Nuklir menjadi opsi terakhir untuk sumber energi pembangkit listrik di Indonesia. Namun, ada isu keamanan dan keselamatan pemakaian nuklir sebagai sumber energi pembangkit listrik.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN (HAS)
Seorang pranata nuklir dari Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) melakukan pengujian kepadatan serbuk pelet dari uranium untuk dijadikan bahan bakar reaktor nuklir di Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir, Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Serpong, Tangerang Selatan, Rabu (11/9/2019). Batan terus mengembangkan aplikasi teknologi nuklir di bidang pangan, pertanian, kesehatan, dan industri di Tanah Air. Lebih dari 60 tahun, pemanfaatan tenaga atom dan nuklir dikenalkan di Indonesia. Namun, ketakutan dan kesalahpahaman tentang nuklir masih tinggi. Akibatnya, pemanfaatan nuklir untuk kesejahteraan tak optimal.
Dalam beberapa pekan terakhir, wacana untuk memanfaatkan tenaga nuklir sebagai sumber tenaga pembangkit listrik di Indonesia sedang mengemuka. Hal ini menjadi pilihan karena nuklir dianggap sebagai sumber energi primer yang rendah emisi, sementara Indonesia harus menghadapi tekanan untuk tidak terus-menerus bergantung pada batubara.
Dengan sumber daya batubara yang dimiliki, Indonesia bisa disebut amat bergantung pada komoditas yang satu ini. Tak hanya urusan menghasilkan energi listrik, batubara, bersama minyak kelapa sawit mentah (CPO), bahkan menjadi juru selamat neraca perdagangan Indonesia. Berkat harga batubara dan CPO yang tinggi, Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan berbulan-bulan lamanya.
Sejak beberapa negara mulai pulih dari pandemi Covid-19, terutama mulai awal 2021, harga batubara terus meroket. Harga batubara sempat melampaui harga 400 dollar AS per ton, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya di negeri ini. Apabila membuka kembali catatan pada 2016, harga batubara Indonesia sempat terpuruk di kisaran 60 dollar AS per ton. Padahal, waktu itu Indonesia sedang agresif menggarap megaproyek pembangkit listrik 35.000 megawatt yang 50 persennya menggunakan tenaga uap hasil pembakaran batubara (pembangkit listrik tenaga uap/PLTU).
Situasi berbalik saat ekonomi global mencoba pulih dari pandemi. Perang Rusia-Ukraina pada akhir Februari 2022 mempercepat kenaikan harga batubara. Rusia, yang merupakan produsen utama gas bumi dan minyak mentah, menghentikan pasokannya ke sejumlah negara Eropa akibat pengenaan sanksi. Sejumlah negara beralih ke batubara untuk kebutuhan energi pembangkit listrik yang menjadi sumber pemanas selama musim dingin.
Pada saat yang sama, seruan untuk meninggalkan batubara yang dianggap sumber energi kotor penghasil emisi gas rumah kaca menguat. Indonesia, sebagai pengekspor batubara terbanyak di dunia, turut menjadi sorotan. Transisi energi, penghentian operasi PLTU lebih dini, pemanasan global, atau perubahan iklim adalah slogan-slogan yang terus disuarakan dalam pertemuan internasional, seperti di COP-26 pada 2021 di Glasgow, Skotlandia, ataupun di presidensi G-20 Indonesia.
Lantas, muncullah wacana pemanfaatan nuklir. Pemerintah, lewat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, setuju untuk segera membentuk majelis atau komite pelaksana program energi nuklir (Nuclear Energy Program Implementation Organization/NEPIO). Payung hukum pembentukan NEPIO sedang dimatangkan.
Apakah Indonesia benar-benar akan menggunakan tenaga nuklir untuk pembangkit listrik? Secara legal, pemerintah tidak mengharamkan penggunaan tenaga nuklir. Penggunaan nuklir diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Dalam Pasal 13 Ayat (4) disebutkan, pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) ditetapkan pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR. Selanjutnya, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, penjelasan Pasal 11 Ayat (3) menyebutkan, nuklir dipertimbangkan sebagai pilihan terakhir.
Salah satu sisi ruangan mesin turbin pada PLTN Novovoronezh Unit 6 berkapasitas 1.200 megawatt. PLTN tersebut berlokasi di Voronezh, 2 jam penerbangan ke arah tenggara dari Moskwa, dan dioperasikan oleh Rosatom, perusahaan listrik Rusia.
Namun, masalah nuklir di Indonesia menyangkut stigma. Peristiwa rusaknya PLTN Fukushima di Jepang akibat hantaman tsunami pada 2011 adalah salah satu kekhawatiran yang muncul dalam isu PLTN. Lebih jauh lagi, pada 1986 terjadi ledakan di reaktor PLTN Chernobyl milik Uni Soviet. Kejadian itu disebut sebagai bencana nuklir terburuk di dunia lantaran radiasinya 100 kali lebih besar dibandingkan dengan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.
Selama stigma menyangkut keamanan nuklir belum tuntas, penolakan PLTN akan terus bermunculan di masyarakat. Selain itu, PLTN tak bisa serta-merta menjadi solusi untuk menaikkan bauran energi bersih Indonesia. Sebab, membangun PLTN butuh waktu sedikitnya 10 tahun dengan investasi yang 3-4 kali lebih mahal dari PLTU.
Apakah nuklir akan menjadi harapan baru atau masalah baru di Indonesia? Kondisinya belum terang benar di tengah hasrat menggebu pemakaian nuklir.