Harmonisasi Program Pensiun Dinilai Mampu Tingkatkan Perlindungan di Hari Tua
Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan yang telah disahkan 15 Desember 2022 membuka ruang bagi pemerintah untuk mengharmonisasikan seluruh program pensiun, termasuk jaminan hari tua dan jaminan pensiun.
Oleh
MEDIANA
·5 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Karyawan beristirahat pada jam makan siang di Taman Bakrie, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa (3/9/2019). Taman seluas 2.800 meter persegi yang dikelilingi gedung perkantoran tersebut menjadi jujugan para pekerja kantoran saat istirahat siang.
JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan yang telah disahkan 15 Desember 2022 membuka ruang bagi pemerintah untuk mengharmonisasikan seluruh program pensiun, termasuk jaminan sosial hari tua dan jaminan sosial pensiun. Harmonisasi tersebut, jika jadi diterapkan, diperkirakan akan mampu meningkatkan perlindungan pekerja di hari tua dan menata kembali sistem jaminan sosial nasional untuk menguatkan sektor keuangan.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar menyampaikan hal itu di Jakarta, Minggu (25/12/2022). Pihaknya menilai, melalui hadirnya Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), pemerintah semakin menyadari bahwa pekerja merupakan subyek pembangunan yang berperan penting dalam pengembangan dan penguatan sistem keuangan melalui program jaminan sosial.
“Adanya ketentuan harmonisasi seluruh program pensiun di UU P2SK, kami menilai hal itu bisa membuka ruang bagi peserta jaminan sosial ketenagakerjaan yang bukan penerima upah atau BPU ikut jaminan sosial pensiun,” ujar dia.
Alasan Timboel, pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) akan jadi peserta BPU. Mereka tetap berhak melanjutkan iuran jaminan sosial pensiun untuk memenuhi syarat 15 tahun iuran. Di luar itu sudah ada sekitar 80 juta pekerja informal yang memang masuk kategori BPU. Mereka pun berhak memiliki jaminan sosial pensiun.
Pasal 189 Ayat (1) UU P2SK menyatakan, pemerintah mengharmonisasikan seluruh program pensiun sebagai upaya peningkatan perlindungan hari tua dan memajukan kesejahteraan umum. Sesuai Pasal 189 Ayat (2), harmonisasi itu termasuk pengaturan program pensiun yang bersifat wajib. Lalu, dalam Pasal 189 Ayat (3) dijelaskan bahwa program pensiun yang bersifat wajib mencakup program jaminan hari tua (JHT) dan jaminan pensiun yang merupakan bagian dari sistem jaminan sosial nasional.
Kemudian, Pasal 189 Ayat (4) UU P2SK menyebutkan, selain program JHT dan jaminan pensiun, pemerintah dapat melaksanakan program pensiun tambahan yang bersifat wajib yang diselenggarakan secara kompetitif bagi pekerja dengan penghasilan tertentu dalam rangka mengharmonisasikan seluruh program pensiun sebagai upaya perlindungan hari tua dan memajukan kesejahteraan umum.
Ketentuan lebih lanjut mengenai harmonisasi seluruh program pensiun, oleh Pasal 189 Ayat (6) UU P2SK disebut akan diatur dalam peraturan pemerintah (PP) setelah mendapat persetujuan dari DPR.
“Menurut kami, jaminan sosial pensiun tambahan bisa diperuntukkan bagi pekerja yang memiliki upah besar. Perusahaan menyertakan karyawannya ke program dana pensiun biasa (bukan jaminan sosial pensiun) itu tidak wajib. Jika jaminan sosial pensiun tambahan diwajibkan, sesuai amanat UU P2SK, dugaan kami perusahaan mungkin akan meninggalkan program dana pensiun yang mereka ikuti di luar Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan,” kata Timboel.
Dia menambahkan, kepesertaan pekerja penerima upah (PPU) di jaminan sosial pensiun masih berkisar 13,4 juta orang. Sementara jumlah pekerja formal yang dikategorikan PPU berkisar lebih dari 50 juta orang. Dugaannya, pengawasan dan penegakan hukum kepesertaan di program jaminan sosial itu relatif masih rendah. Selain itu, perusahaan skala mikro — kecil tidak diwajibkan mengikutsertakan pekerjanya ke jaminan sosial pensiun.
Seperti diketahui, berbeda dengan program BPJS Ketenagakerjaan lainnya yang telah beroperasi sejak tahun 2014, program jaminan sosial pensiun baru mulai diterapkan pada 1 Juli 2015. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun, salah satu sasaran peserta program adalah pekerja yang bekerja pada perusahaan dan pekerja pada orang perseorangan.
Iuran program jaminan pensiun sebesar 3 persen dari upah sebulan. Porsi ini dibagi menjadi 2 persen ditanggung perusahaan/pemberi kerja dan 1 persen ditanggung oleh pekerja.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Sejumlah pekerja proyek sibuk melihat gawai masing-masing saat jam isitirahat makan siang di salah satu lokasi pembangunan gedung bertingkat di Jakarta, Kamis (17/2/2022).
Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Aloysius Budi Santoso, saat dihubungi, mengatakan, pihaknya belum membaca detail keseluruhan isi UU P2SK. Meski demikian, munculnya substansi mengenai jaminan sosial pensiun tambahan dinilai tidak urgen.
“Pada saat pembahasan Rancangan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional) dulu, kami sempat bertanya-tanya mengapa harus ada dua perlindungan bagi pekerja saat usia tua, yaitu JHT dan jaminan sosial pensiun. Apakah penerapan kedua program itu tidak akan saling tumpang tindih? Apalagi, bagi sebagian perusahaan telah mengikutsertakan karyawannya ke program dana pensiun lembaga keuangan (DPLK)/dana pensiun pemberi kerja (DPKK),” ujar dia.
Aloysius memandang, jika ketentuan Pasal 189 Ayat (4) UU P2SK jadi diterapkan, baik pengusaha maupun pekerja akan mendapat tambahan beban iuran. Dari sisi perusahaan, dia memperkirakan besaran porsi ongkos yang harus dikeluarkan untuk aneka iuran, termasuk iuran jaminan sosial, telah mencapai sekitar 15 persen.
Jika ketentuan Pasal 189 Ayat (4) UU P2SK jadi diterapkan, baik pengusaha maupun pekerja akan mendapat tambahan beban iuran.
Sementara itu, dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, M Hadi Subhan, berpendapat, ketentuan harmonisasi seluruh program pensiun sesuai yang disebutkan di Pasal 189 Ayat (1) UU P2SK memberikan peluang penyatuan JHT dan jaminan pensiun. Tidak lagi terpisah. Jika ketentuan ini jadi dilakukan, konsekuensinya adalah meringankan beban pengusaha dalam ikut membayar premi/iuran.
“Konsekuensi bagi pekerja yaitu mereka berpotensi akan mendapatkan manfaat dari satu program. Selama ini, karyawan yang terdaftar sebagai peserta di BPJS Ketenagakerjaan kan mendapatkan manfaat yang ditawarkan dari JHT dan jaminan sosial pensiun,” kata Hadi.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Korupsi yang masih merajalela di negeri ini membuat prihatin masyarakat yang diwujudkan melalui pesan kritik sosial seperti terlihat di Sudimara, Ciledug, Tangerang, Banten, Jumat (23/12/2022).
JHT dan jaminan sosial pensiun memiliki perbedaan dari bentuk manfaat. Bentuk manfaat JHT berupa uang tunai yang besarnya adalah akumulasi seluruh iuran yang telah dibayarkan ditambah dengan hasil pengembangannya. Sementara bentuk manfaat jaminan sosial pensiun berupa uang tunai yang dibayarkan setiap bulan dan atau sekaligus apabila peserta memasuki usia pensiun, cacat total tetap atau meninggal dunia.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Chairul Fadhly Harahap mengatakan, sepanjang belum keluar peraturan baru, peraturan lama mengenai implementasi JHT atau jaminan sosial pensiun tetap berlaku. Sebagai contoh, Permenaker Nomor 2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT. Dalam Permenaker ini, pencairan manfaat JHT tidak perlu menunggu saat usia pekerja peserta jaminan sosial ketenagakerjaan mencapai 56 tahun.
Sementara itu, Deputi Direktur Bidang Humas dan Antar Lembaga BPJS Ketenagakerjaan Oni Marbun, saat dikonfirmasi, hanya mengatakan masih menunggu koordinasi pihak terkait.