Transisi Energi Tidak Perlu Mengorbankan Pertumbuhan Ekonomi
Pemerintah terus mengkaji berbagai instrumen fiskal yang dibutuhkan untuk mendorong transisi energi secara bertahap, agar tidak terlalu mendistorsi kondisi pasar dan mengganggu stabilitas sosial-politik.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Pengendara sepeda motor mengisi bahan bakar jenis pertalite (RON 90) di salah satu SPBU Pertamina di Jakarta, Jumat (24/6/2022). Beban subsidi BBM terancam membengkak seiring harga minyak mentah dunia yang tetap bertahan tinggi hingga pertengahan tahun ini. Harga jual BBM jenis pertalite (RON 90) saat ini Rp 7.650 per liter, sedangakan untuk pertamax (RON 92) Rp 12.500 per liter.
Transisi energi yang dilakukan secara bertahap di negara berkembang tidak harus selalu mengorbankan pertumbuhan ekonomi. Namun, instrumen fiskal untuk mendukung langkah dekarbonisasi itu perlu dijalankan dengan konsisten agar tujuan mengurangi emisi dan menjaga pertumbuhan ekonomi sama-sama bisa tercapai.
Kajian Bank Dunia terhadap sejumlah negara berkembang yang ekonominya bergantung pada energi fosil, termasuk Indonesia, menunjukkan, berbeda dari anggapan yang kerap beredar, tidak perlu ada "trade off" atau "tukar guling" antara upaya transisi energi dengan menjaga pertumbuhan ekonomi.
Lead Economist World Bank Group Habib Rab, Rabu (7/12/2022) mengatakan, dalam sejumlah simulasi skenario yang dikaji, Indonesia tetap bisa mempertahankan pertumbuhan produk domestik bruto-nya (PDB) sembari menekan emisi karbon secara signifikan dengan menggunakan instrumen fiskal tertentu secara konsisten.
Pertama, melalui menghapus kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang tidak tertarget lalu merealokasi anggaran itu untuk menyalurkan bantuan langsung tunai (BLT) secara lebih terarah. Hasilnya, Indonesia bisa sedikit menekan emisi karbon serta memperbaiki kualitas pertumbuhan ekonomi lewat penggunaan anggaran yang lebih tepat sasaran.
Kedua, dengan cara menghapus subsidi BBM, menerapkan pajak karbon sebesar 40 dollar AS per ton CO2e pada tahun 2040, serta menjalankan reformasi regulasi di berbagai sektor. Hasilnya, Indonesia bisa mengurangi emisi karbon dengan lebih tajam sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
“Dampaknya terhadap PDB jauh lebih besar karena penerimaan negara bertambah lewat pajak karbon. Namun, strategi ini tidak mudah karena membutuhkan investasi yang lebih besar pula di sektor energi terbarukan,” kata Habib dalam acara Annual International Forum on Economic Development and Public Policy (AIFED) 2022 di Nusa Dua, Badung, Bali.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Guru mengamati panel surya yang terpasang di atap SDN Duren Sawit 14, Jakarta Timur, Kamis (29/9/2022). Sekolah ini menjadi salah satu dari empat sekolah negeri dengan konsep net zero carbon atau netralitas karbon di Jakarta. Sekolah lainnya adalah SDN Grogol Selatan 09, SDN Ragunan 08 Pagi dan SMAN 96. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Pendidikan melakukan revitalisasi terhadap sekolah tersebut yang diyakini akan lebih ramah lingkungan.
Apapun skenario yang kelak ditempuh Indonesia, konsistensi kebijakan menjadi kunci. Habib menyoroti kesan kebijakan pemerintah yang masih ambigu untuk memberi insentif pada sektor hijau dan disinsentif pada sektor fosil. Di luar instrumen fiskal, masih ada pula sinyal inkonsistensi pemerintah lewat kebijakan non-fiskal lainnya.
“Apakah kita mau menyubsidi energi fosil sembari menerapkan pajak karbon? Atau kita mau memajaki energi terbarukan tapi tetap menyubsidi energi fosil? Sinyal-sinyal yang inkonsisten dalam ekonomi itu bisa menghalangi masuknya investasi di sektor hijau,” ucap Habib.
Indonesia tetap bisa mempertahankan pertumbuhan PDB sembari menekan emisi karbon secara signifikan dengan menggunakan instrumen fiskal tertentu secara konsisten.
Menurutnya, pemerintah pertama-tama perlu mengevaluasi ulang rezim fiskal yang saat ini sedang berlaku untuk mendorong dekarbonisasi yang lebih efektif. Sebelum menerapkan pajak karbon yang dapat memancing resistensi, pemerintah bisa secara bertahap memaksimalkan pemungutan pajak dan royalti yang sudah ada terhadap sektor fosil seperti batubara.
“Sebelum membawa instrumen baru seperti pajak karbon, perlu dicek, seperti apa pemajakan di sektor-sektor itu? Sudah signifikan tidak? Setelah itu baru ditentukan, apakah cukup membenahi sistem yang sudah ada atau perlu membawa instrumen baru untuk mendorong dekarbonisasi?” tuturnya.
Infografik-Persentase Energi Terbarukan G20
Bertahap
Menurut Pelaksana Tugas Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Abdurohman, pemerintah saat ini sedang mengkaji berbagai instrumen fiskal yang dibutuhkan untuk mendorong transisi energi secara bertahap, agar tidak terlalu mendistorsi kondisi pasar dan merugikan publik.
Penerapan pajak karbon untuk sementara ini ditunda sampai tahun 2025, setelah sempat ada wacana untuk mengimplementasikannya di pertengahan tahun 2022. Sementara itu, setelah sempat memangkas anggaran subsidi BBM pada September 2022 lalu, pemerintah masih akan menekan subsidi BBM untuk jangka menengah-panjang secara bertahap.
Kita tetap melanjutkan reform subsidi energi, tapi eksekusinya lihat-lihat momentum, karena subsidi ini termasuk kebijakan yang perlu mempertimbangkan suasana publik dan punya nilai politis.
“Dari sisi sektoral, sudah jelas kita akan mulai dari pensiun dini PLTU batubara. Dari sisi demand, pemerintah akan konsisten phasing out subsidi BBM yang kesalahan targeting-nya memang cukup tinggi, tapi ini bertahap sambil melihat daya beli masyarakat,” katanya di sela-sela acara AIFED.
Menurut dia, berbagai instrumen itu bisa efektif diterapkan ketika kondisi ekonomi sudah lebih stabil. “Sangat tergantung kondisi ekonomi. Kita masih tahap recovery dari pandemi, tahun depan masih banyak ketidakpastian dengan tekanan inflasi dan penguatan dollar,” ujarnya.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Suasana pameran "PLN Locomotion" di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, Kamis (24/11/2022). Pameran yang diikuti lebih dari 50 peserta ini bertujuan untuk meningkatkan penggunaan produk lokal dan keterlibatan industri nasional dalam proyek infrastruktur ketenagalistrikan untuk mendukung transisi energi.
Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara BKF Kemenkeu Wahyu Utomo menambahkan, pemerintah juga berhati-hati karena perlu menjaga stabilitas kondisi sosial dan politik. Apalagi, tahun 2023 dan 2024 adalah tahun politik.
Hal itu pun menjadi pertimbangan pemerintah untuk tidak terburu-buru memangkas subsidi energi tahun depan, mengingat kebijakan itu akan menaikkan harga BBM di tengah tekanan inflasi yang tinggi.
“Kita tetap melanjutkan reform subsidi energi, tapi eksekusinya lihat-lihat momentum, karena subsidi ini termasuk kebijakan yang perlu mempertimbangkan suasana publik dan punya nilai politis. Kita secara teknokratis mungkin benar, tapi kalau momennya tidak tepat, bisa berisiko,” tuturnya.