Perlu Ada Kepastian Waktu dalam Proses Izin Usaha Tambang
Pertambangan merupakan kegiatan usaha dengan risiko tinggi, banyak persyaratan yang perlu dipenuhi. Namun, ketidakpastian regulasi kerap kali membuat tujuan penyederhanaan perizinan justru lebih kompleks.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih, Pegunungan Kendeng Utara, di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah sejak tahun 1995 telah menjadi areal pertambangan. Hingga kini, sebanyak 21 perusahaan memegang izin usaha pertambangan (IPU) di kawasan itu. Tampak kondisi areal pertambangan pada, Juli 2017.
JAKARTA, KOMPAS — Tata kelola izin usaha pertambangan membutuhkan perbaikan dan peningkatan dari sisi keterbukaan, akuntabilitas, dan kepastian tenggat. Di sisi lain, lantaran merupakan kegiatan usaha berisiko tinggi, prinsip kehati-hatian dalam pemberian izin pertambangan tetap mesti dijalankan.
Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi dan Batubara Indonesia (Aspebindo) Anggawira, Rabu (14/12/2022) mengatakan, mengingat pertambangan ialah kegiatan usaha dengan risiko tinggi, banyak persyaratan yang perlu dipenuhi. Namun, selama ini, ketidakpastian regulasi kerap kali membuat tujuan penyederhanaan perizinan justru lebih kompleks.
“Transparansi dan akuntabilitas dalam proses tersebut perlu ditingkat. Perlu ada timeline (linimasa) dan deadline (tenggat). Ini perlu diukur. Misalnya, pengurusan satu (dokumen) berapa lama, dan lainnya berapa lama. Hal seperti itu perlu disosialisasikan juga kepada kami para pelaku usaha,” kata Anggawira.
Menurutnya, ketidakpastian itu juga berkaitan dengan persoalan sumber daya manusia (SDM), misalnya karena jumlah inspektur tambang yang terbatas. Begitu juga terkait analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang kerap memakan waktu, antara lain karena kegiatan usahanya memiliki risiko tinggi.
Anggawira mengemukakan, terkait hal itu, perlu ada konektivitas dengan satu perusahaan yang ditunjuk resmi sebagai pemberi jasa pelayanan Amdal. “Harus hati-hati. Sebab, dengan risiko (pertambangan) yang tinggi, jika ada kesalahan, implikasinya bisa luas,” ucapnya.
Ia sendiri mengapresiasi apa yang sudah dilakukan pemerintah pusat, misalnya dengan adanya aplikasi Minerba One Data Indonesia (MODI) di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dengan demikian bisa diketahui tambang mana yang sedang beroperasi. Hanya saja, diperlukan akselerasi, terutama dalam untuk menunjang proses pembangunan di daerah.
Sebelumnya, Senin (12/12), dalam pemaparan hasil kajian sistemik tata kelola izin usaha pertambangan, Ombudsman Republik Indonesia menilai tata kelola izin usaha pertambangan di Indonesia perlu dibenahi karana adanya sejumlah masalah. Masalah itu antara lain dalam regulasi maupun implementasi. Apabila berlarut, dikhawatirkan berdampak negatif pada iklim investasi.
Kementerian ESDM menerima hasil kajian sistemik dari Ombudsman tersebut. Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif, menyatakan telah memberi jawaban dan akan memperhatikannya. Tindak lanjut dari saran Ombudsman RI, akan ada proses lewat Biro Hukum di Kementerian ESDM.
Sementara itu, menurut Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli, singkronisasi dan harmonisasi pusat dan daerah pun mendesak dilakukan. Dengan sistem daring yang dikembangkan diharapkan mampu menjawab tantangan yang ada. “Kemampuan inspektur tambang dan kapasitas sistem perlu ditingkatkan,” jelasnya.
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA
Para petambang beraktivitas di areal pertambangan emas tanpa izin (PETI) di kawasan Pamong, Kecamatan Sangir, Kabupaten Solok Selatan, Kamis (9/11/2017) lalu. Meski telah ada penghentian oleh kepolisian setempat, aktivitas pertambangan yang berada di kawasan aliran Sungai Pamong Ketek (salah satu hulu Sungai Batang Hari ) itu terus berlangsung.
Mengenai minimnya inspektur tambang jika dibandingkan izin yang dikeluarkan di satu provinsi, Rizal mengemukakan pihaknya juga menyoroti hal tersebut di sejumlah kesempatan. Perlu adanya distribusi inspektur tambang ke daerah-daerah yang masih kekurangan sumber daya.
Usulan Perhapi terkait pembentukan Ditjen Penegakan Hukum (Gakkum) juga sudah mendapat tanggapan positif dan sedang di proses di Kementerian ESDM. “Penyebaran inspektur tambang harus disesuaikan dengan jumlah izin pertambangan. Kalau perlu, inspektur ditambah agar dapat optimal dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap aktivitas pertambangan di daerah,” ujar Rizal.
Rizal mengatakan, pemerintah pusat sebenarnya menghadapi tantangan berat karena harus melayani semua pemangku kepentingan di seluruh Indonesia. Misalnya, bagaimana dalam waktu sekitar sebulan di akhir tahun dapat menyelesaikan atau mengesahkan Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) semua perusahaan tambang. Padahal, butuh ahli-ahli khusus di pemerintahan untuk mengevaluasi rencana tambang.
Sementara dari sisi pengusaha, ketika kewenangan perizinan beralih dari daerah ke pusat, perhatian pemerintah daerah menjadi relatif berkurang. Tanpa dukungan daerah, pengurusan izin menjadi terkendala. Pada akhirnya, perizinan tidak selesai dan berlarut-larut.
Padahal, imbuh Rizal, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjamin penerbitan perizinan lain yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan. Itu sepanjang telah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.