Pendapatan Ketika Orang Indonesia Pensiun Sangat Kurang
Masyarakat Indonesia memperkirakan mereka membutuhkan rata-rata penghasilan sebesar Rp 16,52 juta setiap bulan untuk menjaga gaya hidupnya yang nyaman di masa pensiun.
Oleh
ANASTASIA JOICE TAURIS SANTI
·3 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Agen penjualan reksa dana memberikan penjelasan kepada pengunjung dalam Pekan Reksa Dana Nasional yang berlangsung di Mal Central Park, Jakarta Barat, Kamis (18/10/2012). Kegiatan yang diikuti 45 manajer dan agen penjualan reksa dana ini bertujuan untuk sosialisasi sekaligus mengedukasi masyarakat sehingga tertarik untuk berinvestasi di reksa dana. Berdasarkan data Asosiasi Pengelola Reksa Dana Indonesia, jumlah dana kelolaan reksa dana sekitar Rp 175 triliun dengan jumlah investor sebanyak 161.000.
JAKARTA, KOMPAS — Survei yang dilakukan Manulife Investment Management menunjukkan pendapatan ketika pensiun pekerja Indonesia hanya mencakup 20 persen dari pendapatan saat ini atau bahkan lebih rendah. Salah satu penyebab kesenjangan tersebut adalah minimnya porsi aset yang diinvestasikan dibandingkan pendapatan saat ini. Padahal, aset yang diinvestasikan merupakan sumber penghasilan ketika pensiun.
Hasil survei juga mencatat, masyarakat Indonesia memperkirakan mereka membutuhkan rata-rata penghasilan sebesar Rp 16,52 juta setiap bulan untuk menjaga gaya hidupnya yang nyaman di masa pensiun. Angka ini sekitar 90 persen dari pendapatan rata-rata responden saat ini.
”Persiapan dana pensiun harus dilakukan sedini mungkin,” kata Head of Retirement Proposition, Strategy and Transformation Asia Retirement Manulife Investment Management Elvin Tharm dalam diskusi tentang pensiun, Kamis (15/12/2022), di Jakarta.
Tharm menambahkan, kesenjangan yang besar antara perkiraan pengeluaran di masa pensiun dan jumlah pendapatan pensiun yang mereka yakini sebenarnya dapat diatasi dengan status keuangan saat ini. Orang-orang di Indonesia, bahkan di seluruh kawasan Asia, sedang menghadapi situasi yang sulit dalam menjembatani kesenjangan ini. Laju inflasi, biaya kesehatan, dan kenaikan harga kebutuhan sehari-hari menyebabkan daya beli tabungan dan pendapatan akan terkikis.
Orang Indonesia juga masih senang menyimpan uang tunai. Sekitar 37 persen aset dialokasikan dalam bentuk uang tunai dan deposito. Sementara dana yang dialokasikan ke aset investasi, seperti reksa dana, saham, obligasi, exchange traded fund, dan real estat, hanya sekitar 29 persen. Selain itu, hanya 53 persen penduduk Indonesia yang terdaftar di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau mengambil program pensiun swasta.
Dalam kesempatan yang sama, Chief Economist Manulife Aset Manajemen Indonesia Katarina Setiawan mengingatkan, anak muda sebaiknya mulai berinvestasi untuk memutus generasi sandwich yang memiliki beban untuk membiayai dua generasi di atas dan di bawahnya. ”Dengan berinvestasi, kita tidak akan membebani anak kita dan memutus situasi generasi sandwich,” katanya.
Sebelum berinvestasi untuk persiapan dana pensiun, Katarina juga mengingatkan agar anak muda yang saat ini menjadi populasi terbesar di Indonesia mempersiapkan dahulu dana darurat.
Terkait dengan kecenderungan bank sentral Amerika Serikat, The Fed, yang masih menaikkan tingkat suku bunga, Katarina mencermati saat ini para investor cenderung berhati-hati. Ketika The Fed sudah selesai menaikkan tingkat suku bunga, investor akan kembali berinvestasi pada aset lebih berisiko, juga berinvestasi pada pasar berkembang seperti Indonesia.
KOMPAS/ADHITYA RAMADHAN
Pasien peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dari PNS, TNI, dan Polri mengantre di loket pendaftaran poliklinik Rumah Sakit M Yunus, Provinsi Bengkulu, Rabu (8/1). Belum banyak peserta BPJS Kesehatan dari PNS yang memahami betul mekanisme BPJS kesehatan.
Strategi investasi
Kenaikan inflasi dan tingkat suku bunga cenderung memengaruhi perilaku berinvestasi. Schroders Indonesia mengeluarkan laporan Schroders Global Investor Studi yang merupakan hasil survei dari 23.000 orang yang berinvestasi di 33 lokasi di seluruh dunia. Survei ini dilakukan pada 18 Februari hingga 7 April 2022. Ketika itu, prospek ekonomi sedang kurang jelas. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana masyarakat menghadapi situasi yang sulit seiring dengan kenaikan inflasi dan suku bunga.
Dari kajian tersebut didapatkan bahwa masyarakat sudah mengantisipasi tingkat pertumbuhan investasi mereka melambat, tetapi tetap berharap hasilnya dapat mengalahkan kinerja pada tahun sebelumnya. Ekspektasi pertumbuhan hasil investasi turun menjadi 0,06 persen dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata antara tahun 2017 hingga kini yang sebesar 0,23 persen.
Selain itu, masyarakat yang lebih memiliki pengetahuan tentang investasi bertindak cepat untuk mengubah strategi investasinya terkait kenaikan inflasi. Ada 55 persen responden yang telah mengubah strategi investasi mereka untuk menghadapi kenaikan inflasi.
Terkait dengan kenaikan suku bunga, para responden juga menghindari kelas aset yang memiliki resistensi rendah terhadap kenaikan tingkat suku bunga.
Ketika situasi ekonomi dianggap sulit, ada banyak responden yang beralih kepada para profesional untuk memandu mereka memahami kondisi ekonomi yang tidak pasti. Sebanyak 39 persen responden menghubungi penasihat keuangan. Dana investasi yang dikelola dengan strategi pengelolaan aktif menjadi lebih populer.