Menjual produk langsung melalui jaringan media sosial dan pesan instan atau ”social commerce” tetap diminati konsumen.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menjual produk langsung melalui jaringan media sosial dan pesan instan atau social commerce akan tetap dianggap sebagai salah satu upaya terbaik mendorong lebih banyak transaksi perdagangan barang dan jasa. Aneka sektor industri baik retail maupun nonretail telah memanfaatkan social commerce.
Berdasarkan riset yang dilakukan Cube Asia (perusahaan riset pasar asal Singapura) bertajuk ”Social Commerce in Southeast Asia 2022 (Desember, 2022)”, perdagangan secara elektronik atau e-dagang di media sosial mencapai 34 miliar dollar AS pada 2022 di Asia Tenggara. Nilai ini dianggap besar. Cube Asia menduga faktor yang sangat memengaruhi adalah aspek sosial dari hubungan manusia, seperti komunikasi langsung, keaslian, dan kepercayaan.
Penjualan produk langsung melalui mekanisme percakapan di media sosial ataupun aplikasi pesan instan atau conversational commerce mencapai 12 miliar dollar AS pada 2022 di Asia Tenggara. Volume transaksi dari conversational commerce yang relatif lebih besar terjadi melalui aplikasi percakapan. Konsumen di Asia Tenggara sering kali mulai percakapan di aplikasi pesan instan dengan staf toko, lalu mereka menyelesaikan pembelian di toko fisik.
Merek-merek mewah, seperti Dior dan Louis Vuitton, telah menggunakan aplikasi perpesanan untuk klien selama bertahun-tahun. Mereka tetap ingin menyematkan pengalaman yang sama sampai tahun-tahun mendatang. Di luar itu, penjual skala mikro juga menawarkan penjualan berbasis aplikasi pesan instan.
Dalam laporan yang sama, Cube Asia menyebutkan, dari ratusan merek kecantikan, 44 persen di antaranya hadir di TikTok. Hal ini sejalan dengan konten kecantikan yang masuk kategori terpopuler di TikTok.
Country Manager Infobip Indonesia (penyedia perangkat lunak untuk komunikasi berbasis komputasi awan) Rifa Haryadi, Jumat (16/12/2022), di Jakarta, berpendapat, digitalisasi pemasaran dan penjualan akan tetap berlangsung meskipun kini pembatasan sosial sudah longgar. Konsumen yang telah terbiasa dengan internet akan tetap menggunakan aplikasi-aplikasi daring untuk beraktivitas sehari-hari.
Conversational commerce memberikan pengalaman personal. Tidak heran jika sejumlah pelaku retail daring yang sudah punya toko di lokapasar akhirnya tetap membuka layanan percakapan di media sosial dan aplikasi pesan instan. Agar pelayanan berlangsung cepat dan efisien, pengusaha membutuhkan otomasi dalam memproses percakapan.
”Maka, sudah banyak pelaku industri menggunakan robot percakapan (chatbot) untuk membantu mempermudah interaksi. Bukan hanya pelaku usaha retail. Solusi kami sudah dipakai oleh perusahaan finansial untuk akuisisi pelanggan baru ataupun sekadar kirim polis,” kata Rifa.
Peneliti di Center of Innovation and Digital Economy Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Izzudin Al Farras Adha, berpendapat, perdagangan barang dan jasa secara daring akan terus tumbuh di tengah aktivitas belanja luring yang kembali bergairah usai pandemi Covid-19. Dengan pertumbuhan e-dagang yang berpotensi lebih terbatas apabila dibandingkan pada saat masa pembatasan sosial, jenama barang dan jasa perlu berupaya mencari pelanggan baru.
”Jenama perlu terus menggaet konsumen di kota-kota kecil,” ujarnya. Berbagai cara mendekatkan diri bisa dilakukan, seperti menyediakan fitur percakapan yang mudah dan cepat diakses.
Senior Vice President Sprinklr untuk Asia Pasifik dan Jepang (perusahaan penyedia teknologi analisis media sosial) Florian Zenner, dalam siaran pers, mengatakan, pandemi mengubah perilaku konsumen selamanya, mempercepat adopsi cepat produk dan layanan digital, serta meningkatkan pentingnya pelayanan secara daring. Di pasar Singapura, misalnya, masih ada 45 persen pengguna internet yang berbelanja melalui aplikasi pesan instan, seperti Whatsapp dan Facebook Messenger.