Kapasitas Penyerapan Bauksit di Dalam Negeri Perlu Dimitigasi
Pelaku usaha memandang perlu adanya mitigasi terkait kesiapan penyerapan bijih bauksit untuk diolah di dalam negeri serta kebutuhan pendanaan untuk pembangunan smelter.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kendati sesuai dengan aturan yang berlaku, penerapan larangan ekspor bijih bauksit pada Juni 2023 berpotensi membuat sekitar 40 juta ton tak bisa diserap fasilitas pemurnian atau smelter. Kalangan pengusaha berharap peta jalan hilirisasi bauksit dikaji ulang karena memerlukan waktu. Salah satu yang perlu didorong, pembentukan konsorsium.
Pelaksana Harian Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) Ronald Sulistyanto, saat dihubungi Kamis (22/12/2022) mengatakan, penghentian ekspor bauksit per Juni 2023 bukan hal yang mengagetkan. Pasalnya, itulah amanah Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009, yang diubah dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Namun, ada persoalan terkait kesiapan industri. Ronald menjelaskan, berdasar pengamatan APB3I, saat ini ada tiga smelter yang beroperasi, terdiri dari dua Smelter Grade Alumina (SGA) dan satu Chemical Grade Alumina (CGA).
Masing-masing SGA, dengan output 2 juta ton alumina per tahun, diperlukan pasokan sekitar 6 juta ton bauksit. Sementara, CGA memerlukan sekitar 1-2 juta ton bauksit karena output yang dihasilkan relatif kecil dibandingkan dengan SGA, yakn sekitar 300.000 ton per tahun. Dengan demikian, total berkisar 13-14 juta bauksit yang diserap.
Adapun total produksi bauksit sekitar 56 juta ton. Ini dihitung berdasarkan 28 perusahaan yang memegang izin usaha pertambangan (IUP) serta memiliki Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB), dengan rata-rata produksi 2 juta ton pada setiap perusahaan. Artinya, kata Ronald, ada sisa sekitar 40 juta ton bauksit yang berpotensi tak bisa diserap saat larangan ekspor berlaku.
Penghentian ekspor bauksit per Juni 2023 bukan hal yang mengagetkan. Pasalnya, itulah amanah Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009, yang diubah dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Menurutnya, pengusaha tidak akan merengek atau cengeng dengan situasi itu. "Akan tetapi, perlu ada kejelasan seperti apa nanti saat produksinya ada, tetapi tidak bisa dijual. Apakah dimusnahkan? Jika itu, kan berarti perusahaan ditutup, sedangkan kami sudah memperkerjakan banyak orang. Akan timbul lagi masalah-masalah lain," kata Ronald.
Selain perihal potensi bauksit yang tidak terserap, imbuh Ronald, penerapan larangan ekspor bijih bauksit pada Juni 2023 juga bisa memengaruhi harga jual bauksit ke smelter. Hukum suplai dan permintaan akan berlaku. Ketimbang tidak dapat dijual, bauksit bisa dibeli dengan harga sangat murah. Menurutnya, hal itu perlu diantisipasi.
Ia menilai, peta jalan hilirisasi bauksit perlu dikaji ulang. Apalagi, dibutuhkan pendanaan yang sangat besar untuk membangun smelter. Ia mencontohkan, untuk SGA dengan output 2 juta ton per tahun, capital expenditure (capex) yang diperlukan ialah 1,2 miliar dollar AS. Di sisi lain, banyak bank menganggap industri itu tak feasible sehingga kian menyulitkan.
Jika mendorong satu perusahaan membangun smelter dirasa sulit, penggabungan bisa menjadi opsi. "Kenapa tidak dipikirkan konsorsium perusahaan? Misalkan ada 28 perusahaan (tambang bauksit) diejawantahkan menjadi 5-6 konsorsium, dengan difasilitasi pemerintah," ujar dia.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menuturkan, saat ini sudah ada empat fasilitas smelter bauksit di dalam negeri dengan kapasitas 4,3 juta ton alumina. Selain itu, masih ada pembangunan smelter bauksit dengan kapasitas input 27,41 juta ton, sedangkan kapasitas produksinya 4,98 juta ton alumina atau mendekati 5 juta ton. (Kompas, 22/12)
Berdasarkan Data Laporan Kinerja Kementerian ESDM 2021, bauksit yang ditambang pada 2021 ialah 21,5 juta ton. Sebanyak 3,19 juta atau 15 persen di antaranya diproses di dalam negeri.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin, saat dikonfirmasi melalui pesan singkat terkait kesiapan mitigasi jika produksi bauksit tidak terserap oleh smelter yang ada, maupun peta jalan hilirisasi, hanya menjawab singkat. "Besok pagi kami rapat dulu ya," ujarnya.
Berdasarkan Data Laporan Kinerja Kementerian ESDM 2021, bauksit yang ditambang pada 2021 ialah 21,5 juta ton. Sebanyak 3,19 juta atau 15 persen di antaranya diproses di dalam negeri. Angka itu di bawah target yang 18 persen, antara lain karena beberapa kendala dalam permintaan pasar global chemical alumina yang menurun, sehingga produksinya ikut menurun.
Dosen Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang, Rinal Khaidar Ali, dihubungi dari Jakarta, menilai serapan tetap bisa dilakukan sambil menunggu selesainya pembangunan sejumlah smelter. Akan tetapi, smelter yang sudah ada memang belum cukup, sehingga diperlukan pembangunan smelter-smelter lainnya.
"Namun, bisa dilakukan strategi seperti bagaimana proses produksinya dan disesuaikan dengan kapasitas tanurnya. Di samping itu, regulasi-regulasi akan diperlukan dalam mendukung proses pentanuran, juga dalam pembuatan smelter-smelter baru, ketika smelter yang tersedia saat ini tidak mencukupi untuk menyerap produksi bauksit," ujar Rinal.
Ia menilai, pemerintah pasti sudah memperhitungkan dengan matang kapasitas smelter yang ada sebelum mengeluarkan keputusan pelarangan ekspor bauksit pada Juni 2023. Terlebih, bauksit tak bisa ditimbun atau distok karena akan menyebabkan kerugian.
Menurut Rinal, dengan waktu 13 tahun sejak 2009, seharusnya perusahaan-perusahaan tambang bauksit sudah bisa memanfaatkan waktu tersebut.
"Pertanyaannya, apakah para pengusaha memerhatikannya sejak 2009? Sebenarnya, dalam membangun smelter tidak harus sendiri-sendiri, tetapi bisa joint smelter, misalnya lima perusahaan membentuk konsorsium. Bahkan, sebenarnya juga bisa disewakan. Jadi, salah besar jika ada yang mempertanyakan (kebijakan larangan ekspor bauksit) ini mendadak," kata Rinal.
Mengenai pasar aluminium, yang menjadi produk turunan akhir dari bauksit, Rinal menilai sangatlah terbuka. Ia mencontohkan, rangka bangunan yang banyak menggunakan baja ringan, yang terdapat campuran aluminiumnya. Begitu juga untuk atap, yang semakin banyak digunakan baja ringan. Oleh karena itu, penyerapan pasar tidak perlu dikhawatirkan. Namun, di sisi lain, hal itu juga perlu disiapkan.