Kebijakan kontrasiklus bisa tetap kredibel dilakukan di tengah ruang fiskal yang sempit, asalkan belanja APBN betul-betul diarahkan sesuai skala prioritas.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
BADUNG, KOMPAS — Kebijakan fiskal yang fleksibel menjadi ”jangkar” pertumbuhan ekonomi di tengah kondisi dunia yang semakin tidak pasti. Meski sulit dilakukan ketika ruang fiskal menyempit, pemerintah dinilai tak perlu ragu menempuh pendekatan kontrasiklus, asalkan fleksibel, tepat sasaran, dan dibarengi dengan terobosan untuk menambah penerimaan negara.
Seperti diketahui, setelah dua tahun terakhir memperbesar batas defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) demi menggerakkan perekonomian selama pandemi, pemerintah akhirnya mengembalikan defisit fiskal kembali ke batas normal, yakni di bawah 3 persen, mulai tahun depan. Pada APBN 2023, defisit fiskal ditetapkan 2,84 persen atau Rp 598,2 triliun.
Dengan langkah konsolidasi fiskal itu, ruang manuver pemerintah untuk menjalankan belanja ekspansif pun otomatis menyempit. Meski demikian, menurut pakar ekonomi dari University of California, Berkeley, Amerika Serikat, Alan Auerbach, pemerintah tidak perlu ragu mengambil kebijakan kontrasiklus (contra-cyclical) untuk menjaga ekonomi domestik meski ruang fiskal menyempit.
Sebagai gambaran, kebijakan kontrasiklus biasanya berkaitan dengan langkah pemerintah mengurangi belanja dan menaikkan pajak ketika ekonomi sedang bertumbuh dan, sebaliknya, meningkatkan belanja dan memangkas pemungutan pajak ketika ekonomi sedang melambat.
Menurut Alan, kebijakan fiskal kontrasiklus atau ekspansif tidak perlu selalu dipertentangkan dengan kebutuhan menyehatkan APBN. Di ambang imbas resesi global, kebijakan ekspansif yang diadopsi saat ekonomi melemah bisa menambah ruang fiskal dan membuat ekonomi semakin kuat.
”Meski biasanya kebijakan seperti ini mengarah pada utang yang lebih banyak, dengan menjaga ekonomi tetap bergerak, rasio utang terhadap PDB-nya tidak akan terlalu tinggi,” kata Alan dalam acara Annual International Forum on Economic Development and Public Policy (AIFED) 2022 di Nusa Dua, Badung, Bali, Selasa (6/12/2022).
Oleh karena itu, menjalankan kebijakan kontrasiklus yang tradisional saja tidak cukup. Aturan-aturan fiskal harus dibuat lebih fleksibel untuk berurusan dengan kondisi yang fluktuatif ke depan. ”Kita tidak mau ujung-ujungnya mencederai ekonomi hanya demi menjaga kondisi fiskal kita tetap tradisional dan kredibel,” katanya.
Di ambang imbas resesi global, kebijakan ekspansif yang diadopsi saat ekonomi melemah bisa menambah ruang fiskal dan membuat ekonomi semakin kuat.
Tetap kredibel
Menurut Alan, kebijakan kontrasiklus bisa tetap kredibel dilakukan di tengah ruang fiskal yang sempit, asalkan belanja APBN betul-betul diarahkan sesuai skala prioritas. Misalnya, untuk mendanai program perlindungan sosial bagi masyarakat menengah-bawah secara tepat sasaran serta diiringi dengan kebijakan pajak yang lebih ”agresif” untuk meningkatkan penerimaan.
”Bisa dengan menerapkan ambang batas (threshold) pembayar pajak yang lebih rendah serta memperluas basis pajak. Ini bisa mendorong pendapatan yang sesuai kebutuhan sembari menjaga kebijakan fiskal tetap sehat,” ujarnya.
Sebelumnya, ada tanda-tanda pemerintah cenderung ”bermain aman” dengan kebijakan pajak. Menteri Keuangan Sri Mulyani pada akhir Oktober 2022 lalu mengatakan, kondisi perekonomian dunia yang diprediksi akan lebih gelap membuat pemerintah harus berhati-hati dalam mengambil kebijakan agar tidak berbalik mencederai ekonomi domestik.
Oleh karena itu, beberapa kebijakan yang dapat memperluas basis penerimaan pajak belum akan diterapkan dalam waktu dekat. Sebagai contoh, penurunan ambang batas pengusaha kena pajak (PKP) serta penerapan pajak karbon (carbon tax) yang akan ditunda dan dikaji ulang sampai kondisi perekonomian lebih stabil (Kompas, 23/10/2022).
Dalam kesempatan sama, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, kebijakan fiskal yang fleksibel tetapi akuntabel sudah diterapkan Indonesia selama pandemi. ”Kita bisa mendobrak aturan dan keluar dari ’DNA’ kita untuk mendorong defisit fiskal di atas 3 persen. Ini tidak mungkin dilakukan kalau kita tidak punya tata kelola yang baik,” ujarnya.
Kita bisa keluar dari ’DNA ’ kita untuk mendorong defisit fiskal di atas 3 persen. Ini tidak mungkin dilakukan kalau kita tidak punya tata kelola yang baik.
Menurut dia, dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi di depan, pemerintah banyak belajar dari pengalaman mengelola APBN saat pandemi. Misalnya, mengelola fiskal agar fleksibel tetapi tetap akuntabel, memperbaiki problem klasik pendataan yang kerap membuat belanja ”sia-sia” karena salah sasaran, serta menjaga bauran kebijakan yang kuat dengan institusi lain.
”Oleh karena itu, kita jangan terlalu cepat melupakan pandemi. Sekarang ini mulai ada tanda-tanda kita sibuk memikirkan tantangan baru di masa depan, lalu lupa dengan pandemi. Padahal, pengalaman dua tahun terakhir itu yang banyak memberi kita pelajaran penting buat menghadapi krisis ekonomi lain di masa depan,” kata Suahasil.
Sebelumnya, Sri Mulyani mengatakan, APBN akan kembali dijadikan ”jangkar” pertumbuhan ekonomi di ambang resesi global. Oleh karena itu, kesehatannya harus dijaga dengan langkah konsolidasi fiskal menuju defisit di bawah 3 persen.
”Di saat kondisi pasar sedang sangat bergejolak seperti ini, kalau kita tidak punya jangkar disiplin fiskal yang kuat, kepercayaan akan runtuh. Kita bisa lihat, ini terjadi di banyak negara, seperti Inggris. Ekonomi sekuat apa pun, kalau posisi fiskalnya salah, bisa terlempar,” katanya.