Penyerapan Tenaga Kerja Berisiko Susut Tahun Depan
Ketidakpastian global diperkirakan masih berdampak ke kinerja industri nasional tahun depan. Dampaknya, penyerapan tenaga kerja berpotensi menyusut sejalan dengan penurunan kapasitas produksi dan profit usaha.
JAKARTA, KOMPAS — Asosiasi Pengusaha Indonesia memperkirakan serapan tenaga kerja akan tumbuh lambat pada tahun 2023. Selain itu, penyusutan tenaga kerja juga bakal terjadi menyusul berkurangnya kapasitas produksi dan profit usaha serta kenaikan upah minimum.
Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani, Senin (5/12/2022), mengatakan, ketidakpastian ekonomi global pada tahun depan masih tinggi. Dampaknya tetap akan merembet ke perekonomian nasional meskipun tidak akan sampai resesi.
Perlambatan ekonomi di sejumlah pasar ekspor utama Indonesia pada tahun ini bakal berpengaruh ke kinerja industri. Trennnya bakal berlanjut hingga tahun depan sehingga akan memengaruhi profit dan efisiensi usaha, termasuk tenaga kerja.
”Sejumlah industri pengolahan nonpangan berbasis ekspor dan padat karya, seperti tekstil dan produk tekstil (TPT), mebel, dan alas kaki, mulai bertumbangan dan merumahkan pekerja pada tahun ini. Trennya masih akan berlanjut pada tahun depan,” ujarnya dalam Seminar Proyeksi Ekonomi Indonesia 2023 ”Mengelola Ketidakpastian Ekonomi di Tahun Politik” yang digelar Institute for Development of Economics and Finance (Indef) secara hibrida di Jakarta.
Sejumlah industri pengolahan nonpangan berbasis ekspor dan padat karya, seperti TPT, mebel, dan alas kaki, mulai bertumbangan dan merumahkan pekerja pada tahun ini. Trennya masih akan berlanjut pada tahun depan.
Berdasarkan hasil riset dan survei internal Apindo Research Institute, perekonomian Indonesia pada 2023 diperkirakan tumbuh 5,1-5,65 persen. Sebanyak 39,4 responden memperkirakan industri masih tumbuh 5 persen.
Dari sisi penjualan, sebanyak 36,1 persen responden memperkirakan penjualan meningkat 0-5 persen pada 2023. Bagi industri yang berorientasi ekspor, sebanyak 40 responden memang memproyeksikan penjualannya naik 0-5 persen. Namun, ada 20 responden yang memperkirakan penjualannya turun di bawah 30 persen.
Adapun dari sisi ketenagakerjaan, sebanyak 47,5 persen responden tidak akan menambah atau mengurangi jumlah pekerja kontrak/lepas dan tetap. Di sisi lain, ada 13,1 persen responden yang akan mengurangi pekerja kontrak dan 13,1 persen responden mengurangi pekerja tetap.
Khusus perusahaan berorientasi ekspor, sebanyak 46,7 responden tidak akan menambah atau mengurangi jumlah pekerja kontrak dan tetap. Di sisi lain, sebanyak 26,7 persen responden akan mengurangi pekerja tetap dan 6,7 persen akan mengurangi pekerja kontrak.
Hariyadi menjelaskan, selain faktor penurunan pendapatan dan keuntungan perusahaan, faktor kenaikan upah minuman juga akan memengaruhi perusahaan untuk mengurangi tenaga kerja. Pada 2023, rata-rata kenaikan upah minimum provinsi sekitar 7,5 persen.
Hal itu menyusul terbitnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023 yang diundangkan pada 17 November 2022. Padahal, dengan Permenaker No 36/2021, upah riil sudah lebih tinggi dari upah minimum.
”Permenaker baru itu memperbesar risiko pemutusan hubungan kerja (PHK). Permenaker itu juga membuat ekspansi dan investasi di sektor industri padat karya bakal berpontensi tumbuh lambat dan berpengaruh pada penyerapan tenaga kerja,” kata Hariyadi.
Baca juga: Pemerintah Didesak Cegah PHK Semakin Meluas
Dalam Kompas100 CEO Forum pada 3 Desember 2022, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan, ini adalah kenaikan upah minimum signifikan yang pertama kali dilakukan dalam tiga tahun terakhir sejak pandemi Covid-19. Sebelumnya, pada 2021, pemerintah tidak menaikkan upah minimum karena pandemi.
Pada 2022, kenaikan upah minimum hanya menyentuh rata-rata nasional 1,09 persen. Melalui kebijakan upah minimum 2023, pemerintah ingin mengapresiasi pekerja yang selama dua tahun terakhir harus menahan kenaikan upah dan berjuang bersama pelaku usaha.
Tantangan dan modal
Dalam seminar Indef juga terungkap, ketidakpastian ekonomi global, inflasi, kenaikan suku bunga, dan depresiasi rupiah terhadap dollar AS masih menjadi tantangan sektor industri dan ketenagakerjaan. Indef memperkirakan, ekonomi Indonesia pada 2023 tumbuh 4,8 persen, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS di level Rp 16.000, tingkat inflasi 5,6 persen, serta tingkat pengangguran terbuka dan kemiskinan masing-masing 5,7 persen dan 9,3 persen.
Ekonom senior Indef, Aviliani, berpendapat, inflasi pangan di dalam negeri akan lebih terkendali. Hal itu terjadi lantaran banyak warga yang mulai mandiri pangan. Selain itu, banyak daerah yang mengembangkan pertanian dan bekerja sama dengan daerah lain untuk memenuhi kebutuhan pangan berkat guliran insentif dari pemerintah pusat.
Di sisi lain, banyak konglomerat masuk ke sektor pangan, bahkan berekspansi mengembangkan pangan hidroponik. Selain mengincar pasar domestik, terutama kelas menengah dan atas, mereka juga menyasar pasar luar negeri.
”Saya rasa inflasi di sektor pangan bisa diatasi. Namun, yang perlu dicermati adalah inflasi di sektor pangan olahan. Industri makanan-minuman akan menaikkan harga produknya kalau pada tahun depan nilai tukar rupiah masih di kisaran Rp 15.000 per dollar AS,” kata Aviliani.
Saya rasa inflasi di sektor pangan bisa diatasi. Namun, yang perlu dicermati adalah inflasi di sektor pangan olahan. Industri makanan-minuman akan menaikkan harga produknya kalau pada tahun depan nilai tukar rupiah masih di kisaran Rp 15.000 per dollar AS.
Baca juga: Fenomena ”Lunchflation”
Dari sisi ketenagakerjaan, kata Aviliani, peralihan gaya konsumsi masyarakat perlu dicermati karena berpotensi menambah PHK. Tahun ini, banyak terjadi PHK di perusahaan-perusahaan daring lantaran perubahan gaya konsumsi masyarakat, dari luring ke daring kembali lagi pada daring ke luring. Oleh karena itu, perusahaan perlu beradaptasi, mengubah model bisnisnya agar lebih agile terhadap perubahan pola belanja masyarakat.
Selain itu, suku bunga acuan yang tinggi juga dapat berpengaruh ke sektor ketenagakerjaan. Investor akan lebih tertarik menanamkan modal di pasar uang ketimbang berekspansi usaha dan berinvestasi di sektor industri. Hal ini akan memengaruhi serapan tenaga kerja.
Dalam kesempatan yang sama, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengaku tidak mudah mengambil kebijakan di tengah ketidakpastian ekonomi global. Kendati begitu, BI bersama pemerintah dan pemangku kepentingan terkait telah menyusun bauran kebijakan untuk mengantisipasi dan menghadapi ketidakpastian ekonomi tahun depan.
Dua di antaranya sinergi kebijakan fiskal dan moneter, serta sinergi mendorong mendorong pembiayaan kredit perbankan bagi dunia usaha. Pertama, sinergi kebijakan fiskal dan moneter. Pemerintah akan menormalisasi defisit APBN pada tahun depan dengan mematok defisit sebesar 2,84 persen dari produk domestik bruto.
Baca juga: Presiden: APBN 2023 Fokus pada Enam Kebijakan
Meskipun begitu, pemerintah tetap memberikan subsidi enegi sebesar Rp 339,6 triliun dengan asumsi harga minyak mentah 95 dollar AS per barel. ”Dengan subsidi energi itu, penyesuaian harga bahan bakar minyak tidak diperlukan lagi. Ini membuat BI bersama pemerintah tinggal menjaga inflasi di sektor pengeluaran lain. BI juga akan fokus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah,” kata Perry.
Perry menambahkan, nilai tukar rupiah pada 2023 masih akan bergejolak karena efek strong dollar AS. Menguatanya dollar AS itu tak lepas dari kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS, Fed Fund Rate (FFR). BI memperkirakan puncak kenaikan FFR terjadi pada triwulan I-2023, yakni di level 5 persen. Namun, jika risiko meningkat, FFR berpotensi tembus hingga 6 persen.
Kedua, sinergi mendorong pembiayaan kredit perbankan bagi dunia usaha. BI telah menggulirkan sejumlah kebijakan makroprudensial, seperti di sektor properti dan otomotif, serta menaikkan insentif giro wajib minimum perbankan. Otoritas Jasa Keuangan juga telah memperpanjang restrukturisisasi kredit di sektor-sektor tertentu, seperti TPT, alas kaki, serta usaha mikro, kecil, dan menengah.
Baca juga: BI Prediksi Ekonomi Indonesia 2023 dan 2024 Masih Bertumbuh