Pemerintah kembali berupaya mendorong pemanfaatan bioetanol untuk mengurangi impor bahan bakar minyak. Namun, program yang sudah lama ditetapkan ini terasa jalan di tempat lantaran terganjal masalah keekonomian.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyiapkan implementasi bioetanol E5 atau pencampuran etanol 5 persen dan bensin 95 persen yang direncanakan mulai tahun 2023 di Surabaya, Jawa Timur. Rencana ini untuk menumbuhkan pasar sekaligus menemukan formula harga yang pas.
Pemanfaatan bioetanol telah lama diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 12 Tahun 2015 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Namun, aturan itu sulit diterapkan lantaran masalah pasokan dan harga yang lebih mahal dari bensin murni.
Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Edi Wibowo mengatakan, pasokan bioetanol yang siap untuk E5 saat ini sebanyak 40.000 kiloliter (kl). Pasokan itu datang dari PT Enero sebanyak 30.000 kl dan PT Molindo 10.000 kl. Produksi itu cukup untuk kebutuhan di Surabaya.
”(Di Surabaya pada 2023) RON 92 akan diwajibkan dengan bioetanol ini. Setelah mulai kelihatan pasarnya, kami harap investor tertarik sehingga bisa mengembangkan ke daerah lain. Yang jelas harus ada pasokan dan pasar,” ujar Edi saat seminar ”Peta Jalan Strategis untuk Percepatan Implementasi Bioetanol di Indonesia” di Jakarta, Selasa (6/12/2022).
Edi belum bisa menyebutkan waktu pasti dimulainya proyek yang akan berlaku untuk semua badan usaha itu. Namun, saat ini rencana ini terus dimatangkan, termasuk koordinasi dari pemasok, PT Pertamina (Persero), serta Kementerian ESDM. Adapun jenama dari produk bensin E5 itu akan bergantung masing-masing badan usaha.
VP Planning & Commercial Development Strategy, Portfolio and New Ventures Pertamina Ary Kurniawan menambahkan, terkait implementasi di Surabaya, pihaknya dalam posisi menunggu kebijakan dari pemerintah. Itu mencakup, antara lain, harga serta kebutuhan perbaikan infrastruktur.
Sementara itu, Direktur PT Enero Dimas Eko Prasetyo mengemukakan, produsen siap mengimplementasi proyek percontohan bensin E5. Tinggal kemudian dari sisi hilir hingga pelanggan yang mesti disiapkan. Adanya pabrik di Jatim, daerah yang paling siap untuk menjadi percontohan adalah Surabaya dan sekitarnya.
Nantinya, memang disebut akan peningkatan target dari E5 menjadi E10 dan seterusnya. Oleh karena itu implementasi pun perlu dimulai dari satu wilayah dulu, baru pengembangan. “Yang utama, (tumbuhkan) market saja dulu. Demand-nya ada dulu. Lalu nanti kan suplai dihitung. Kalau Surabaya sudah jalan, kebutuhan naik, pasti akan bangun pabrik (bioetanol) lagi,” ucap Dimas.
Sejak sekitar 2008, pengembangan bioetanol, kata Dimas, berjalan lamban karena selalu berputar pada harga keekonomian hasil pencampuran dengan bensin. Menurutnya, hal tersebut perlu diselesaikan dengan duduk bersama semua pihak terkait, dilandasi keinginan dan tujuan bersama untuk mengurangi impor BBM.
Serupa, dosen pada Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB) yang juga Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (Ikabi) Tatang Hernas Soerawidjaja berharap ada langkah konkret dari pemerintah dan pihak terkait. Misalnya, duduk bersama antara Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dan Pertamina, untuk mencari titik tengah terkait keekonomian.
Tatang yang telah lama meneliti bioetanol menambahkan, setelah Surabaya, diharapkan implementasi menjalar ke daerah-daerah lainnya. Diutamakan pada daerah yang tingkat pencemaran udaranya sudah tinggi, misalnya Jabodetabek.