Tingkat Kepemirsaan Naik Pascamigrasi ke Siaran Digital
Sejalan dengan kenaikan tingkat kepemirsaan siaran televisi digital terestrial, stasiun televisi disarankan segera memiliki strategi produksi konten unik, berkualitas, dan relatif susah tergantikan oleh media baru.
JAKARTA, KOMPAS — Tingkat kepemirsaan siaran televisi digital terestrial terus mengalami tren kenaikan. Situasi ini diyakini dipengaruhi oleh pelaksanaan penghentian siaran analog terestrial yang terus dilakukan bergiliran di kota-kota besar. Faktor lainnya yang diduga kuat memicu warga migrasi adalah adanya konten Piala Dunia 2022.
Dalam jangka panjang, agar masyarakat tetap bertahan dan mau menonton siaran televisi terestrial, stasiun televisi diharapkan memiliki strategi produksi konten yang unik dan relatif, susah tergantikan oleh media sosial ataupun aplikasi video streaming.
Berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh Nielsen Indonesia, pada 1 November 2022 atau sehari sebelum penghentian siaran analog terestrial di Jabodetabek, tingkat kepemirsaan siaran televisi digital terestrial di wilayah itu baru 46 persen. Tiga pekan kemudian, tingkat kepemirsaan naik menjadi 70 persen.
”Migrasi siaran televisi analog ke digital terestrial (analog switch off/ASO) di Jabodetabek ternyata mendorong masyarakat di kota lain bergegas migrasi. Apalagi, pemerintah mengumumkan tanggal 2 Desember terjadi ASO kembali. Pantauan kami terjadi kenaikan tingkat kepemirsaan siaran televisi digital terestrial rata-rata 10 persen di kota-kota besar lain per 1 Desember 2022,” ujar Direktur Eksekutif Nielsen Indonesia Hellen Katherina seusai konferensi pers mengenai Streaming Content Ratings, di Jakarta, Kamis (8/12/2022).
Sebagai gambaran, tingkat kepemirsaan siaran televisi digital terestrial di Yogyakarta dan sekitarnya per 1 November mencapai 43 persen, lalu naik menjadi 54 persen pada 1 Desember 2022. Di Semarang, tingkat kepemirsaan naik dari 45 persen menjadi 61 persen. Kemudian, di Surakarta, tingkat kepemirsaan naik dari 43 persen menjadi 62 persen.
Di Medan, tingkat kepemirsaan siaran televisi digital terestrial naik dari 28 persen menjadi 30 persen. Di Palembang, tingkat kepemirsaan naik dari 36 persen menjadi 41 persen. Sementara di Denpasar dan sekitarnya, tingkat kepemirsaan naik dari 36 persen menjadi 50 persen.
Selanjutnya, di Banjarmasin, tingkat kepemirsaan siaran televisi digital terestrial naik dari 36 persen menjadi 41 persen. Adapun di Makassar, tingkat kepemirsaan meningkat dari 45 persen menjadi 53 persen.
”Jadi, minat ASO masyarakat benar-benar muncul menunggu siaran televisi analog terestrial dimatikan. Kami percaya, masyarakat akan tetap menonton siaran televisi terestrial karena itu satu-satunya hiburan gratis di rumah,” ujarnya.
Terkait pengaruh ASO terhadap belanja iklan, Hellen mengatakan, tidak ada perubahan sebelum dan sesudah ASO sejauh ini. Pernyataannya ini berdasarkan pengukuran belanja iklan yang dilakukan Nielsen hanya dengan memakai gross rate card atau tarif pemasangan iklan yang belum dihitung diskon.
Baca juga: Migrasi Setengah Hati
Cakupan diperluas
Setelah Jabodetabek mengalami penghentian siaran televisi analog terestrial pada 2 November, ASO kembali dilanjutkan di Kota Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, dan Batam pada 2 Desember 2022. Giliran ASO berikutnya adalah Surabaya dan sekitarnya pada 20 Desember 2022. Lembaga penyiaran telah sepakat mengenai hal itu karena distribusi bantuan alat bantu penerima siaran digital untuk keluarga miskin telah mencapai 100 persen.
Wakil Ketua Bidang Regulasi Gabungan Pengusaha Elektronika Joegiyanto, saat dihubungi Sabtu (10/12/2022), di Jakarta, menyebut penjualan alat bantu penerima siaran digital mengalami peningkatan beberapa minggu terakhir. Dia meyakini kenaikan penjualan akan terus terjadi sampai ASO Surabaya dua minggu lagi terealisasi.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Gilang Iskandar, saat dihubungi terpisah, di Jakarta, menyambut baik hasil pengukuran kepemirsaan pasca-ASO yang dilakukan Nielsen Indonesia. Pemulihan tingkat kepemirsaan akan berkaitan dengan aspek komersial yang dijalani oleh lembaga penyiaran pasca-ASO.
Dia mengakui konten Piala Dunia 2022 menjadi salah satu pemicu yang mempercepat penetrasi perangkat televisi digital atau adopsi alat bantu penerima siaran televisi digital di masyarakat. Untuk jangka panjang, Gilang berpendapat, sepanjang tontonan televisi menjadi kebutuhan masyarakat, maka peningkatan kepemirsaan siaran televisi digital terestrial akan terjadi secara alami.
”Ada banyak konten televisi yang menjadi favorit tontonan pemirsa, seperti sinetron, konten anak, sepak bola, dan pencarian bakat. Kami perkirakan, masyarakat akan tetap menonton siaran televisi terestrial pasca-ASO,” kata Gilang.
Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Mohammad Reza, memandang, rata-rata lembaga penyiaran saat ini fokus migrasi terlebih dulu, termasuk memigrasikan konten yang dulu ada saat siaran televisi analog terestrial. Maka, program siaran sejauh ini masih relatif sama dengan sebelum ASO.
Rencana tahun depan, lanjut dia, adalah meningkatkan pengawasan konten program siaran televisi karena diduga akan ada penambahan jumlah stasiun televisi. Sejak awal 2022, KPI Pusat telah membahas ada kemungkinan pemakaian kecerdasan buatan untuk pengawasan, tetapi belum final.
”Kami senantiasa mendorong lembaga penyiaran agar meningkatkan mutu ataupun keragaman konten siaran. Bahkan, jika Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran jadi direvisi, kami siap menyiapkan perubahan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran,” kata Reza.
Baca juga: Belanja Iklan ke Televisi dan Platform Digital Dominan
Bermanfaat
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Rahayu, berpendapat, masyarakat hanya mau menonton siaran televisi terestrial jika mereka menilai tayangan televisi bermanfaat bagi mereka, baik dalam memberikan hiburan maupun informasi yang diperlukannya. Prinsip ini berlaku sama meski sudah bermigrasi ke siaran televisi digital terestrial.
”Bukan pada teknologinya yang mendorong masyarakat menonton, melainkan konten siarannya. Konten inilah yang menjadi kunci kesuksesan pengelolaan televisi,” ujarnya.
Oleh karena itu, pasca-ASO, tantangan utama lembaga penyiaran yaitu menghadirkan konten-konten yang menarik bagi masyarakat. Ketika jenis media baru hadir, pilihan tontonan semakin banyak. Pengelola stasiun televisi dituntut lebih kreatif dan inovatif dalam memproduksi ataupun menayangkan siaran. Siaran televisi seharusnya sesuatu yang unik dan masyarakat tidak mudah mendapatkannya dari media sosial ataupun media lain.
Lebih jauh, Rahayu memandang, ada tiga jenis konten yang dapat menjadi kekuatan televisi masa mendatang. Jenis konten pertama yaitu siaran olahraga secara langsung karena ini kemungkinan akan sulit dilakukan oleh kreator konten amatir. Siaran olahraga secara langsung memiliki lisensi yang harus dibayar.
Kedua, berita investigasi. Proses produksi konten ini perlu perencanaan yang matang dan membutuhkan jurnalis andal. Tema-tema sosial, budaya, dan politik yang terhubung dengan kehidupan masyarakat akan menjadi selalu menarik perhatian. Adapun jenis konten berikutnya adalah siaran hiburan, seperti drama berseri, yang digarap secara profesional.
”Televisi digital terestrial di Korea Selatan dapat bertahan dengan jenis tayangan seperti itu, bahkan mereka mengekspornya ke banyak negara. Pengelola televisi di Indonesia bisa mencontoh,” ujar Rahayu.
Baca juga: Penghentian Siaran Analog Tak Bisa Ditunda-tunda Lagi