Industri Padat Karya Berorientasi Ekspor Bakal Terdampak
Pelambatan ekonomi global yang diperkirakan terjadi tahun depan juga akan mengendurkan perdagangan internasional. Industri berorientasi ekspor pun bakal ikut melambat, terlebih industri padat karya.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Seorang pedagang menata pakaian di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat, Jumat (25/11/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Industri padat karya berorientasi ekspor perlu mewaspadai pelambatan ekonomi global di tahun depan. Pelambatan ekonomi global artinya permintaan dari negara tujuan ekspor menurun sehingga kinerja industri terkait juga menurun yang bisa berdampak pada pengurangan jumlah tenaga kerja.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) M Nawir Messi menjelaskan, pelambatan ekonomi global menurunkan perdagangan internasional, termasuk permintaan dari negara tujuan ekspor.
Mengutip data Dana Moneter Internasional (IMF), tahun depan pertumbuhan perdagangan di negara maju hanya 3,2 persen, sedangkan di negara pasar dan ekonomi berkembang sekitar 3,3 persen. Ini menurun dibandingkan tahun 2021 yang tumbuh lebih dari 10 persen dan tahun 2022 yang diperkirakan 3-4 persen. Pelambatan perdagangan negara maju tentu juga berdampak terhadap negara berkembang karena keduanya saling menciptakan pasokan dan permintaan.
Pelambatan ekonomi global ini pun menurunkan kinerja industri berorientasi ekspor. Dampaknya, industri tersebut merasionalisasi ongkos operasional yang berujung pada pengurangan jumlah tenaga kerja. Apalagi, pada industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dan industri alas kaki karena padat karya dan berorientasi ekspor.
”Industri padat karya berorientasi ekspor ini pasti terdampak. Selanjutnya perlu dihitung dan diperkirakan perusahaan dengan tujuan ekspor negara mana dan seberapa besar skalanya. Ini memengaruhi ketahanan mereka menghadapi penurunan ekspor,” ujar Nawir dalam diskusi INDEF School of Political Economy (ISPE) di Jakarta, Rabu (14/12/2022).
Masih dari data IMF, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat diproyeksikan hanya tumbuh 1 persen, Eropa sebesar 1,2 persen, dan China sebesar 4,6 persen. Negara-negara ini juga merupakan tujuan utama ekspor TPT dan alas kaki sehingga pelambatan ekonomi negara ini menurunkan kinerja ekspor.
Secara khusus Nawir menyoroti pelambatan ekonomi China. Sebab, hubungan perekonomian eksternal China punya kontribusi besar dengan Indonesia. Ia mencontohkan, jika pertumbuhan ekonomi China mencapai 10 persen, hal itu akan ikut mengerek pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 1 persen.
”Ibaratnya, ketika China batuk, Indonesia sudah meriang karena perekonomian China punya kadar elastisitas yang besar dengan perekonomian Indonesia,” ujar Nawir.
Kinerja ekspor Indonesia secara keseluruhan memang masih positif. Namun, itu lebih banyak terkerek dari sejumlah komoditas yang harganya masih tinggi di pasaran. Sementara itu, komoditas TPT dan alas kaki kesulitan untuk ekspor lantaran permintaan global yang menyusut.
Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan Reza Hafiz mengatakan, saat ini pelambatan ekonomi global kepada industri padat karya berkonsekuensi logis menurunkan kinerja keuangan perusahaan sehingga rasionalisasi ongkos biaya dengan pengurangan karyawan pun jadi pilihan. Salah satunya dari industri manufaktur khususnya garmen.
Kendati demikian, berbagai indikator menunjukkan perekonomian Indonesia dalam kondisi baik dan diperkirakan masih bertumbuh. Perekonomian Indonesia ini bisa memikat investasi yang bisa memberikan penciptaan kesempatan kerja.
Reza menambahkan, pemerintah juga telah bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang telah mengeluarkan insentif perpanjangan restrukturisasi kredit pada debitor industri padat karya, seperti TPT dan alas kaki. Ini agar ada keringanan di industri sehingga memberikan mereka kesempatan untuk pulih.
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
Perkembangan Kinerja Ekspor Indonesia Oktober 2022. Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
Peredam kejut
Analis Kebijakan Ahli Madya Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Rahadian Zulfadin mengatakan, pengurangan kerja di industri TPT telah menjadi perhatian dan pembahasan di Kementerian Keuangan. Pihaknya tengah melihat lebih detail soal fenomena itu.
”Kami melihat kinerja TPT memang sudah lama menurun. Sekarang diperparah permintaan luar negeri yang melemah,” ujar Rahadian.
Ia mengatakan, saat ini pihaknya tengah mengkaji kemungkinan insentif apa yang paling tepat untuk diberikan. Rahadian menegaskan, APBN memang instrumen yang digunakan untuk meredam kejutan ekonomi.
Per 21 November 2022, sebanyak 163 perusahaan anggota Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Asosiasi Pengusaha Garmen Korea (KOGA), serta Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSYFI) telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Total karyawan yang terdampak kebijakan PHK dari perusahaan-perusahaan itu mencapai 87.236 orang.
Wakil Ketua Umum API Bidang Ketenagakerjaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nurdin Setiawan mengatakan, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional bergantung 70 persen pada pasar dalam negeri dan 30 persen pasar ekspor.
Dari sisi permintaan pasar luar negeri, ekspor melemah dengan proyeksi pembatalan order diperkirakan 30 persen. Hal ini juga dialami negara eksportir TPT lainnya, seperti Bangladesh, India, dan China. ”PHK di industri TPT seperti fenomena gunung es. Data pekerja terdampak hanya mewakili data parsial kondisi asli di lapangan,” ujarnya (Kompas, 14 Desember 2022).