan kebijakan ekonomi dengan masyarakat adat ialah Selandia Baru. Dalam pertemuan Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) pada 2021, Selandia Baru menginisiasi Penyusunan Kerja Sama Ekonomi dan Perdagangan Masyarakat Adat atau Indigenous Peoples Economic and Trade Cooperation Arrangement (IPETCA). Inisiasi tersebut bertujuan mengidentifikasi dan menghapus hambatan bisnis berbasis masyarakat adat dalam perdagangan internasional.
Kewirausahaan sosial dari masyarakat adat sarat dengan manfaat yang dirasakan pada lingkungan dan komunitas.
Di pasar global, hak kekayaan intelektual berbasis indikator geografis bagi masyarakat adat berpeluang memiliki hak pengakuan. Laporan World Intellectual Property Organization berjudul ‘Geographical Indications: An Introduction’ yang terbit pada 2021 menyatakan, indikator geografis dapat menguntungkan masyarakat adat dengan memfasilitasi ekspresi pengetahuan dan budaya tradisional serta pembangunan ekonomi berbasis pengetahuan tradisional. Pada 2017, penjualan produk makanan-minuman yang menyertakan indikator geografis dari Uni Eropa membukukan penjualan senilai 74,75 miliar euro.
Meskipun sudah ada kebijakan yang memungkinkan masyarakat adat untuk berperan lebih dalam roda ekonomi, masih ada kelompok yang memperjuangkan haknya. Pembangunan ekonomi bak pisau bermata dua bagi masyarakat adat.
Laporan Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-bangsa (Laporan) berjudul ‘State of The World’s Indigenous Peoples: Rights to Lands, Territories and Resources’ yang terbit pada 2021 menyebutkan, tuntutan produktivitas ekonomi kerap kali lebih besar dari sumber daya adat dan lahannya. Imbasnya, kesepakatan investasi dari pemilik modal cenderung gagal mendapatkan persetujuan dari penduduk asli masyarakat adat.
Perwakilan masyarakat adat Chile dan Meksiko (kiri) menerima sambutan dari perwakilan masyarakat adat Skotlandia (kanan). Mereka berjabat tangan dari lokasi yang berbeda dengan pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim atau COP26 pada 31 Oktober 2021 di Glasgow, Skotlandia
Tantangan di Tanah Air
Situasi dalam laporan PBB itu turut tercermin dalam tantangan yang dihadapi masyarakat adat di Tanah Air. Country Director Conservation Strategy Fund Indonesia Mubariq Ahmad mengatakan, investasi di Indonesia dilematis bagi hak-hak ekonomi masyarakat adat. “Datangnya investasi beriringan dengan kemudahan perizinan (penggunaan) lahan dari pemerintah yang berdampak langsung pada masyarakat adat,” ujarnya saat dihubungi.
Padahal, lanjut Mubariq, pengakuan terhadap kepemilikan lahan penting karena merupakan sumber daya produksi bagi masyrakat adat. Dari lahan tersebut, masyarakat adat memiliki hak dasar memperoleh pendapatan secara ekonomi. Oleh sebab itu, dia menilai, kebijakan investasi saat ini cenderung belum berpihak pada kesejahteraan masyarakat adat. Dia berharap, pemerintah dapat menyusun kebijakan-kebijakan lebih adil agar masyarakat adat mendapatkan pengakuan legal atas lahan milik mereka.
Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Nasional mencatat, per Agustus 2022, terdapat 923 wilayah adat dengan total luas 17,07 juta hektare (ha) yang telah berada di tahap registrasi. Namun, jumlah yang telah tersertifikasi berkisar 47 wilayah adat dengan total luas 634.216 ha. Sertifikat BRWA Nasional menunjukkan kebenaran informasi dan keberadaan masyarakat beserta wilayah adatnya.
Salah satu tantangan untuk mendapatkan pengakuan terhadap wilayah adat ialah biaya tinggi. Padahal, aktivitas ekonomi masyarakat dapat berjalan mandiri asalkan terdapat lahan adat yang diakui.
Ketua Umum Persekutuan Perempuan Adat Nusantara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Devi Anggraini mengatakan, salah satu tantangan untuk mendapatkan pengakuan terhadap wilayah adat ialah biaya tinggi. Padahal, aktivitas ekonomi masyarakat dapat berjalan mandiri asalkan terdapat lahan adat yang diakui.
Masyarakat adat pun terbuka terhadap rencana pembangunan ekonomi dari pemerintah selama ada ruang dialog yang adil dan setara. Menurutnya, pengesahan Rancangan Undang-undang tentang Masyarakat Adat menjadi jalan keluar permasalahan tersebut.
Tahun baru sarat dengan rentetan resolusi. Jika Indonesia serius menggenapi komitmen iklim maupun cita-cita SDGs, ekonomi lestari yang melibatkan peran masyarakat adat tak perlu ditawar. Kalau bisa mengasah perekonomian bersama masyarakat adat, mengapa masih berkompromi?