Simpan Devisa di Dalam Negeri, Eksportir Butuh Jaminan
Pelaku usaha mengaku siap menyimpan devisa hasil ekspornya di dalam negeri. Namun, aturan itu perlu diiringi dengan mekanisme suku bunga yang menarik dan jaminan selisih kurs, khususnya bagi eksportir manufaktur.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Petugas menyiapkan uang dari tempat penyimpanan uang Bank Mandiri di Plaza Mandiri, Jakarta, Rabu (3/8/2022), untuk memenuhi kebutuhan mesin anjungan tunai mandiri (ATM). Menurut Menteri Keuangan, cadangan devisa hingga Juni 2022 mencapai 136,44 miliar dollar AS atau setara dengan pembiayaan 6,6 bulan impor.
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah untuk mempertegas aturan penyimpanan dana devisa hasil ekspor (DHE) di dalam negeri guna menguatkan cadangan devisa RI di tengah perlambatan ekonomi global dinilai sudah tepat. Namun, langkah itu perlu diimbangi dengan pemberian insentif dan jaminan agar tidak merugikan eksportir.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan, surplus neraca perdagangan selama 30 bulan berturut-turut akibat ledakan harga komoditas belum banyak berdampak pada penguatan nilai tukar rupiah di tengah kebijakan pengetatan moneter yang dilakukan oleh bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve alias The Fed.
Pada perdagangan Selasa (13/12/2022), rupiah ditutup melemah 29 poin pada level Rp 15.657 per dollar AS. Depresiasi rupiah diperkirakan bisa lebih buruk pada 2023 di tengah kenaikan suku bunga The Fed dan berakhirnya tren ledakan harga komoditas.
Eko menilai, rupiah yang melemah di tengah tren surplus itu memperkuat kekhawatiran bahwa dana devisa hasil ekspor (DHE) selama ini tidak semuanya disimpan di sistem perbankan dalam negeri, tetapi diparkir di luar negeri. Meski kembali menguat pada November 2022, cadangan devisa RI sempat turun selama tujuh bulan berturut-turut.
”Memang di satu sisi cadangan devisa dipakai untuk operasi moneter, tetapi itu juga menunjukkan kalau banyak dana devisa yang tidak masuk ke sistem perbankan nasional dari hasil ekspor kita,” kata Eko dalam sesi kelas Indef School of Political Economy (ISPE) di Jakarta, Selasa.
Oleh karena itu, arahan Presiden Joko Widodo yang meminta Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan untuk membuat mekanisme demi menahan DHE lebih lama di dalam negeri dinilai sudah tepat untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
”Bisa dibayangkan, kalau dalam posisi surplus perdagangan saja kita tertekan, apalagi kalau tahun depan surplus itu bisa jadi tidak terulang?” ujarnya.
Namun, Eko mengatakan, langkah mengamankan DHE di dalam negeri tetap perlu dilakukan dengan hati-hati agar regulasinya tidak terlalu ketat hingga merugikan eksportir dan berbalik mengganggu iklim berusaha.
Pemerintah harus menyeimbangkan kebijakan tersebut dengan memberikan insentif atau jaminan selisih kurs pada eksportir, khususnya untuk eksportir dari sektor manufaktur yang masih banyak bergantung pada belanja impor bahan baku. ”Ini perlu berhati-hati, pendekatan kita tidak bisa terlalu strict,” katanya.
Eko mencontohkan kebijakan di Thailand yang mewajibkan eksportir untuk menahan dana hasil ekspornya selama 6-9 bulan di bank dalam negeri. ”Meski kita perlu lebih tegas, kita tidak perlu seketat itu. Mungkin, kalaupun mau menetapkan batas waktu penyimpanan DHE di dalam negeri, tidak perlu sampai enam bulan, bisa sekitar dua bulan saja,” usulnya.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Karyawan menyiapkan uang rupiah di tempat penukaran valuta asing PT Valuta Artha Mas, ITC Kuningan, Jakarta, Senin (17/10/2022). Sejak awal tahun hingga hari ini, nilai tukar rupiah terhadap dollar telah melemah 8,47 persen. Dari awal tahun di harga Rp 14.270, hari ini nilainya terdepresiasi pada Rp 15.480.
Butuh jaminan
Saat dihubungi terpisah, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno mengatakan, pelaku usaha pada prinsipnya siap mendukung pemerintah dengan menyimpan devisa hasil ekspornya di bank dalam negeri. Pelaku usaha juga sebenarnya bersedia untuk mengonversi DHE ke bentuk mata uang lokal atau rupiah.
Namun, pemerintah tidak bisa hanya sekadar melarang dan memberikan sanksi jika eksportir tidak memulangkan devisanya ke RI. Aturan tegas itu perlu diiringi dengan mekanisme suku bunga simpanan valas yang lebih menarik agar eksportir tidak memilih untuk menaruh dana devisanya di luar negeri.
Selain itu, pelaku ekspor juga butuh jaminan selisih kurs. Pasalnya, selama ini eksportir bisa merugi jika mengonversi devisa hasil ekspornya dalam bentuk rupiah. Sebab, mereka akan terkena kurs jual ketika simpanan dananya itu kelak dibutuhkan untuk membeli bahan baku impor. Apalagi, di tengah volatilitas nilai tukar rupiah saat ini.
”Kita mau saja menaruh hasil ekspor di dalam negeri, asal ada jaminan bahwa ketika kita butuh dollarnya untuk membeli impor bahan baku, dollarnya masih ada dan nilainya tetap sama,” kata Benny.
Selisih kurs tersebut, menurut dia, dapat dikompensasikan oleh bank melalui peraturan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). ”Ini bisa langsung diatur oleh bank pelaksana atau bank devisa dengan para eksportirnya. Intinya, harus dijamin bahwa ketika kita butuh uangnya, kita bisa menarik dana itu senilai dengan besaran yang awalnya kita simpan,” ujarnya.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Aktivitas bongkar muat peti kemas ke dalam kapal barang di terminal peti kemas New Priok Container Terminal (NPCT) 1, Jakarta Utara, Kamis (10/11/2022). Kinerja investasi dan kinerja ekspor yang tumbuh 21,64 persen dengan kontribusi 26,23 persen menjadi salah satu pendukung tingginya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III-2022 ,yaitu 5,72 persen secara tahunan.
Sejauh ini, pemerintah belum menentukan arah kebijakan yang akan diambil menyusul arahan Presiden agar dana DHE dapat ditahan di dalam negeri. Pekan lalu, Staf Ahli Menteri Keuangan Nufransa Wira Sakti mengatakan, pemerintah akan memperbaiki operasionalisasi internal bersama BI untuk memperkuat pengawasan dan pemantauan arus DHE.
Koordinasi data yang lebih baik antara Kemenkeu dan BI diharapkan bisa membantu upaya penegakan sanksi pada eksportir yang tidak menyimpan dana devisanya di Indonesia. Pemerintah belum melihat perlunya penambahan sanksi guna mencegah dana devisa lari ke luar negeri.
”Sanksi dan insentif masih tetap sama, kita prioritas memperbaiki internal operasional saja agar datanya lebih akurat. Tidak sampai melakukan kontrol devisa, tidak sejauh itu,” katanya.