Angkatan Kerja Muda Perlu Tingkatkan Kesadaran Hak Kerja Layak
Angkatan kerja muda perlu memiliki kesadaran hak-hak kerja layak. Kesadaran ini penting diutamakan dalam menghadapi dinamika pasar tenaga kerja yang terus berubah.
Oleh
MEDIANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Angkatan kerja muda kini harus berhadapan langsung dengan ketidakpastian kondisi ekonomi, sosial, kebijakan ketenagakerjaan, serta pesatnya perkembangan teknologi digital yang melahirkan bentuk baru hubungan industrial. Guna menghadapi situasi itu, kesadaran mengenai hak - hak kerja layak merupakan hal mendesak yang pekerja muda harus miliki, selain terus mengasah keterampilan dan kompetensi.
Demikian benang merah diskusi ”Promoting Decent Youth Employment: Rights, Protection, Voice, and Representation”, di Jakarta, Minggu (11/12/2022). Acara ini merupakan bagian dari ”Youth Gathering #3” yang di antaranya diselenggarakan oleh Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI).
Pendiri CISDI, Diah Satyani Saminarsih, mengatakan, salah satu dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) adalah pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi. Kerja layak ini juga berlaku untuk anak muda. Namun, sejumlah pekerjaan yang ada sekarang sampai target SDGs diharapkan tercapai pada tahun 2030 dinilai tidak mendukung kerja layak.
”Hanya pekerjaan bersifat sementara, tidak ada jenjang karier, dan tidak layak sehingga membuat mereka rentan tidak berkembang. Padahal, anak muda digadang-gadang jadi pemimpin masa depan,” ujarnya.
Pandemi Covid-19 yang dua tahun terakhir terjadi, menurut dia, berdampak ke kehidupan anak muda, mulai dari mereka yang masih sekolah, lulus sekolah tinggi, hingga sudah bekerja. Salah satu efek pandemi Covid-19 adalah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), baik ramai terjadi di lingkup perusahaan teknologi maupun sektor industri lain.
Analis dari Trade Union Rights Centre, Syaukani Ichsan, berpendapat, pandemi hanya mempercepat ketidakpastian-ketidakpastian kondisi pasar kerja yang mesti dihadapi angkatan kerja usia muda. Sebab, ketidakpastian kondisi pasar kerja sudah lama terjadi, bahkan sebelum Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja keluar.
Berdasarkan pengamatan dia mendampingi pekerja di sektor industri manufaktur di Jawa Tengah, seperti industri alas kaki, pekerja usia muda mulai dari 19 tahun memiliki porsi hampir setengah dari total pekerja. Rata-rata mereka hanya lulusan sekolah menengah kejuruan. Status mereka merupakan pekerja kontrak. Durasi kontraknya pun relatif singkat.
Aktivis dari Perempuan Mahardhika, Jihan Faatihah, berpendapat senada. Tantangan yang dihadapi oleh angkatan kerja usia muda bukan terbatas pada pandemi Covid-19. Salah satu tren yang dia nilai cukup genting adalah fleksibilitas kerja. Angkatan kerja muda di akar rumput paling terdampak dengan tren itu.
Dia lantas memberikan beberapa gambaran. Di sektor industri garmen, misalnya, pekerja didominasi perempuan dan di antara mereka berusia 15 tahun. Kasus pemalsuan identitas kerap muncul yang semata-mata demi mendapatkan penghasilan. Sama seperti hasil pendampingan yang Ichsan lakukan, Jihan juga menemukan ada pekerja perempuan di sektor industri garmen hanya dikontrak. Durasi kontrak paling lama yang dia temukan adalah satu minggu.
Temuan lebih parah adalah ada pekerja dikontrak harian lepas. Dia juga menemukan kekerasan hubungan kerja dari istilah on the job training di sektor industri makanan cepat saji, seperti pekerja muda justru diminta bekerja sungguhan dan belum tentu jadi pekerja tetap. Konsep itu justru melahirkan praktik kerja harian lepas.
”Tantangan ketidakpastian pasar kerja yang kini dihadapi oleh angkatan kerja usia muda sering kali bias. Kadang, informasi yang berkembang lebih condong ke pekerja muda perkotaan atau berasal dari kelas ekonomi menengah atas,” kata Jihan.
Sementara itu, Koordinator Divisi Advokasi dan Pendampingan Hukum Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) Jabodetabek, Setyo A Saputro, memandang, pemerintah melalui sejumlah regulasi dan kebijakan yang dibuat kerap kali tidak mendukung kerja layak. Dalam kasus PHK, misalnya. UU No 13/2003 menyatakan PHK dilakukan hanya ketika perusahaan tutup permanen. Lalu, perusahaan bersangkutan wajib memberikan satu kali atau dua kali pesangon.
Sementara kini melalui UU Cipta Kerja, PHK bisa dilakukan oleh perusahaan yang cukup menyatakan rugi. Kriteria rugi cukup dibuktikan melalui auditor internal. PHK pun dapat dilakukan melalui pemberitahuan.
”Sektor industri digital pernah disebut-sebut sebagai industri masa depan dan menjadi incaran lulusan perguruan tinggi. Namun, kami pernah mendampingi pekerja yang terdampak PHK di perusahaan rintisan bidang teknologi. Dia (pekerja bersangkutan) baru diberi tahu terkena PHK siang hari, tetapi uang pesangon sudah ditransfer pagi sebelum dia berangkat bekerja,” kata Setyo.
Kesadaran
Dosen Hukum Perburuhan Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa, mengatakan, pasar kerja berubah cepat. Ini didukung oleh kebijakan pemerintah yang cenderung industrialis. Anak muda yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas, kejuruan, dan perguruan tinggi didorong untuk magang. Namun, realitasnya terdapat sejumlah permasalahan magang yang tidak tertangani dengan baik oleh pemerintah.
”Maka, anak muda perlu meningkatkan pengawasan diri mereka sendiri. Kalaupun memburu magang-magang kerja, mereka perlu mawas membaca red flag atau masalah yang muncul. Hikmah dari sejumlah kebijakan pemerintah yang kurang mendukung kerja layak adalah pembicaraan seputar problem hubungan industrial semakin bermunculan di kalangan anak muda, termasuk di media sosial,” ujarnya.
Ichsan menambahkan, solusi menghadapi berbagai ketidakpastian pasar kerja yang perlu dilakukan oleh anak muda adalah meningkatkan kesadaran terhadap hak-hak pekerja/buruh. Mereka juga perlu belajar memahami pengetahuan umum mengenai hukum perburuhan sehingga mereka tahu kerja layak yang harus mereka terima.
Pemerintah, pengusaha, dan pekerja sepakat untuk mempromosikan kerja layak mendorong pertumbuhan inklusif dan keadilan sosial, menstimulasi dinamika ekonomi dan inovasi, serta mengarah pada pembangunan yang berkelanjutan.
Sementara Setyo memandang, angkatan kerja muda perlu menyadari kelasnya sebagai kelas pekerja dan hak - hak kerja layak. Apalagi, sepanjang anak muda bersangkutan terima upah. Menyikapi dinamika pasar kerja, mereka bisa ikut bergabung dengan serikat pekerja.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, dalam siaran pers, mengatakan sudah ada Deklarasi Bali yang mendukung kerja layak. Isi Deklarasi Bali adalah pemerintah, pengusaha, dan pekerja sepakat untuk mempromosikan kerja layak mendorong pertumbuhan inklusif dan keadilan sosial, menstimulasi dinamika ekonomi dan inovasi, serta mengarah pada pembangunan yang berkelanjutan. Negara-negara anggota Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang berada di kawasan Asia-Pasifik dan kawasan Arab menyatakan komitmennya untuk melanjutkan kesepakatan Deklarasi Bali.
”Komitmen melanjutkan Deklarasi Bali tersebut tertuang dalam penutupan Pertemuan Regional ILO Asia dan Pasifik (Asia Pacific Regional Meeting/APRM) ke-17 di Singapura, Jumat (9/12/2022),” kata Ida.