Utamakan Dialog untuk Mencari Solusi
Fenomena PHK di industri padat karya berorientasi ekspor diperkirakan berlanjut pada 2023 karena pelemahan permintaan ekspor akibat ketidakpastian ekonomi global. Dialog diperlukan untuk mencari solusi di tengah tekanan.

Ilustrasi
Fenomena pemutusan hubungan kerja atau PHK pada industri manufaktur padat karya berorientasi ekspor diperkirakan berlanjut pada 2023 karena pelemahan permintaan luar negeri akibat ketidakpastian ekonomi global. Kalangan pengusaha berpandangan, penerapan fleksibilitas jam kerja dengan sistem no work no pay dapat menjadi salah satu cara untuk mengurangi PHK. Oleh karenanya, hal itu dipandang perlu diatur oleh pemerintah.
Akan tetapi, kelompok serikat pekerja/buruh mengkhawatirkan usulan itu akan meniadakan hak mereka bekerja layak. Mereka berharap dialog dikedepankan sehingga muncul solusi bersama yang setara bagi kedua belah pihak.
“Apabila pengusaha merasa ada masalah penurunan order, mengapa mereka tidak mengajak kelompok pekerja/buruh duduk bersama dan berbincang. Jangan langsung memutuskan sepihak. Akhirnya, pekerja/buruh menilai ide itu (PHK ataupun fleksibilitas jam kerja dengan sistem no work no pay) sebagai cara mereka melepaskan tanggung jawab,” ujar Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia Elly Rosita, Rabu (14/12/2022), di Jakarta.
Menurut Elly, banyak pengusaha tidak secara transparan membeberkan kerugian akibat lesunya permintaan pasar kepada karyawan. Dengan narasi ancaman resesi ekonomi dan potensi gelombang PHK, mentalitas pekerja/buruh dipastikan segera ‘menyerah’. Apalagi, kata Elly, pekerja/buruh yang tidak berserikat. “Mereka akan takut. Tidak tahu ke mana harus mengadu,” tutur dia.
UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan ataupun UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja mengamanatkan maksimal jam kerja adalah 40 jam seminggu.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar mengatakan, ketentuan UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan ataupun UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja mengamanatkan maksimal jam kerja adalah 40 jam seminggu. Oleh karenanya, perusahaan dibolehkan memberlakukan jam kerja kurang, asalkan tidak memotong upah pekerja.
Senior Program Officer Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) Lusiani Julia mengatakan, pihaknya belum memahami secara utuh usulan kelompok pengusaha yang menginginkan pemerintah mengeluarkan peraturan khusus fleksibilitas jam kerja dengan catatan no work no pay. Pengalaman negara lain sudah ada yang menerapkan pengurangan working days, tetapi working hours pekerja menjadi lebih lama.
Meski demikian, dia memandang, kondisi kekurangan permintaan seperti dikeluhkan oleh pengusaha manufaktur padat karya berorientasi ekspor sebaiknya dicarikan solusi melalui dialog dengan pekerja.

Aktivitas produksi divisi garmen PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex di Sukoharjo, Jawa Tengah, Rabu (13/2/2019).
“Pemerintah juga harus jeli (membaca dinamika industri yang berdampak ke pasar ketenagakerjaan). Sebab, bagaimanapun pengurangan jam kerja akan berdampak bukan hanya upah, tetapi juga hak jaminan sosial, manfaatnya, dan asuransi lain yang diterima pekerja,” ujar dia.
Pemerintah, lanjut Lusiani, sekarang harus memikirkan potensi situasi darurat dari isu ketidakpastian ekonomi global, demi menyelamatkan industri maupun pekerja. Pemerintah perlu memikirkan strategi kebijakan yang pas, termasuk mempertimbangkan kemungkinan pemerintah harus menanggung pembayaran iuran jaminan sosial untuk pekerja/buruh.
Fleksibilitas sementara
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Bidang Ketenagakerjaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nurdin Setiawan menjelaskan, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional bergantung 70 persen pada pasar dalam negeri dan 30 persen pada pasar ekspor.
Dari sisi permintaan pasar luar negeri, ekspor melemah dengan proyeksi pembatalan order diperkirakan sebanyak 30 persen. Hal ini juga dialami negara eksportir TPT lainnya, seperti Bangladesh, India, dan China.
Nurdin mengatakan, per 21 November 2022, sebanyak 163 perusahaan anggota API, Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Asosiasi Pengusaha Garmen Korea (KOGA), serta Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSYFI) telah melakukan PHK. Total karyawan yang terdampak kebijakan PHK dari perusahaan-perusahaan itu mencapai 87.236 orang.
“PHK di industri TPT seperti fenomena gunung es. Data pekerja terdampak hanya mewakili data parsial kondisi asli di lapangan,” ujarnya.
Baca juga : Gelombang PHK di Sektor Padat Karya Diperkirakan Berlanjut

Sebagai penyemangat para calon pekerja pabrik garmen, ada baju contoh yang digantung di salah satu mesin jahit di ruang tempat mereka berlatih di Balai Industri Produk Tekstil dan Alas Kaki (BIPTAK), Tambak Aji, Kota Semarang, Jumat (15/2/2019). Baju jadi itu merupakan karya peserta pelatihan angkatan sebelumnya, yang telah lulus. Mereka yang lulus biasanya diambil oleh pabrik rekanan atau pekerja melamar ke pabrik garmen di daerahnya.
Menurut dia, pelaku industri manufaktur padat karya berorientasi ekspor telah mengusulkan fleksibilitas jam kerja yang bersifat sementara. Solusi ini diyakini dapat meminimalkan potensi PHK selama masa kelesuan permintaan ekspor.
“Fleksibilitas jam kerja yang kami maksud adalah maksimal 30 jam kerja, dengan catatan no work no pay. Solusi yang kami usulkan ini bersifat sementara. Mungkin bisa dikaji setiap enam bulan sekali,” kata Nurdin.
Solusi itu disarankan dibungkus dalam peraturan khusus, misalnya setingkat peraturan menteri. Apindo, API, KOGA, KOFA, dan Aprisindo telah menyampaikan usulan solusi itu kepada Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). Dikatakan Nurdin, permohonan solusi disampaikan pada tanggal 7 Oktober 2022 dan pelaku usaha sempat bertemu dengan pemerintah pada tanggal 20 Oktober 2022.
“Jangkar hukum dari usulan solusi fleksibilitas jam kerja kami adalah PP No 36/2021 tentang Pengupahan,” ujar Nurdin, saat dikonfirmasi Rabu.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial Apindo Anton J Supit menambahkan, “Memang, tidak ada ketentuan yang mengatur soal jam kerja bisa berkurang dengan sistem no work no pay. Tapi kami nilai sistem ini mampu menyelamatkan lapangan pekerjaan dan meminimalkan PHK. Maka, kami minta agar pemerintah membuat kebijakan yang tidak bertentangan dengan UU,” kata Anton
Baca juga : Formula Baru Upah Minimum Menuai Polemik

Aktivitas pekerja menjahit pakaian di GGS Fashion di Perkampungan Industri Kecil (PIK) Pulogadung, Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur, Kamis (3/11/2022). Usaha kecil dan menengah garmen di kawasan tersebut dalam tiga bulan terakhir ordernya mengalami penurunan. Pekerja dibayar borongan tiap minggu Rp 150 ribu hingga Rp 300 ribu tergantung tingkat kesulitan dan jumlah produk yang dihasilkan.
Konsekuensi
Berdasarkan Surat Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenaker Nomor 4/1692/HI.00.03/XI/2022 tertanggal 24 November 2022, Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenaker Indah Anggoro Putri menyampaikan, dengan memperhatikan kondisi global saat ini, perusahaan padat karya berorientasi ekspor yang hendak mengatur waktu kerja kurang dari 40 per minggu, hak tersebut masih dalam rentang ketentuan waktu kerja seperti diatur UU No 13/2003 sebagaimana telah diubah oleh UU No 11/2020, dan PP No 35/2021.
Penyesuaian waktu kerja itu hendaknya dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan dialog dengan pekerja/buruh sehingga pelaksanaannya dapat dipahami oleh semua pihak.
Menanggapi dinamika itu, dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, M Hadi Subhan, menjelaskan, PP No 35/2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja sebenarnya sudah mengatur perihal pekerja harian. Namun, syaratnya adalah bekerja kurang dari 21 hari dalam sebulan. Mereka diberi upah secara harian.
“Hal yang dilarang oleh negara adalah jika pekerja sudah berstatus perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) biasa, tetapi (pengusaha) menginginkan mereka ikut sistem pengupahan harian,” tegas Hadi.
Ide pengusaha padat karya berorientasi ekspor untuk mengurangi jam kerja per minggu mengarah pada ketentuan mekanisme pembayaran upah per jam, seperti tertuang dalam pasal 16 PP No 36/2021.
Baca juga : Kenaikan Semu Upah Minimum
Analis dari Trade Union Rights Centre, Syaukani Ichsan, mengatakan, asas no work no pay hanya berlaku bagi buruh yang memutuskan untuk tidak bekerja atas kemauannya sendiri. Hal ini sesuai dengan pasal 93 ayat (1) UU 13/2003. Sesuai ketentuan ini, pengusaha bisa berdalih karena kekurangan order, kemudian buruh harus dirumahkan, tetapi hak yang melekat dalam diri pekerja tetap harus dipenuhi. Dengan kata lain, mereka tetap mendapatkan upah penuh dan tunjangan lainnya.
Dia memandang, ide pengusaha padat karya berorientasi ekspor untuk mengurangi jam kerja per minggu mengarah pada ketentuan mekanisme pembayaran upah per jam, seperti tertuang dalam pasal 16 PP No 36/2021.
Pasal 16 ayat (1) PP No 36/2021 menyatakan penetapan upah per jam hanya dapat diperuntukkan bagi pekerja/buruh yang bekerja secara paruh waktu. Dalam pasal penjelasannya diterangkan bahwa yang dimaksud dengan “bekerja secara paruh waktu” adalah bekerja kurang dari 7 jam 1 hari dan kurang dari 35 jam 1 minggu.
“Konsekuensi bagi pekerja/buruh adalah berpotensi bekerja dengan jam kerja lebih panjang. Agar bisa menghasilkan upah yang lebih tinggi, maka pekerja/buruh harus memacu jam kerjanya menjadi lebih panjang. Upah per jam memungkinkan seseorang bekerja di bawah upah minimum dalam waktu satu minggu ia bekerja,” kata Ichsan.
Di tengah tekanan situasi ekonomi saat ini, pemerintah pun diharapkan dapat menjembatani dialog antara buruh dan pelaku usaha untuk mencari solusi.