Jargon bisnis modern menyiratkan sejumlah kekacauan metafora, tak bernyawa, dan basi. Jargon-jargon itu kadang malah membingungkan dan tak memperjelas sesuatu masalah.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·4 menit baca
Di lorong-lorong kantor atau di ruang rapat dengan mudah kita mendengar istilah bisnis yang terdengar aneh, namun kadang dipilih agar terlihat keren. Dari mulai “disrupsi”, ”growth hacking”, ”at the end of the day”, ”milenial pasti bisa”, dan lain-lain. Tanpa sadar sebenarnya kita sudah bosan dan mual mendengar istilah-istilah itu. Bahkan, di dunia bisnis internasional kini dikenal jargon bisnis yang sangat buruk.
Sindiran-sindiran di sejumlah akun media sosial anak-anak muda sebenarnya mengungkapkan penggunaan jargon-jargon yang berlebihan. Mereka merasa terganggu dengan penggunaan yang terlalu sering, dari mulai rapat hingga sambutan. Beberapa riset membuktikan penggunaan yang berlebihan tidak menghasilkan dorongan berinovasi.
Salah satu tulisan di laman Fast Company menyebutkan, beberapa istilah seperti ”thought leader” dan ”empower” menyerang saraf kita. Sesuatu yang lebih menjengkelkan bagi kita karena kita melihatnya terlalu sering digunakan dalam penentuan partner bisnis. Sementara jargon lain seperti ”boots on the ground”, ”double click”, dan ”growth hacking” bukan hanya istilah itu mudah ditemui oleh satu dua orang dalam kehidupan kantor sehari-hari, bunyi semua jargon itu telah mengganggu.
Beberapa istilah digunakan untuk meringkas sebuah pemikiran atau pendapat tertentu, tetapi mungkin digunakan secara berlebihan. Kata ”disrupsi” telah digunakan begitu banyak sehingga dirasa kuno dan tidak memiliki arti yang kuat. Fast Company kemudian membuat daftar jargon yang disebut sebagai ”jargon bisnis terburuk”. Beberapa pihak menyarankan agar jargon-jargon itu dihentikan penggunaannya.
Seorang penulis bernama Daniel Potter di dalam blog platform bahasa Grammarly membuat analisis tentang hal itu. Ketika manusia berkumpul dalam kelompok, mereka cenderung mengembangkan leksikon baru yang spesifik untuk konteksnya. Penyihir Hogwarts mengeluarkan kata ”muggle”, siswa sekolah menengah bercita-cita untuk ”squad goals”, dan kadang-kadang seorang manajer tingkat menengah menatap tajam ke mata Anda dan memberi tahu Anda bahwa ada peluang untuk ”redefine the naratives”.
Potter mengatakan, jargon bisnis modern menyiratkan sejumlah kekacauan metafora, tak bernyawa, dan basi. Jargon-jargon itu kadang malah membingungkan dan tak memperjelas sesuatu masalah. Banyak di antara kita yang telah menggunakan lebih dari satu (jika tidak semua) frasa bisnis ini. Kita bahkan mungkin secara tidak sengaja menggunakannya dalam konteks pribadi, terlepas dari penilaian kita yang lebih baik, karena betapa kita telah terbiasa dengan mereka untuk komunikasi sehari-hari.
Beberapa kalangan menyarankan agar istilah-istilah basi itu tidak digunakan lagi. Seorang editor di laman Atlassian James Austin menyebutkan, penelitian menunjukkan bahwa menggunakan kosakata yang tidak jelas dapat merusak kepercayaan pada pesan yang kita sampaikan. Bahasa yang lebih jelas tidak hanya membantu orang untuk mudah memahami pesan, tetapi juga memercayai apa yang Anda katakan. Saat pesan Anda tepat, bermanfaat, dan menyertakan contoh yang relevan tanpa jargon bisnis yang klise maka akan lebih menguntungkan.
Penulis buku Get to the Point! dan The Language of Leadership, Joel Schwartzberg, mengatakan, keinginan untuk berkomunikasi dengan cara yang segar harus dibingkai ulang sebagai keinginan untuk berkomunikasi secara otentik. Untuk menyampaikan keaslian kita, pembicara harus menghindari dan menolak kata dan frasa yang tidak sesuai dengan gaya bicara atau kosakata yang secara natural dekat dengan dia.
Schwartzberg menambahkan, sarana yang hebat untuk menyampaikan keunikan dan keaslian dalam obrolan bisnis adalah menceritakan kisah pribadi untuk mengilustrasikan poin yang ingin Anda sampaikan. Bagian terpenting dari penceritaan strategis bukanlah cerita itu sendiri, tetapi di mana pembicara mengatakan ilustrasi itu berkait dengan sesuatu yang penting atau makna penting di balik kisah itu. Cerita mungkin memukau, tetapi tidak relevan apabila kita tidak mengungkapkan pesan dari cerita itu.
Penulis lain, Ben Brumm, dalam laman Database Star mengungkapkan, ”Saya benci kata-kata kunci perusahaan (corporate buzzword). Jargon-jargon itu tidak perlu, terlalu sering digunakan, dan rumit. Saya menghindarinya dan saya berharap semua orang berhenti menggunakannya dan menggunakan kata-kata lain yang sebenarnya menjadi maksud mereka. Mengapa? Istilah-istilah itu tidak jelas dan tidak dapat ditindaklanjuti. Jargon itu tidak menjelaskan apa yang sebenarnya sedang dilakukan atau apa yang sebenarnya perlu terjadi.”
Brumm menambahkan, jika orang berhenti menggunakan kata-kata itu, kehidupan kantor akan jauh lebih nyaman dan orang akan lebih paham tentang apa yang tengah terjadi. Ia telah mencantumkan 65 jargon bisnis yang mengganggu yang harus dihentikan oleh kantor. Ia juga telah mencantumkan artinya dan apa yang sebaiknya digunakan.
Keseharian kita telah dipenuhi dengan jargon-jargon bisnis, terutama ketika teknologi digital masuk. Beberapa istilah baru muncul dan kadang lama sekali baru mendapatkan padanan di dalam bahasa Indonesia. Ketika terjadi kekosongan antara istilah itu masuk ke Indonesia dan kemunculan padanannya, jargon asing itu lepas kendali. Tak terasa, kita pun lelah ketika mendengarnya. Apalagi kalau kita mendengar dari mereka yang memakai jargon itu hanya sekadar untuk dibilang keren. Tidak natural.