Ada problem pengalihan kewenangan izin usaha pertambangan dari pemerintah kabupaten atau kota ke pemerintah provinsi dan pusat yang tidak memenuhi asas profesionalitas, ketelitian, dan transparansi.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA, Velicia
·3 menit baca
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Truk pengangkut batubara melintasi jalan khusus angkutan tambang batubara di wilayah Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, November 2014.
JAKARTA, KOMPAS — Ombudsman Republik Indonesia menilai tata kelola izin usaha pertambangan di Indonesia perlu dibenahi karena ditemukan sejumlah masalah, baik dalam regulasi maupun implementasi. Apabila sengkarut terkait tata kelola izin usaha pertambangan berlarut, hal itu dikhawatirkan berdampak negatif pada iklim investasi.
Anggota Ombudsman RI, Hery Susanto, dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (12/12/2022), mengatakan hal itu setelah dilakukan kajian sistemik tata kelola dan kebijakan izin usaha pertambangan. Pengambilan data untuk kajian tersebut dilakukan di lima provinsi, yakni Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara. Kelima provinsi itu memiliki basis pertambangan berbagai macam komoditas.
Mengenai regulasi, Ombudsman RI menilai Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 15.K/HK.02/ MEM.B/2022 tentang Tata Cara Pemrosesan Penertiban dan Pendaftaran Izin Usaha Pertambangan cenderung diskriminatif. Pasalnya, ada ketentuan yang membatasi klasifikasi pelapor dengan menentukan batas waktu belum lewat dua tahun sejak pertama kali permohonan perizinan pada saat izin usaha pertambangan masih berlaku sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kemudian, dalam Surat Edaran Nomor 1.E/HK.03/ MEM.B/2022 pada 29 Juni 2022 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022 tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara. Surat itu ditujukan kepada gubernur, kepala dinas bidang ESDM, dan kepala dinas penanaman modal pelayanan terpadu satu pintu.
Namun, surat edaran dimaksud tidak secara jelas mengatur pengawasan, penanganan pengaduan dan permasalahan lingkungan terkait dengan pendelegasian izin tersebut. Surat edaran itu hanya ditujukan kepada ketiga pihak di atas tanpa ditujukan kepada dinas lingkungan hidup dan ditembuskan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Itu menjadi permasalahan karena memisahkan pengaturan pertambangan dengan lingkungan sebagai persyaratannya.
Sementara dalam implementasi, salah satunya ialah aspek pelayanan perizinan. ”Ada problem pengalihan kewenangan izin usaha pertambangan dari pemerintah daerah kabupaten/kota kepada pemprov dan pusat yang tidak memenuhi asas profesional, ketelitian, dan transparansi,” kata Hery.
Kendala teknis
Selain itu, yang menjadi catatan lainnya adalah adanya proses pencatatan, administrasi, dan kearsipan yang tidak memadai sehingga sulit mencari dan mengakses data pertambangan di tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Itu, antara lain, karena perbedaan standar pelaksanaan pengalihan kewenangan. Di samping itu, masih ada kendala teknis dalam sistem Online Single Submission (OSS).
”Dari peralihan kewenangan ini, belum semuanya atau tidak semua terakomodasi. Ada yang tertinggal, terlewatkan hingga ke pusat,” ucap Hery.
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA
Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Hery Susanto di kantor Ombudsman RI, di Jakarta, Senin (12/12/2022). Ombudsman melakukan kajian sistemik terkait tata kelola Izin Usaha Pertambangan (IUP) di lima provinsi, yakni Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara. Ombudsman memberi saran pada pemerintah agar regulasi diperbaiki.
Problem-problem tersebut, lanjut Hery, berpotensi berdampak pada investasi. Apabila masih ada sengkarut malaadministrasi tata kelola izin usaha pertambangan, hal itu bisa memberi citra buruk bagi pemerintah dalam menopang pencapaian visi misi pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Ombudsman RI juga menemukan masih minimnya jumlah inspektur atau pengawas di satu provinsi yang memiliki basis tambang dibandingkan dengan jumlah izin yang dikeluarkan. Hal tersebut berpengaruh pada tidak optimalnya pelayanan.
Ombudsman RI telah menyerahkan kajian sistemik tersebut kepada pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM serta Kementerian Sekretariat Negara, pada Senin.
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif, saat ditemui setelah penyerahan kajian sistemik Ombudsman RI itu, enggan berkomentar banyak. ”Langsung saja ke beliau (Ombudsman RI). Yang punya hajat, kan, mereka dan kami sudah memberi jawaban. Ini akan diperhatikan,” ujarnya.
Irwandy menambahkan, saran Ombudsman RI tersebut bukan untuk langsung dilaksanakan. ”Kan, ada proses. Melalui Biro Hukum (Kementerian ESDM) dan seterusnya,” lanjutnya.