OJK meminta industri jasa keuangan meningkatkan ketahanan permodalan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan di tengah risiko pelambatan ekonomi global.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS- Sebagaimana proyeksi sejumlah lembaga internasional, ekonomi global tahun depan diperkirakan melambat dan diwarnai ketidakpastian. Demi menjaga stabilitas sistem keuangan, Otoritas Jasa Keuangan meminta lembaga jasa keuangan meningkatkan permodalan dan mematangkan mitigasi risiko.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar menyatakan, sejumlah lembaga internasional seperti Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memperkirakan ekonomi global akan tumbuh melambat di tahun 2023. Hal ini disebabkan oleh pengetatan kebijakan moneter global, tingginya harga komoditas energi dunia yang dipengaruhi oleh meningkatnya tensi geopolitik, serta masih persistennya tingkat inflasi di level yang tinggi.
“Oleh karena itu, perkembangan sektor-sektor yang memiliki porsi ekspor yang tinggi serta sektor padat modal yang akan lebih terdampak oleh kenaikan suku bunga perlu dicermati,” ujar Mahendra dalam jumpa pers bulanan Rapat Dewan Komisoner (DK) OJK, secara daring, Jakarta, Selasa (6/12/2022).
Wakil Ketua Dewan Komisoner OJK Mirza Adityaswara menambahkan, stabilitas sektor jasa keuangan saat ini terjaga. Namun, akibat tekanan yang kompleks, ekonomi global perlu diwaspadai, baik dari sisi kebijakan normalisasi, ketidakpastian kondisi geopolitik, serta laju inflasi yang persisten di level yang tinggi meski termoderasi.
“Perkiraan pelambatan pertumbuhan ekonomi ke depan menjadi tidak terhindarkan sebagaimana diperkirakan oleh berbagai lembaga internasional,” ujar Mirza.
Ia menambahkan, akselarasi laju pengetatan likuiditas dan kenaikan tingkat suku bunga berpotensi menekan sektor jasa keuangan dari berbagai sumber yang pada akhirnya mempengaruhi kemampuan debitur dalam memenuhi kewajibannya. Kebijakan yang kolaboratif, tepat, dan terukur akan menentukan prospek terjaganya stabilitas sektor jasa keuangan ke depan.
Anggota DK OJK yang juga Ketua Dewan Audit OJK Sophia Wattimena mengatakan, OJK meminta lembaga jasa keuangan (LJK) untuk memperkuat ketahanan dengan meningkatkan permodalan. OJK meminta LJK memperhatikan kebijakan pembagian deviden serta menyesuaikan pencadangan ke level yang lebih memadai guna bersiap menghadapi skenario pemburukan akibat kenaikan risiko kredit/pembiayaan, risiko nilai tukar, dan risiko likuiditas.
Sementara itu, terkait dengan risiko kredit, LJK juga diharapkan untuk memberikan perhatian khusus terhadap sektor-sektor yang dukungan kebijakan relaksasinya akan berakhir pada akhir Maret 2023. Pihak yang tidak akan lagi mendapat relaksasi restrukturisasi kredit adalah debitor non-UMKM serta debitor yang bukan berasal dari sektor akomodasi, makan-minum, industri padat karya seperti tekstil dan produk tekstil, serta alas kaki.
Ia menambahkan, pihaknya juga meminta LJK agar melakukan uji ketahanan secara berkala untuk memitigasi risiko yang muncul akibat potensi pemburukan ekonomi yang dinilai pada saat ini kemungkinann masih cukup besar sebagai akibat dari kontraksi perekonomian global.
“Dalam melakukan uji ketahanan dimaksud, LJK diharapkan dapat memperhitungkan interkoneksi antarsektor seperti antara penyaluran kredit/pembiayaan dengan pertanggungan asuransi kredit/pembiayaan,” ujar Sophia.
Stabil
Industri keuangan sendiri saat ini dinilai dalam posisi stabil. Dari sektor pasar modal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 7,59 persen sejak awal tahun. Minat untuk penghimpunan dana di pasar modal masih terjaga tinggi, yaitu mencapai Rp 226,49 triliun, dengan emiten baru tercatat sebanyak 61 emiten.
“Direncanakan masih terdapat 91 rencana penawaran umum dengan nilai sebesar Rp 96,29 triliun dengan rencana penawaran umum oleh emiten baru sebanyak 57 perusahaan,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Inarno Djajadi.
Dari sektor perbankan, sampai Oktober 2022, penyaluran kredit bank tumbuh 11,95 persen secara tahunan, utamanya ditopang oleh kredit investasi yang tumbuh 13,65 persen secara tahunan (yoy). Sementara itu, Dana Pihak Ketiga (DPK) pada Oktober 2022 tercatat tumbuh 9,41 persen secara tahunan menjadi Rp 7.927 triliun, meningkat dari laju pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 6,77 persen yoy, utamanya didorong peningkatan giro.
“Risiko kredit melanjutkan penurunan dengan rasio kredit macet (non performing loan/NPL net) perbankan sebesar 0,78 persen dengan NPL gross 2,72 persen,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Dian Ediana Rae.
Sementara itu, Industri Keuangan Non Bank (IKNB) yang terdiri dari industri asuransi umum, jiwa, perusahaan pembiayaan, dana pensiun, dan tekfin pendanaan, tergolong stabil walau ada industri yang mencatat penurunan pertumbuhan.
Dari sektor asuransi umum, akumulasi pendapatan premi sektor asuransi selama Januari-Oktober 2022 mencapai Rp255,20 triliun atau tumbuh 1,81 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Namun demikian, akumulasi premi asuransi jiwa terkontraksi 5,76 persen secara tahunan dengan nilai Rp 157,42 triliun per Oktober 2022.
Nilai pembiayaan berjalan piutang pembiayaan tumbuh 12,17 persen secara tahunan pada Oktober 2022 menjadi sebesar Rp 402,6 triliun, didukung pembiayaan modal kerja dan investasi yang masing-masing tumbuh 31,6 persen secara tahunan dan 23,7 persen secara tahunan.
Sedangkan sektor dana pensiun tercatat mengalami pertumbuhan aset 4,2 persen secara tahunan, dengan nilai aset mencapai Rp 338,71 triliun. Kinerja teknologi finansial pinjaman antarpihak (peer to peer lending/P2P lending) pada Oktober 2022 masih mencatatkan pertumbuhan dengan outstanding pembiayaan tumbuh 76,8 persen secara tahunan menjadi Rp 49,34 triliun. Sementara itu, tingkat risiko kredit secara agregat (TWP90) tercatat pada level 2,9 persen
Edukasi perlindungan konsumen
Selain menjaga stabilitas sektor keuangan, OJK juga mendorong edukasi dan perlindungan konsumen. Pihaknya terus mengakselerasi perluasan akses keuangan regional melalui optimalisasi peran 462 Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) yang tersebar di 34 provinsi dan 428 kabupaten/kota.
Upaya perluasan akses keuangan tersebut dibarengi program edukasi keuangan secara masif secara online maupun tatap muka, termasuk program edukasi keuangan ke perguruan tinggi dan sekolah. Sementara itu, sampai 30 November 2022, OJK telah menerima 290.388 layanan, termasuk 13.427 pengaduan. Dari pengaduan itu, sebanyak 6.756 di antaranya merupakan pengaduan sektor perbankan, 6.588 merupakan pengaduan sektor IKNB, dan sisanya merupakan layanan sektor pasar modal.