Biaya produksi yang meningkat diperkirakan bakal mulai ditransmisikan ke konsumen secara signifikan mulai tahun depan sehingga menambah risiko inflasi.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Pengunjung berbelanja bahan makanan di pasar ritel modern di Kota Tangerang, Banten, Kamis (1/12/2022). Badan Pusat Statistik mencatat inflasi per November 2022 sebesar 5,42 persen secara tahunan atau turun dari posisi Oktober 2022 sebesar 5,71 persen.
JAKARTA, KOMPAS — Tekanan inflasi RI diperkirakan masih akan berlanjut dan mencapai puncaknya pada tahun 2023. Meski inflasi akibat kenaikan harga komoditas bakal lebih rendah, ada potensi terjadinya kenaikan harga sejumlah barang dan jasa di pasaran akibat transmisi beban biaya produksi yang selama ini tertunda.
Sejak semester I-2022, kenaikan Indeks Harga Produsen (IHP) sebenarnya sudah mulai terjadi. Namun, transmisinya ke Indeks Harga Konsumen (IHK) belum signifikan. IHP yang tidak sejalan dengan IHK itu membuat tingkat inflasi di Indonesia masih relatif terkendali meski tetap meningkat.
Hal itu terjadi karena beban kenaikan biaya produksi di level produsen selama beberapa bulan terakhir belum disalurkan secara signifikan ke level konsumen. Industri masih menahan kenaikan harga barang dan jasa di pasaran. Pada triwulan III-2022, selisih inflasi (inflation gap) antara produsen dan konsumen mencapai 5,9 persen dari 4,8 persen pada periode yang sama tahun 2021.
Sebagai gambaran, per triwulan III-2022, IHP industri minuman dan rokok telah mencapai 170,57, industri makanan lainnya 149,73, dan industri pengolahan dan pengawetan daging, ikan, buah, sayur, minyak dan lemak 199,78. Sementara itu, IHK di sektor makanan minuman dan tembakau pada periode yang sama tercatat hanya 117,14.
Laporan Indonesia Economics Prospect (IEP) Desember 2022 yang diluncurkan Bank Dunia pekan lalu menyoroti, tekanan yang selama ini terjadi di sisi suplai itu akan berdampak pada inflasi RI. Biaya produksi yang meningkat akan mulai ditransmisikan ke konsumen secara signifikan mulai tahun depan sehingga menambah risiko inflasi.
Survei Bank Dunia menunjukkan, margin keuntungan produsen menurun cukup signifikan di hampir semua sektor dalam satu tahun terakhir sampai Desember 2022. Data serupa juga ditunjukkan dalam Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) oleh BI pada triwulan III-2022.
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Pengemudi bajaj mencari penumpang di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (6/12/2022). Badan Pusat Statistik mencatat, sektor transportasi mengalami inflasi tahunan sebesar 15,45 persen pada November 2022. Angka ini menjadi yang tertinggi dibandingkan kelompok pengeluaran lainnya. Kenaikan harga bahan bakar minyak pada awal September 2022 turut memicu tingginya laju inflasi di sektor transportasi.
Inflasi Indonesia pun diperkirakan mencapai puncaknya pada tahun 2023 dengan rata-rata 4,5 persen, naik dari proyeksi rata-rata inflasi tahun 2022 sebesar 4,2 persen.
Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste Habib Rab dalam paparan laporan IEP mengatakan, Indonesia memiliki inflasi lebih rendah dari negara selevel lainnya di ASEAN. Inflasi RI juga diperkirakan akan kembali menurun dalam jangka waktu menengah atau 2-3 tahun lagi.
”Namun, ada risiko besar yang harus diwaspadai. Bagaimana problem ini ditangani akan memiliki implikasi signifikan pada kondisi dunia usaha dan konsumsi rumah tangga Indonesia tahun depan,” katanya.
Survei Bank Dunia menunjukkan, margin keuntungan produsen menurun cukup signifikan di hampir semua sektor dalam satu tahun terakhir sampai Desember 2022.
Sulit dihindari
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Industri Johnny Darmawan, Minggu (18/12/2022), mengatakan, seiring dengan gejolak ekonomi global yang berlanjut, tekanan pada sektor swasta dalam negeri sulit dihindari tahun depan. Apalagi, mengingat dua pertiga bahan baku dan penolong industri RI masih berasal dari impor.
Menurut Johnny, selama ini pelaku industri masih sanggup menekan margin profit dan menahan kenaikan harga karena masih mendapat banyak insentif pajak dan stimulus dari pemerintah. ”Kalau tahun depan gejolak berlanjut dan insentif dikurangi, bisa jadi harga-harga mulai naik,” katanya saat dihubungi.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Bahan pangan seperti beras dan telur ayam ras menjadi komoditas penyumbang inflasi tertinggi selain bensin, bahan bakar rumah tangga, rokok dan tarif angkutan udara.
Apalagi, dengan tekanan yang lebih berat pada sektor riil seperti tren kenaikan suku bunga dan pelemahan rupiah terhadap dollar AS, sektor swasta diperkirakan akan sulit jika harus terus menahan kenaikan harga barang dan memangkas margin profit. Ditambah, kondisi keuangan negara sudah tidak sekuat sebelumnya untuk meredam guncangan di sektor riil dengan insentif.
”Ini yang menjadi pertanyaan kami juga. Dengan kondisi seperti itu, apakah pemerintah bisa terus-terusan memberi insentif sampai krisis ekonomi dunia berakhir?” ujar Johnny.
Menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal, berdasarkan survei ke industri kecil menengah dan nelayan pada November-Desember 2022, sejak harga BBM bersubsidi naik di September 2022, ongkos produksi meningkat, tetapi para produsen kecil itu tidak berani menaikkan harga di pasar.
Selama ini pelaku industri masih sanggup menekan margin profit dan menahan kenaikan harga karena masih mendapat banyak insentif pajak dan stimulus dari pemerintah.
Hal itu karena daya beli konsumen mulai menurun dan permintaan lebih terbatas. ”Di beberapa daerah, mereka bahkan sampai menurunkan harga karena demand turun. Bagi nelayan, permintaan mereka turun karena masyarakat beralih ke lauk yang lebih murah seperti telur. Industri tempe rumahan bahkan memilih langsung berhenti produksi,” ujarnya.
Berbeda dengan Bank Dunia, Faisal tidak melihat adanya potensi kenaikan harga barang dan jasa yang signifikan di pasaran pada tahun depan. Core Indonesia pun memperkirakan tingkat inflasi tahun 2023 tidak terlalu tinggi, yakni berada di kisaran 3 persen, mendekati kondisi sebelum pandemi.
Namun, ia mengingatkan, itu bukan hal yang positif mengingat inflasi yang lebih rendah itu bisa terjadi akibat menurunnya daya beli dan permintaan, yang membuat produsen sulit menaikkan harga di pasar.
”Ini bukan berarti hal yang bagus karena inflasi bisa dibaca dari dua sisi. Inflasi yang tidak terlalu tinggi tahun depan bukan karena tekanan harga yang berkurang, melainkan lebih karena daya beli masyarakat sudah kena dan dunia usaha semakin tertekan,” katanya.
Dampaknya akan terlihat pada kondisi sektor riil yang melemah, daya beli yang menurun, serta ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pemangkasan upah yang lebih masif.
”Itu risiko lain yang harus kita antisipasi tahun depan. Sebisa mungkin pemerintah harus konsisten untuk tidak menaikkan harga yang diatur pemerintah (administered price) agar tidak menambah risiko inflasi lagi dan kembali memberikan insentif produktif bagi sektor riil, khususnya kalangan UMKM,” ujar Faisal.