Sembari Banding WTO, Pemerintah Godok Rencana Pajak Ekspor Bijih Nikel
Wacana penerapan pajak ekspor bijih nikel saat ini sedang dalam proses pembahasan, berjalan paralel dengan upaya pemerintah mengajukan banding ke Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
BADUNG, KOMPAS – Pemerintah akan mengerahkan “strategi ganda” lewat jalur fiskal dan perdagangan menyusul kekalahan Indonesia dalam gugatan larangan ekspor bijih nikel di Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO. Selain mengajukan banding ke WTO, rencana pemberlakuan bea keluar atau pajak ekspor bijih nikel pun sedang dimatangkan.
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Pande Putu Oka Kusumawardhani mengatakan, wacana penerapan pajak ekspor bijih nikel saat ini sedang dalam proses pembahasan, berjalan paralel dengan upaya pemerintah mengajukan banding ke WTO.
Kebijakan itu diharapkan bisa menjaga momentum laju hilirisasi di dalam negeri tetap berjalan di tengah proses sengketa yang bergulir di WTO.
"Diskusinya sedang berjalan, tidak perlu menunggu hasil banding keluar dulu. Skenarionya ada banyak, dampaknya terhadap APBN dan ekonomi akan mengikuti dari skenario yang nanti akan diputuskan," kata Oka saat ditemui di sela acara Annual International Forum on Economic Development and Public Policy (AIFED) 2022 di Nusa Dua, Badung, Bali, Selasa (6/12/2022).
Meski pembahasannya berjalan beriringan dengan upaya banding yang ditempuh Kementerian Perdagangan, Oka mengatakan, pembahasan pajak ekspor bijih nikel bukan sebagai akibat dari kalahnya Indonesia dalam menghadapi gugatan larangan ekspor nikel di WTO.
Pada dasarnya, menurut dia, penerapan bea keluar terhadap nikel mentah memang dibutuhkan untuk menggencarkan hilirisasi serta memenuhi ketersediaan suplai di dalam negeri.
"Pajak ekspor ini bukan karena kita kalah banding atau bukan. Konteksnya bukan untuk balas dendam (karena kalah). Kebijakan ini disusun karena kita memang punya kebutuhan untuk meningkatkan nilai tambah dalam negeri," ujarnya.
Sebelumnya, Indonesia kalah melawan Uni Eropa dalam gugatan terkait larangan ekspor nikel di DSB WTO. Kebijakan larangan ekspor bijih nikel itu sudah dijalankan Indonesia sejak tahun 2020.
Sesuai laporan final putusan panel WTO atas sengketa bernomor DS 592 pada 17 Oktober 2022, kebijakan larangan ekspor nikel serta kewajiban pengolahan dan pemurnian nikel RI dinilai melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994.
Pajak ekspor ini bukan karena kita kalah banding atau bukan. Konteksnya bukan untuk balas dendam (karena kalah).
Dalam putusannya, panel WTO menolak pembelaan yang diajukan Indonesia terkait keterbatasan jumlah cadangan nikel nasional dan pelaksanaan tata kelola penambangan berbasis lingkungan. Keputusan itu belum berkekuatan hukum tetap sehingga Indonesia masih bisa mengajukan banding (Kompas, 23/11/2022).
Wacana tentang penerapan pajak ekspor bijih nikel sudah pernah digaungkan pemerintah sebelum putusan panel WTO keluar. Menteri Investasi Bahlil Lahadalia pada pertengahan September 2022 pernah mengatakan, jika Indonesia kalah dalam gugatan tersebut, pemerintah akan mengambil langkah lain untuk menjaga arus hilirisasi dan menekan ekspor nikel mentah, yakni melalui penerapan pajak ekspor bijih nikel.
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro BKF Kemenkeu Abdurohman mengatakan, upaya pemberlakuan pajak ekspor bijih nikel masih lebih memungkinkan ditempuh Indonesia untuk mencegah ekspor nikel mentah dan mempertahankan hilirisasi pasca kekalahan di WTO.
Sebab, menurutnya, penerapan pajak tidak melanggar prinsip perdagangan global di WTO. “Prinsipnya WTO itu kalau kita mau menerapkan pajak ekspor itu sebenarnya masih bisa. Yang tidak bisa itu memang pembatasan ekspor dalam bentuk kuota, itu yang dianggap tidak inline dengan WTO,” katanya.
Langkah cadangan
Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB Universitas Indonesia Teuku Riefky menilai, selain mengupayakan banding ke WTO, pemerintah memang perlu menyiapkan instrumen lainnya untuk memberi disinsentif pada ekspor mineral mentah.
Strategi fiskal melalui penerapan pajak ekspor bijih nikel dinilainya cukup realistis sebagai langkah “cadangan” jika ternyata Indonesia tetap kalah di tahap banding.
“Memang banding ke WTO perlu terus kita kejar, tetapi kita jangan mengandalkan outcome itu saja, karena itu relatif ada di luar kuasa kita. Berbeda dengan strategi fiskal yang masih bisa kita kontrol. Toh, gol jangka panjangnya tetap sama, yaitu kita mau mendorong hilirisasi dan ekonomi bernilai tambah,” katanya di sela-sela acara AIFED 2022.
Memang banding ke WTO perlu terus kita kejar, tetapi kita jangan mengandalkan outcome itu saja, karena itu relatif ada di luar kuasa kita.
Menurutnya, dampak penerapan pajak ekspor bijih nikel akan cukup signifikan untuk mempertahankan laju hilirisasi serta menambah penerimaan negara. Strategi itu juga bisa diiringi dengan penerapan pajak ekspor yang lebih rendah bagi produk olahan turunan nikel yang saat ini sedang dibahas pemerintah, seperti nickel pig iron (NPI) dan feronikel (FeNi).
Selama ini, ada kecenderungan bahwa pengenaan bea di sektor hulu lebih rendah daripada hilir, sehingga kontraproduktif dengan tujuan hilirisasi. Hal itu diperkeruh oleh implementasi perjanjian dagang tertentu yang membuat tarif bea ekspor suatu produk terlampau rendah meski produk bersangkutan sebenarnya belum cukup diolah hingga bernilai tambah.
Ia menilai, jika tarif pajak di hilir dibuat lebih rendah dibandingkan hulu, itu dapat mendorong hilirisasi lebih gencar. Pemerintah pun harus memastikan bahwa langkah tersebut tidak akan bertentangan dengan perjanjian perdagangan apapun.
“Kita harus pastikan bahwa kebijakan pajak dalam konteks hilirisasi ini tidak ada yang kosong di tengah (hollow middle). Berbagai kebijakan yang sekarang tercerai-berai itu perlu disatukan supaya upaya hilirisasi kita jadi koheren,” tutur Riefky.