Setelah krisis keuangan Asia, keterbukaan perdagangan Indonesia berkurang lebih dari setengahnya. Rasio perdagangan RI terhadap PDB turun 72 persen pada tahun 2000 menjadi 33 persen pada tahun 2020.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sentilan dunia internasional terhadap kebijakan dagang RI berlanjut. Dalam laporan terbarunya, Bank Dunia mengkritisi keterbukaan perdagangan RI yang rendah dan terus menurun. Pemerintah pun diminta mengevaluasi beberapa kebijakan yang dianggap terlalu protektif yang bisa menghambat potensi pertumbuhan dalam jangka panjang.
Laporan ”Indonesia Economics Prospects: Trade for Growth and Economic Transformation” yang diluncurkan Bank Dunia, Kamis (15/12/2022), menunjukkan, setelah krisis keuangan Asia 1997, keterbukaan perdagangan (trade openness) Indonesia berkurang lebih dari setengahnya, termasuk yang terendah dan stagnan dibandingkan negara berkembang lain di ASEAN.
Rasio perdagangan terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia turun dari 72 persen pada 2000 menjadi 33 persen pada 2020. Seiring dengan menurunnya keterbukaan dagang itu, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB ikut turun dari 31 persen pada 2002 menjadi 19 persen pada 2021, mendorong gejala deindustrialisasi dini.
Meski tidak sepenuhnya tertutup pada rantai perdagangan internasional, Indonesia dinilai masih terlalu bergantung pada siklus perdagangan komoditas yang tidak bernilai tambah dan rentan dipengaruhi ketidakstabilan harga dunia.
Kepala Ekonom Bank Dunia Habib Rab mengatakan, dalam jangka pendek, keterbukaan dagang yang rendah memang bisa melindungi Indonesia saat ada guncangan eksternal, termasuk di tengah pelambatan ekonomi global saat ini. Proyeksi Bank Dunia, RI bisa mempertahankan momentum pemulihan selama tiga tahun ke depan meski akan sedikit melambat.
Namun, hal itu perlu diantisipasi secara jangka panjang karena bisa mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia. ”Potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan bisa lebih baik dengan keterbukaan dagang yang lebih ditingkatkan,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis.
Menurut Ekonom Senior Bank Dunia Csilla Lakatos, tren meningkatnya kebijakan hambatan nontarif (non-tariff measures/NTM) membuat rezim kebijakan perdagangan Indonesia kurang transparan. Terlepas dari kemajuan baru-baru ini, sejumlah langkah proteksi dagang itu dinilai telah membebani dunia usaha di dalam negeri dan merugikan negara lain di kawasan.
Ia mencontohkan kebijakan dagang yang restriktif di sektor pangan dalam bentuk persyaratan perizinan impor, pembatasan pelabuhan masuk, dan monopoli impor, yang menyebabkan harga pangan tetap tinggi.
Menghambat
Csilla juga menyoroti kebijakan substitusi impor sebesar 35 persen yang dinilainya bisa menghambat investasi dan perdagangan manufaktur, mengingat ketergantungan Indonesia masih tinggi terhadap impor bahan baku, barang modal, dan mesin.
”Hampir dua pertiga ekspor Indonesia itu dihasilkan oleh eksportir yang juga importir. Ini menunjukkan pentingnya impor untuk daya saing ekspor. Eksportir yang juga importir terbukti lebih produktif dan mengekspor lebih banyak dibandingkan eksportir non-importir,” kata Csilla.
Bank Dunia pun merekomendasikan Pemerintah RI untuk mengkaji ulang dan menghapus beberapa kebijakan nontarif yang tidak perlu, seperti melonggarkan persyaratan kandungan lokal (TKDN), perizinan impor, sertifikasi wajib SNI, serta pembatasan pelabuhan masuk.
Menurut Csilla, reformasi nontarif itu bisa meningkatkan PDB sampai 5 persen dan meningkatkan ekspor industri manufaktur bernilai tambah tinggi, seperti produk elektronik, farmasi, dan alat transportasi. ”Reformasi itu juga bisa mendorong daya tahan Indonesia di pasar global, termasuk kalau terjadi guncangan eksternal lain di kemudian hari,” ujarnya.
Berhati-hati
Kepala Badan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan Kasan Muhri mengatakan, pemerintah akan menyikapi rekomendasi itu dengan berhati-hati. Sebab, langkah pelindungan tertentu, baik tarif maupun nontarif, tetap dibutuhkan untuk mengamankan kebutuhan domestik dan menjaga daya saing industri, terutama di tengah pelambatan ekonomi dunia saat ini.
Di sektor tekstil, misalnya, lewat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176 Tahun 2022, pemerintah baru-baru ini memperpanjang penerapan bea masuk antidumping (BMAD) terhadap salah satu produk serat tekstil dari India, China, dan Taiwan sebagai upaya melindungi industri dalam negeri dari ”serbuan” produk impor. Pemerintah juga menerapkan kebijakan serupa lainnya untuk sektor hulu-hilir tekstil (Kompas, 15/12/2022).
”Kebijakan nontarif itu, kan, tidak semuanya jelek. Yang penting jangan sampai itu berubah menjadi hambatan dagang. Beberapa kebijakan yang sifatnya masih bisa kita manage, bisa kita evaluasi ulang, karena perlu diakui kita memang butuh impor untuk meningkatkan volume ekspor,” kata Kasan.
Di sisi lain, keterbukaan dagang RI yang rendah juga menjadi faktor ”penyelamat” Indonesia di kala ekonomi dunia melambat seperti sekarang.
”Bukan berarti kita mau mempertahankan keterbukaan dagang yang rendah. Kita tetap mau kontribusi dagang lebih besar, tapi kita tahu risikonya karena kalau ada guncangan global besar, impact-nya memang signifikan ke negara yang keterbukaan dagangnya juga besar,” ujarnya.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Industri Manufaktur Johnny Darmawan berharap pemerintah bisa mempercepat pembuatan neraca komoditas untuk menyusun pohon industri dalam negeri.
Dengan neraca itu, izin impor bahan baku bisa benar-benar diberikan kepada sektor yang memang belum mampu mencukupinya secara lokal. Dengan demikian, tidak perlu ada produsen yang dirugikan di hulu ataupun hilir.
”Sebenarnya kita butuh proteksi tertentu supaya negara ini tidak hanya jadi pasar bagi negara lain. Kita juga butuh pelindungan untuk konten lokal. Nah, kalau sudah ada neraca komoditas, otomatis kita bisa mendorong impor yang lebih tepat dan cepat,” kata Johnny.