Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan mempertegas aturan ganti rugi konsumen oleh perusahaan jasa keuangan yang melakukan pelanggaran.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan atau RUU P2SK akan memperkuat perlindungan konsumen. Hal itu, antara lain, mewujud pada ketentuan ganti rugi kepada konsumen yang dirugikan oleh perusahaan jasa keuangan yang melakukan pelanggaran.
RUU P2SK Pasal 48 B bagian keempat soal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merevisi UU No 21/2011 tentang OJK. Pasal 48B Ayat 6 menyebutkan, saat OJK menyetujui permohonan penyelesaian pelanggaran dari konsumen, maka pihak terkait wajib melaksanakan kesepakatan, termasuk membayar ganti rugi. Selanjutnya, dalam Pasal 48B Ayat 8 ditegaskan ganti rugi itu merupakan hak dari pihak yang dirugikan dan bukan merupakan pendapatan OJK.
Kepala Departemen Perlindungan Konsumen OJK Agus Fajri Zam mengatakan, sejatinya aturan soal ganti rugi kepada konsumen oleh perusahaan jasa keuangan yang melakukan pelanggaran itu sudah diatur sebelumnya melalui berbagai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) terkait perlindungan konsumen.
Salah satunya adalah POJK teranyar mengenai perlindungan konsumen, yakni POJK No 6/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan yang dirilis April 2022 atau delapan bulan sebelum RUU P2SK disepakati untuk disahkan.
Ganti rugi itu merupakan hak dari pihak yang dirugikan dan bukan merupakan pendapatan OJK.
”Dengan disebutkan di UU, ketentuan mengenai ganti rugi ini semakin kuat. Ini memberikan penguatan perlindungan konsumen sektor jasa keuangan,” ujar Agus dalam jumpa pers bertajuk ”Mekanisme Penanganan Pengaduan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan”, di Jakarta, Senin (26/12/2022).
Kendati demikian, proses ganti rugi ini perlu ditelaah dengan saksama agar memberikan rasa adil bagi semua pihak. Sebab, selama ini ada saja konsumen yang tidak beritikad baik dan sengaja menuntut perusahaan keuangan, padahal perusahaan itu tidak melanggar ketentuan.
Dihubungi terpisah, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, ketentuan baru ini sangat positif dan antisipatif. Ketentuan ini memberikan ruang perlindungan konsumen agar tidak dirugikan secara finansial jika perusahaan keuangan melakukan pelanggaran.
Dalam berbagai pengaduan yang diterima, Tulus mengatakan, pihak perusahaan keuangan sering berdalih kasus tertentu adalah kesalahan konsumen. Padahal. setelah ditelusuri, ada kelemahan sistem teknologi informasi, misalnya.
”Selama ini pengelola jasa keuangan ogah memberikan ganti rugi kepada konsumen sekalipun kesalahan dan potensi kesalahan pada pihak jasa keuangan. OJK harus tegas dalam pengawasan dan memberikan sanksi,” ujar Tulus, Senin.
Sebelumnya, Kamis (15/12/2022), Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, RUU ini memperkuat perlindungan investor atau konsumen terhadap pelanggaran dan perbuatan tindak pidana perorangan dan korporasi sektor keuangan. RUU ini akan menyesuaikan pengaturan sanksi sesuai perkembangan, mengharmonisasikan penegakan hukum pada masing-masing industri sesuai karakteristiknya.
RUU ini memperkuat perlindungan investor atau konsumen terhadap pelanggaran dan perbuatan tindak pidana perorangan dan korporasi sektor keuangan.
”Dengan menekankan penggunaan sanksi pidana sebagai upaya terakhir atau ultimum remedium dan mengedepankan prinsip keadilan restoratif termasuk dengan mengupayakan pengembalian kerugian dan keuntungan tidak sah atau mekanisme disgorgement,” ujar Sri Mulyani.
Mengutip statistik layanan konsumen OJK, total aduan dan pertanyaan dari masyarakat yang masuk dalam Aplikasi Portal Perlindungan Konsumen (APPK) sejak 1 Januari 2022 sampai 16 Desember 2022 mencapai 304.890. Dari jumlah itu, 269.509 masukan atau 88,40 persen berupa pertanyaan, 21.293 masukan atau 6,98 persen berupa permohonan informasi, dan 14.088 masukan atau 4,62 persen berupa pengaduan.
”Begitu banyak suara dan aspirasi dari konsumen. Rupanya setelah kita baca dan respons, itu kebanyakan berupa pertanyaan,” ujar Agus.
Dari 14.088 pengaduan itu, 13.998 di antaranya adalah pengaduan terindikasi sengketa. Adapun 90 lainnya terindikasi pelanggaran. Dari jumlah sengketa tersebut, 90,58 persen telah terselesaikan, menyisakan 9,42 persen lainnya dalam proses. Adapun dari 90 pelanggaran itu telah terselesaikan 58 dan 32 lainnya dalam proses.
Yang dimaksud dengan sengketa adalah adanya ketidaksepahaman antara konsumen dengan perusahaan jasa keuangan mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak. Sedangkan pelanggaran adalah tindakan perusahaan jasa keuangan yang menyalahi ketentuan.